Cerita Mengenai Jaran di Desa Candirejo dan Ilmu Dibaliknya
(Narasi oleh Beni Purwandaru dan Tatak Sariawan)
Narasi
Kuda dalam Bahasa Jawa juga sering dinamakan ; jaran, turangga, dan haswa. Pada zaman dahulu kuda merupakan alat transportasi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Dan seiring perkembangan jaman keberadaan kuda sudah banyak digantikan dengan besi dan mesin yang sering kita jumpai seperti; sepeda motor, mobil dan banyak lagi lainnya. Kuda atau Jaran merupakan motor penggerak terhadap dokar yang berfungsi untuk menariknya. Tanpa kuda, dokar tak akan bisa dijalankan meskipun bisa ditarik dengan motor namun akan kurang pas dilihat. Jaran menurut bapakku, yaitu Bapak Mardiyat, umur 48 tahun dari dusun brangkal memiliki arti kepanjangan dari “mlajar saparan-paran“atau berlari dimana tempat. Yang maksudnya adalah sudah menjadi kodratnya bahwa jaran memang dimana tempat kerjanya suka berlari, maka orang Jawa menyebutnya jaran. Namun jaran juga diartikannya “ajaran atau wulangan” atau pembelajaran.
Ilmu Katuranggan
Dulu jaran memang disakralkan khususnya di suku Jawa, karena dipercayai bahwa kuda memang mempunyai kawaskitan atau kepandaian yang bisa mengerti keinginan dan apa yang sedang dirasakan oleh tuannya atau pemiliknya. Bahkan kuda juga mengerti apa yang akan terjadi pada tuannya, entah itu kejadian yang akan membawa keberuntungan atau kejadian yang akan mencelakakan tuannya. Setiap kuda juga mempunyai karakter yang berbeda, dan disitulah banyak orang Jawa pada jaman dulu yang suka mempelajari “ilmu katuranggan” yaitu ilmu tentang mengenali watak berdasarkan bentuk fisik, entah itu kuda, burung perkutut, keris, juga Wanita yang akan dijadikan pendamping hidup. Dengan ilmu katuranggan tersebut mereka akan mengetahui kecocokan watak antara kuda dengan tuannya. Karena dengan kecocokan watak maka akan sangat mempengaruhi dalam perjalanan hidup pasangan.
Tanggap ing Sasmita
Jadi kenapa kuda atau jaran diartikan ajaran atau pembelajaran? Karena disini kita dituntut untuk belajar untuk memahami “solah bawa” atau perilaku terhadap kuda tersebut, dan harus “tanggap ing sasmita” sensitive atas apa yang dipesankan lewat perilaku kuda tersebut. Ketika kita menguasai ilmu katuranggan maka kita akan bisa mengetahui pesan- pesan tersebut kemudian kita juga harus bisa mengolah rasa untuk segera tanggap. Kalau semua sudah sesuai dengan berita yang disampaikan maka kuda pun akan merasakan kecocokan dengan manusianya, obahing tali kendali, singsete pakain kang wus jumbuh karo kareping turangga mulo kabeh bisa lumaku kanti pekoleh. Kalau semua sudah pas dengan apa yang mereka inginkan maka kecocokan akan terjadi. Dan kuda pun akan bisa menerima apa yang diinginkan dengan obahing tali kendali lan sapinunggalane, kuda akan mengerti apa yang diinginkan tuannya. Akan tetapi manusia juga harus mengerti dan tanggap ing sasmita terhadap solah bawane jaran, harus tahu dengan perilaku kuda dan ini jangan dianggap remeh. Sebagai contoh kuda kecapekan maka biasanya kuda akan berlari lemas, dan kita harus tahu itu. Jika itu terjadi maka kita harus menghentikan untuk segera istirahat. Kalau tidak, maka kuda bisa saja akan mengamuk dan semacamnya.
Manunggaling Kawula
Menurut pengalaman Bapak Mardiyat batas lari kuda milik beliau antara jarak 10.km. jadi kalau kuda sudah lari kisaran jarak tersebut maka harus diberi istirahat. Untuk itu dalam ilmu katuranggan, jaran juga diartikan “nindakake ajarane pangeran” kita harus bisa menjalankan ajaran Tuhan dengan kata lain kita juga harus bisa menyatukan antara raga dan sukma. Bila dipraktikkan dalam kehidupan manusia kita harus mengetahui apa yang raga ini inginkan dan apa yang Gusti atau Tuhan inginkan. Jadi kuda atau jaran mengajarkan kita untuk bisa manunggaling kawulo kelawan Gusti, atau menyatunya hamba dengan Tuhannya.
Ciri mathi kuda
Selain ilmu katuranggan dengan melihat pesan lewat perilaku kuda, ada juga yang mempelajari tentang “ciri mathi kuda“, adalah ilmu titen tentang karakter kuda berdasarkan letak pusaran rambut atau unyeng-unyeng kuda. Kuda mempunya beberapa tempat pusaran yang salah satunya pada bagian kepala.
- Ada yang di jidat kuda berpusar satu dan jika letaknya sedikit di atas mata namanya “Gedong Minep” maka itu artinya kuda bagus, dan yang punya akan bisa menyimpan harta dan banyak riski.
- Jika letaknya di bawah mata namanya “Tadah Luh” maka kurang bagus, karena dipercayai yang punya kuda akan sering menangis dan tidak banyak rizkinya.
- Jika berpusar dua kiri-kanan itu dinamakan kembang sepasang, atau bunga sepasang akan sangat bagus dan dipercaya bahwa si pemilik akan banyak rezekinya dan disukai banyak orang.
- Jika berpusar dua tapi posisi atas bawah dinamakan “Boyo Pethuk”, bila diartikan boyo adalah marabahaya, dan pethuk artinya ketemu. Dengan kata lain siapa saja yang memelihara kuda boyo pethuk maka diyakini si pemilik akan sering menjumpai marabahaya.
- Jika satu unyeng-unyeng terletak di dada tengah namanya “Pasopati” itu tidak baik karena yang punya akan mendapat celaka.
- Jika unyeng-unyeng terletak di leher memanjang dari atas sampai bawah itu namanya “Rajawana” itu bagus, karena akan bisa melebur dari unyeng-unyeng lain yang tidak pas.
- Jika terletak di perut bagian bawah memanjang dari kanan sampai kiri itu dinamakan “Sabuk Rantai”itu bagus bagi yang suka balap kuda karena tenaga kuda tersebut akan kuat.
- Jika terletak tepat di pangkal paha kiri dan kanan itu namanya “Pudhak” itu bagus karena kudanya kokoh tidak gampang terjatuh, namun jika tinggi sebelah namanya “Cincing” itu kurang bagus karena kuda tersebut akan sering terjatuh.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Bapak Mardiyat, 48 tahun, pemerhati budaya, dusun Brangkal desa Candirejo