(Narasi oleh Mustofa dan Zam Zamil Huda)
Narasi
Kesenian Brodut (Kobro Dangdut) merupakan kelompok seni yang paling muda di desa Giripurno. Kelompok kesenian yang berasal dari dusun Parakan desa Giripurno ini bernama Perwiro Mudo dan berdiri pada tahun 2017. Pak Mahyudin (34 tahun), ketua kelompok seni Brodut Dusun Parakan, menceritakan mengenai sejarah kesenian dan juga latar belakang berdirinya kelompok seni Brondut Perwiro Mudo. Menurut beliau, Dusun Parakan semenjak dahulu merupakan dusun yang tidak pernah lepas dari kesenian. Ada beberapa kelompok seni yang pada masa lalu berdiri di Dusun Parakan. Beberapa diantaranya adalah Kubro Siswo, Angguk, Pitutur, dan lain-lain. Para pelaku seni pun dari berbagai kalangan masyarakat termasuk santri yang saat ini menjadi tokoh agama pun terlibat dalam kelompok seni tersebut.
Perkembangan kesenian di Jawa tidak lepas dari penyebaran agama Islam di Jawa sejak zaman dahulu. Dusun Parakan memiliki pondok pesantren yang kemudian warga masyarakatnya melakukan juga menggunakan kesenian sebagai salah satu syiar agama Islam. Melalui ide dan gagasan para tokoh masyarakat dan pemuda mendirikan kelompok seni Brodut sebagai upaya untuk tetap melestarikan budaya yang ada pada masa lalu akan tetapi juga tetap mengikuti perkembangan zaman. Kemudian pada tahun 2017 berdirilah kelompok seni Perwiro Mudo dengan anggota lebih dari 100 orang dan diketuai oleh Pak Mahyudin.
Brondut merupakan bentuk kesenian Kubro Siswo yang lebih modern. Kesenian ini selain menggunakan peralatan klasik juga menggunakan perlengkapan modern dengan tidak meninggalkan maksud dan tujuan utama kesenian ini. Hal tersebut bertujuan agar kesenian ini juga disukai oleh generasi muda saat ini baik untuk pelaku kesenian maupun penikmat kesenian tersebut. Kubro Siswo ini merupakan bentuk perkembangan kesenian tari-tarian dan juga tetembangan pada zaman dahulu. Awalnya kesenian-kesenian tersebut berupa seni suara/tetembangan/nyanyian yang dikenal dengan nama uro-uro atau klongkongan. Isi dari nyanyian tersebut adalah nasihat atau dalam bahasa Jawa.
Kata “Kubro” berasal dari bahasa Arab yang berarti “besar/banyak”. Oleh karena itu jumlah penari dalam satu babak pun banyak, minimal 8-10 dan dapat mencapai lebih dari 100 penari. Kesenian Kubro menggambarkan tentang perang dengan jumlah pasukan yang besar. Sedangkan gerakan tarian atau jogetannya yang lincah menggambarkan ketangkasan berperang. Salah satu contohnya adalah gerakan harimau, pada gerakan ini penari akan merunduk seperti harimau yang mengincar mangsa dengan gerakan yang pelan agar tidak terdengar. Kesenian kubro ini dalam setiap penampilannya juga diiringi dengan nyanyian khas dengan nuansa islami yang religius. Nyanyian tersebut dinyanyikan dalam bahasa Jawa, Indonesia, dan juga Arab.
Pak Mahyudin menambahkan, jika saat akan tampil para pemain dan pemusik berdoa untuk memohon keselamatan. Mereka juga meminta doa restu dari para sesepuh agar mendapatkan kelancaran dan keamanan. Selain itu dalam kelompok juga ada pawang, akan tetapi di kelompok Kubro Siswo tersebut istilah pawang diganti dengan sesepuh yang nantinya akan melindungi ketika berpentas. Karena bisa saja sewaktu pentas diganggu orang lain dengan menggunakan ilmu-ilmu tertentu.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Bapak Mahyudin, 34 tahun, pelaku budaya, ketua kelompok brodut, desa Giripurno