(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)
Narasi
Selama hidup, manusia melewati tahapan-tahapan tertentu. Untuk merayakan dan menyelamati setiap tahapan yang dilalui dalam hidup, masyarakat Jawa melakukan beberapa ritual yang tujuannya tidak lain adalah untuk memanjatkan doa dan pengharapan untuk kehidupan yang baik. Ritual-ritual tersebut antara lain, yaitu ngapati, mitoni, muputi, selapanan, aqiqahan, lamaran, dan ngantenan.
Ngapati
Pada saat kandungan seorang Ibu berusia 120 hari atau 4 bulan, masyarakat Jawa biasanya melakukan syukuran Ngapati. Sebagaimana sebutannya, Ngapati berasal dari kata Papat yang berarti empat. Syukuran ini dimaksudkan agar nantinya jabang bayi yang ada di dalam kandungan seorang Ibu diberikan keberkahan dan keselamatan hingga lahir. Masyarakat jawa percaya bahwa pada usia empat bulan, janin seorang Ibu telah ditiupkan ruh oleh Gusti Allah, dan telah ditentukan ajal, rezeki, nasib, dan takdirnya.
“Ngapati itu manjinge ruh kepada si jabang bayi pada saat berusia empat bulan,” jelas Pak Umar yang sering dijuluki Pak Kaum oleh masyarakat Dusun Kurahan, kepada tim Temukenali Desa Karangrejo seusai beliau memimpin ritual ngapati di rumah salah seorang warga.
Pada saat ngapati, biasanya masyarakat membaca empat dari 7 Surah dalam Al-Qur’an, yaitu Surah Yasin, Al-Lukman, Yusuf, Maryam, Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, dan Al-Mulk, di tambah dengan membaca Shalawat. Tujuh surah tersebut di baca dengan harapan ketika lahir nanti si jabang bayi selamat, dengan kondisi badan lengkap, dan kelak menjadi anak yang tampan/cantik serta shaleh/shalehah.
Ada beberapa sajian khusus dalam tradisi ngapati ini, seperti nasi urap, sambal goreng tahu, tumis buncis, baceman, kolak, dawet, ketupat, ubi singkong, jenang abang, jenang putih, telur jawa, ingkung, jejang klekar, dan pelas. Lazimnya, secara turun-temurun ngapati dilaksanakan pada malam Sabtu Wage atau malam Selasa Wage.
Saat prosesi doa ngapati selesai, ditutup dengan ngumbulake Kendhil yang dimaksudkan supaya kelahiran si jabang bayi kelak diberikan kelancaran. Ada juga sebagian masyarakat yang meyakini bahwa jika kendhil tersebut jatuh dalam posisi tengkurap maka bayi yang akan lahir adalah laki-laki, namun jika kendhil jatuh pada posisi mlumah, maka bayi yang akan lahir diyakini berjenis kelamin perempuan. Kendhil sendiri digambarkan sebagai rahim ibu. Pecah kendhil dengan cara diumbulke diyakini supaya kelahiran sang bayi nantinya diberikan kemudahan dan kelancaran.
Mitoni
Setelah kandungan seorang Ibu diperkirakan berusia tujuh bulan, masyarakat Jawa kembali melaksanakan tradisi mitoni yang berasal dari kata pitu atau tujuh. Sama seperti pada saat ngapati, tradisi mitoni juga dilaksanakan pada malam Sabtu atau Selasa Wage. Bedanya, larakan atau jajan pasar dalam mitoni lebih lengkap, yang menandakan bahwa si jabang bayi dalam kandungan telah berwujud lengkap.
Sebagaimana saat ngapati, dalam prosesi mitoni masyarakat membaca tujuh surah dalam Al-Qur’an secara lengkap, yakni Surah Yasin, Lukman, Yusuf, Maryam, Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, dan Al-Mulk. Sesajen yang digunakan masih sama dengan yang ada pada prosesi Mapati. Yang wajib ada diantaranya ialah sego kluban yang menjadi pelambang kesuburan tanah Jawa. Pengadaan sesajen dalam prosesi ini menyesuaikan dengan kondisi ekonomi penyelenggara.
“Kluban itu menandakan kalau kita orang Jawa. Di dalam sego kluban itu sendiri terdapat beraneka ragam makanan seperti sayuran, ingkung, nasi, dan telur yang menandakan kesuburan tanah Jawa,” kata Agus Prayitno (35) menjabarkan tentang tradisi mitoni yang masih dilaksanakan di Dusun Sendaren 1.
Kadang kala, masyarakat menggunakan sego tumpeng yang menjadi pelambang gunung, dan sayuran atau larakan di bawahnya yang menandakan reja atau mulianya sebuah kampung. Pak Kaum atau Kiai di desa bertugas untuk memimpin pembacaan doa dan juga melempar kendhil.
Muputi
Begitu lahir dari rahim ibu, sang bayi masih membawa tali pusarnya. Namun, seiring perjalanan waktu, tali pusar tersebut akan mengering dan lepas dengan sendirinya. Pada saat inilah, tradisi puputan atau muputi dilaksanakan. Tujuannya tidak lain adalah untuk selametan bahwa tali pusar pada bayi sudah terlepas, yang tandanya Ia telah resmi lahir ke dunia.
