(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)

Narasi

Desa Ngargogondo adalah desa yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam perbukitan yang luar biasa indah dan eksotis. Perbukitan yang masih tergabung dalam gugusan Pegunungan Menoreh ini menambah keistimewaan tersendiri bagi Desa Ngargogondo.

Menurut sejarah, konon Perbukitan Menoreh pernah dijadikan sebagai daerah jalur perang gerilya Pahlawan Nasional yang sangat terkenal dan masyhur. Pahlawan tersebut yaitu Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya saat melawan penjajah Belanda atau “Wong Londho”, menurut kebanyakan orang Jawa. Kondisi Pegunungan Menoreh yang terbentuk dari batuan api purba saat ini masih terawat dengan baik, bahkan tidak jarang masih ditemukan satwa liar dan langka seperti ayam alas (ayam hutan), kera, harimau, dan berbagai macam burung.

Pada lereng bukit Menoreh di bagian timur desa, terdapat sebuah dusun yang letaknya paling tinggi di antara kampung-kampung lain di Desa Ngargogondo sehingga disebut sebagai lantai atas Desa Ngargogondo, yaitu Dusun Ngargosari. Apabila Kita berada di kampung tersebut, pemandangan bukit Menoreh yang membentang panjang dan megah dari ujung timur hingga barat dapat dinikmati dari dekat. Sedikit melihat ke arah utara, maka akan tampak pemandangan luas daerah sekitar Candi Borobudur dan kota Magelang di kejauhan yang dikelilingi gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Sumbing.

Di Dusun Ngargosari tersebut, kami sempat berbincang dengan seorang petani yang bernama Bapak Asrori tentang keberadaan satwa di Bukit Menoreh. Menurut keterangan Pak Asrori, kera adalah satwa yang paling meresahkan. Mereka hidup berkelompok dalam jumlah yang tidak sedikit dan sering memakan hasil dari tanaman warga. Makanan yang mereka makan kebanyakan makanan yang mudah dilihat atau yang berada di atas tanah, misalnya buah-buahan dan sayuran seperti pepaya, jagung, dan lainnya. Menurutnya, keberadaan kera tersebut dahulu hanya di sekitar Bukit Watu Putih, yaitu bukit besar yang cukup menonjol dan berwarna putih yang terletak di sebelah barat daya Dusun Malangan. Namun, kini sudah menyebar dan tinggal ditempat yang rimbun di sekitar bukit. Bahkan, menurutnya penuturan Pak Asrori, sekarang sudah ada beberapa jenis kera yang tinggal di perbukitan.

Menurut petani yang usianya menjelang 50 tahun tersebut, untuk sementara cara yang aman untuk menghalau kawanan kera tersebut adalah dengan memasang jaring plastik di sekeliling ladang. Sebenarnya, ada yang lebih efektif selain memasang jaring plastik, yaitu dengan cara memasang tlisik, yaitu anyaman dari bambu yang tidak rapat, yang berfungsi sebagai pagar ladang. Namun, cara tersebut tidak efisien karena hanya bertahan beberapa bulan, kecuali untuk tanaman pare. Selain memakan hasil tanaman petani, kawanan kera ini juga menimbulkan kerusakan.

Berbagai macam cara sudah dilakukan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh kera tersebut. Masyarakat bahkan pernah memasang racun (obat celeng, menurut penyebutan warga setempat), tetapi tidak berhasil. Sebaliknya, kera tersebut pernah mendatangi petani melalui mimpi dan mengancamnya, bahwa jika para petani masih berniat untuk membunuh kera -kera di lereng Perbukitan Menoreh, maka akan terjadi hal sial kepada pelakunya. Cara lain yang pernah digunakan adalah memasang anjing penjaga di ladang juga tidak berjalan efektif. Alih-alih menghalau kera, anjing penjaga justru dilawan oleh kera-kera tersebut.

Biasanya, kawanan kera turun ke lahan warga pada waktu siang dan menjelang sore. Ada  ratusan kera yang datang dan sering memakan panen warga yang ada di kebun dan di ladang. “Penyerangan” tersebut sangat sulit dihalau karena mereka berani terhadap manusia, dan sepertinya sudah terorganisir dalam kelompok-kelompok. Ada beberapa jenis kera yang pernah dilihat warga. Ada yang berekor putih, ada pula kera yang rambut wajahnya juga berwarna putih. Apabila sedang marah, kera-kera itu akan melebarkan rambut di wajahnya dan  berdiri seperti ayam jago.

