(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)
Narasi
Ada salah satu ritual yang cukup unik setiap kali memasuki bulan Suro yang bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah. Suro merupakan Tahun Baru dalam kalender tradisional masyarakat Jawa. Ritual tersebut bernama jamasan, yang dilakukan oleh masyarakat Jawa (khususnya penganut Kejawen) setiap hendak memasuki malam satu Suro. Sebagian masyarakat yang tidak memahami budaya Jawa, cenderung menganggap jamasan sebagai sarana sesembahan terhadap khodam atau jin yang ada pada keris pusaka. Namun, faktanya bukanlah demikian. Agus Prayetno (35), penganut Kejawen, mengungkapkan beragam kesalahkaprahan masyarakat dalam memandang tradisi jamasan.
Pria yang bertempat tinggal di dusun Sendaren I desa Karangrejo ini sudah cukup lama menekuni dunia pusaka peninggalan simbah buyutnya. Di bawah pohon yang sejuk dan rindang, ditemani secangkir teh hangat beserta setoples slondok, kami ngobrol santai terkait dunia Kejawen terutama tentang ritual jamasan. Ritual tradisi ini identik dengan memandikan atau menyucikan keris pusaka dengan ritual tertentu, yang lazimnya dilaksanakan pada malam satu suro.
Agus menuturkan, ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaan ritual jamasan di tahun ini. Selain karena faktor pandemi yang mengharuskan adanya pembatasan kegiatan masyarakat, rupanya malam pergantian tahun dalam kalender Jawa yang jatuh pada malam Selasa Pon, atau yang disebut sebagai tahun Asapon (tahun Alif hari Selasa Pon) ini juga cukup langka. Dalam hitungan bobot, Selasa berarti tiga, dan Pon berarti tujuh, sehingga berjumlah genap. Oleh sebab itu, ritual jamasan tahun ini diperingati dengan orang yang berjumlah ganjil, berbeda dengan malam satu suro pada tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu misalnya, malam satu Suro jatuh pada malam Jumat Wage, yang secara bobot berjumlah ganjil, sehingga diperingati dengan orang yang berjumlah genap.
Suasana sejuk di bawah rimbun pepohonan membawa kami larut dalam perbincangan serius siang itu. Pria yang berperawakan tinggi kurus tersebut menjelaskan kepada kami lebih lanjut tentang Suro dan jamasan.
“Kenapa ritual jamasan ini harus dilakukan pada malam satu suro, kenapa tidak pada hari-hari besar lain? Karena saya menganggap Suro ini sebagai bulan awal, atau bulan-bulan sepuh (tua) menurut penganut Kejawen,” lanjut Agus.
Semua perlengkapan jamasan harus dipersiapkan dengan baik. Bagi penganut Kejawen, jamasan adalah penanda tahun baru dalam kalender Jawa. Ritual jamasan ini secara fisik ditandai dengan penyucian keris pusaka. Namun, secara rohani penyucian tersebut memiliki makna atau saloka tertentu. Menyucikan keris adalah menyucikan jiwa dan raga kita, mengingat hal-hal yang telah terjadi pada hari-hari sebelumnya, memperbaiki diri, memperbaiki sikap dan perilaku menuju kehidupan lebih baik ke depannya.
“Jamasan itu kita harus anut mbureni atau mengikuti tradisi Simbah leluhur kita dahulu, yang kemudian digambarkan dengan jamasan itu sendiri. Jamasan itu artinya reresik,” jelas Agus.
“Nong, ning, gung. nong itu hidup, ning itu kita harus eling, gung itu kita harus ngagungke (mengagungkan) kepada sing gawe urip (Sang Pencipta). Urip kudu eling marang sing gawe urip (hidup harus ingat kepada Sang Pencipta)” lanjutnya.
Adapun sesajen Ubarampe yang digunakan dalam ritual jamasan ini salah satunya adalah sego kluban, yang bermaknakan seluruh isi bumi seperti tumbuhan, hewan, dan kehidupan manusia baik bersifat jasmaniah maupun rohaniah.
“Semua itu dulu adalah saloka (kiasan). Tapi kebanyakan sudah dimakan mentahnya saja (hanya dipahami sekilas saja tanpa mau menggali maknanya),” jelas Agus.
Dia mencontohkan, orang dulu jika ada hajatan besar, diharuskan untuk meletakkan sesajen di perempatan, dan di bawah pohon besar. Orang-orang yang tidak paham dan tidak mau menggali lebih dalam maknanya, justru meletakkan sesajen di perempatan dan di bawah pohon beringin. Padahal makna sebetulnya bukan itu. Perempatan berarti empat arah, kanan-kiri dan depan-belakang, yang berarti tetangga sekitar. Maknanya, bahwa kita diharuskan untuk menyisihkan sebagian rezeki kita kepada tetangga sekitar rumah, sehingga jika musim pernikahan misalnya, tradisi Jawa selalu identik dengan “andum berkat” kepada tetangga sekitar. Kemudian, makna pohon besar adalah sebagai pengayom, bisa direpresentasikan sebagai Kiai, Ulama, pemimpin agama, ataupun pejabat desa setempat. Mereka perlu dipamiti untuk dimintai doa dan restu.
“Itulah, orang dahulu itu kalau memberikan arahan semuanya berupa saloka. Gambaran. Karena apa? Karena kita semua sama, diberikan akal untuk berpikir,” lanjutnya.
Akan tetapi, ada beberapa kesalahkaprahan di tengah masyarakat yang menganggap ritual-ritual tak masuk akal seperti melempar celana dalam sebagai tolak balak supaya tidak hujan, sebagai sebuah ritual Kejawen. Padahal, itu sama sekali tidak ada tuntunannya, dan menyalahi kodrat alam. Kesalahkaprahan tersebut yang kemudian membawa sebagian masyarakat meninggalkan tradisi ritual lokal, dan menganggapnya sebagai tradisi kolot, tidak masuk akal, syirik, dan sederet tuduhan lainnya.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Agus Prayetno, 35 tahun, Pelaku budaya, desa Karengrejo