“Puputan itu tanda syukur ingsun marang Gusti amarga uwis thukul utawa lahir anak ning bumi. (Puput itu artinya putus, atau putusnya tali pusar bayi dari seorang Ibu),” jelas Agus.
Oleh karena itu, tambah laki-laki berpawakan tinggi, kurus, yang merupakan penganut Kejawen tersebut, jika bayi masih ada tali pusarnya maka masih ada sangkut pautnya dengan Ibu. Puputing puser itu melambangkan kalau seorang anak sudah lepas dari Ibu, sehingga sudah siap menghadapi kehidupan di bumi.
Selapanan
Setelah selapan hari dalam kalender Jawa atau sekitar 35 hari setelah lahir, bayi akan diberi syukuran yang disebut selapanan. Menurut keyakinan orang Jawa, hidup dan matinya seseorang itu digambarkan sebagai selapan. “Uriping puput, matine selapan”, demikian istilahnya dalam Bahasa Jawa. Dalam selapanan ini sesajen yang digunakan menyesuaikan kondisi ekonomi masyarakat yang melaksanakannya, tidak memberatkan, dan menyesuaikan apa yang diyakini oleh masyarakat pada umumnya.
Ngedun-dunke/Dundunan
Pada saat bayi berusia tujuh bulan, pada saat Ia sudah mulai belajar merangkak, masyarakat desa Karangrejo sebagian masih melaksanakan tradisi ngedun-dunke atau dalam bahasa lain disebut sebagai tedak siten. Tradisi ini merupakan perwujudan doa dari orang tua zaman dahulu kepada anak perempuan ataupun laki-lakinya agar kelak menjadi anak yang mampu berbakti kepada orang tua.
“Jadi, kalau ngedun-dunke itu ada ayam yang nantinya dibeirkan ke dukun bayi yang mendoakan. Jika ayam tersebut kelak manak di tempat dukunnya, berarti nanti rezeki si anak akan melimpah,” jelas Ibu Yani. Lalu si anak tersebut dijagongke di jadah yang diletakkan di sebuah wadah dari anyaman bambu supaya ketika nanti mencari rezeki, bisa kraket layaknya jadah dan tidak boros. Saat menginjak jadah, sambil dibacakan seolawat Nabi. “Kuwi supaya tekane gedhe bisa ngaji, bekti karo wong tuwa,” imbuhnya.
Jika bayi yang diberkati laki-laki, maka si bayi dipanjatkan ke tangga dari tebu. Masyarakat percaya bahwa hal tersebut bermakna agar si anak saat dewasa lebih tanggung jawab dan lancar rezekinya. “Rejekine lancar, bisa naik-naik-naik, seperti tangga,” jelas perempuan itu.
Adapun ubarampe yang digunakan adalah Jadah, larakan selengkapnya, beras kuning, jenang abang putih, kembang 7 warna, kurungan pitik, sego kluban untuk among-among. Ada juga sesajen untuk si bayi, yakni Gelang emas dan sisir supaya jika bayi perempuan menjadi cantik dan pintar bersolek, uang supaya kelak si anak pintar mencari rejeki, bolpoin, buku, potlot (pensil) agar si anak pintar sekolah, serta Al-Quran supaya kelak si anak pintar mengaji.
Aqiqahan
Sesuai koridor dan norma agama Islam, pada saat aqiqah ketentuan penyembelihan daging kambing untuk perempuan adalah satu ekor, sedangkan laki-laki dua ekor. Di Dusun Bumen Jelapan, biasanya, masyarakat yang hendak melaksanakan Aqiqahan secara serentak pada saat bulan Sya’ban di saat momentum akhirussanah Madrasah Diniyah.
“Jadi siapa yang mau aqiqah, diantar ke sana. Daging aqiqahan itu nantinya dibagikan ke warga dan ke tamu undangan yang hadir di acara itu,” lanjutnya.
Lamaran
Pada saat lamaran, keluarga laki-laki biasanya melaksanakan syukuran kecil-kecilan di rumahnya dengan menyembelih seekor ayam jago sebagai pertanda akan kejantanannya. Kemudian, dari keluarga perempuan biasanya meminta mahar atau seserahan tertentu yang lazim digunakan seperti seperangkat alat salat, perhiasan, dan uang Rupiah.
Ngantenan
Lazimnya, masyarakat Jawa, khususnya di Desa Karangrejo, saat hendak melangsungkan prosesi ngantenan, melakukan dua tradisi. Kedua tradisi tersebut berupa saloka “Ngewehake sesajen marang prapatan lan wit gedhe” yang tak lain maknanya ialah memberikan berkat baik dalam bentuk makanan matang ataupun sembako kepada tonggo teparo (tetangga dekat) dan kepada pamong dusun, seperti Pak Kaum, Kiai, Sesepuh, dan orang-orang yang menjadi pengayom di sebuah dusun. Namun, tak jarang saloka itu diartikan berbeda oleh masyarakat. Sehingga saat hendak ngantenan, mereka meletakkan sesajen di perempatan jalan dan juga di bawah pohon beringin.