Keterangan lain tentang kera datang dari Bapak Sujadi, seorang petani yang juga seorang modin yang punya ladang di bawah Dusun Ngargosari. Menurut penuturannya, suatu ketika Beliau beserta istrinya akan memetik lombok di ladangnya. Saat itu, istrinya melihat seekor kera dan mencoba mengusirnya, namun kera tersebut tidak beranjak pergi. Kemudian, mendekatlah Bapak Sujadi untuk menengok, ternyata tak jauh dari tempatnya berdiri ada lebih banyak kera. Beliau kemudian berkata kepada para kera, yang kurang lebih, “Hei kethek, aku lan kowe podho-podho makhluk e Gusti Allah. Ning kene pangane pahit, kono lungo! (Hai kera, aku dan kalian sama-sama makhluknya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disini makanannya pahit, sana pergi!)”. Seketika itu kawanan kera langsung pergi.

Ada banyak kejadian mistis yang berkaitan dengan keberadaan kera di lereng Perbukitan Menoreh. Pada suatu hari menjelang maghrib, pernah ada kawanan kera yang dikepung oleh beberapa orang, namun akhirnya kehilangan jejak dan tidak diketahui kemana larinya. Kera-kera ini juga sangat sulit diabadikan melalui foto/video meskipun berada didekatnya. Cerita lainnya dialami oleh seorang pemburu yang secara mistis melihat kera buruannya berubah menjadi sosok perempuan berbaju merah dan putih. Anehnya, yang melihat perubahan wujud tersebut hanya si penembak, sedangkan temannya tetap melihat hewan tersebut sebagai seekor kera.

Kejadian aneh lain yang pernah dialami warga juga dituturkan oleh Mbah Kabul. Petani kelahiran tahun 1952 ini memiliki rumah di bawah bukit, yaitu di Dusun Malangan. Beliau banyak bercerita tentang hewan liar seperti harimau (macan)  dan  kera. Menurut keterangan Mbah Kabul, ada juga kera yang pernah tertangkap lalu diikat dalam karung. Namun, saat ditinggal, kera itu bisa melepaskan diri. Anehnya lagi, masyarakat setempat belum pernah sekalipun menemukan bangkai kera yang sudah mati.

Kejadian aneh selanjutnya juga dialami oleh seorang wanita yang baru pulang dari tempatnya berdagang. Saat itu sedang gerimis. Dia kemudian bertemu dengan seorang perempuan membawa payung dan berselendang di perbukitan. Pada saat perempuan berselendang tersebut ditanya oleh si pedagang,  Ia menjawab bahwa dirinya sedang momong. Namun, alangkah mengejutkannya ketika perempuan berselendang tersebut tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi ratusan kera sesaat setelah berbicara.

Seekor harimau berloreng hitam dan abu-abu juga pernah berkeliaran di sekitar rumah warga di waktu musim hujan. Ada yang hanya sekedar momong anak macan, ada pula yang sampai memangsa kambing ternak warga. Sejauh ini, sudah ada tiga warga yang kambingnya mati di makan harimau. Menurut keterangan Mbah Kabul, sarang harimau dan kera ada di sekitar Watu Putih. Disana terdapat gua yang dijadikan sebagai rumah hewan-hewan ini. Jumlah harimau tersebut mungkin tidak banyak karena  jarang muncul dan ditemui oleh masyarakat setempat.

Berdasarkan banyaknya keluhan warga, suatu ketika Pemerintah Desa Ngargogondo meminta bantuan kepada Perhutani untuk membasmi kera tersebut. Pihak Perhutani kemudian mendatangkan pawang kera yang berasal dari Suku Badui, Banten, untuk mencoba mengusir kera-kera tersebut. Pawang kera dari Suku Badui tersebut lalu berkemah beberapa hari lalu bergerak untuk menangkap dan membasmi kera-kera tersebut. Hingga pada suatu waktu terjadi peristiwa mistis, ketika ada seekor kera yang diyakini sebagai dedengkot atau kepala suku yang berhasil tertangkap. Wajah kera yang memiliki jenggot panjang itu tiba-tiba berubah menjadi wajah manusia. Anehnya, wajah tersebut menangis dan menyerupai ayah si pawang. Kera itu kemudian dilepaskan dan pawang dari Suku Badui itu pun kembali ke asalnya.

Begitulah cerita-cerita singkat tentang satwa dari Bukit Menoreh yang terletak di sisi selatan Desa Ngargogondo.

 

Gambar

Narasumber

  • Bapak Asrori

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...