(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)
Narasi
“Sore-sore niku pas kulo tesih cilik, weruh menthog ing mburi omah…
ajeng kulo cekel diloke Bapak… ojo, kui keblak”
“Sore itu saat saya masih kecil, lihat menthog di belakang rumah. Ingin saya tangkap, tiba-tiba diingatkan bapak untuk jangan kalau itu keblak”, kata Mbah Madiyo (67 tahun) seorang warga Dusun Jligudan.
Beliau bercerita saat itu musim hujan dan kebiasaannya ketika kecil yaitu bermain di sekitar sungai karena banyak teman sehingga sering lupa waktu. Orang tua juga kerap mencarinya jika matahari mulai tenggelam. Suatu sore, beliau dan teman-temannya merasa cukup bermain di sungai dan segera pulang. Ketika tiba di rumah, beliau langsung menuju ke belakang rumah untuk mandi. Secara tidak sengaja, beliau melihat seekor menthog di belakang rumah. Menthog itu ada di bawah pohon bambu. Dengan sigap, beliau mengendap-endap hendak menangkapnya dalam hitungan detik. Namun oleh ayahnya dipanggil dengan nada tinggi dan melarangnya menangkap binatang berbulu itu. Ayahnya segera menariknya masuk ke dalam rumah dan memberitahu dengan nada pelan, “ojo dicekel nek sore-sore ono menthog ning njaba omah, iku keblak”. Menurut penjelasan sang Ayah, keblak merupakan sebangsa lelembut yang sering keluar di sore hari mencari “anak nakal” yang suka pulang terlalu sore dari bermain. Meski demikian keberadaan keblak saat ini dianggap sebagai mitos buatan orang tua zaman dulu untuk menakuti anak-anak agar patuh dan tidak sembarang keluar dari rumah menjelang petang hari.
Gambar
Narasumber
- Mbah Madiyo, 67 tahun, Sesepuh desa Borobudur