(Narasi oleh Nurul Amin H., Wasis, dan Kartika Aulia Utami)
Narasi
Pementasan kesenian sebagai simbol ucapan terima kasih dan suka cita karena bumi yang dipijak, angin yang dihirup, air yang diminum, dan api untuk penerangan masih ada sampai saat ini. Tanpa adanya kesenian, suatu desa akan sepi dan masyarakat akan memilih bermain keluar desa hingga pada akhirnya meninggalkan budaya dan tradisinya. Ada beberapa macam kesenian di Desa Kembanglimus, di antaranya yaitu prajuritan, topeng ireng, rebana, warok bajang, brondut, dan tari-tarian Jawa.
Prajuritan
Kesenian prajuritan ini dimainkan oleh kelompok kesenian yang berada di Dusun Gombong, RT 01 RW 04, Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur. Kesenian ini disebut prajuritan karena menggambarkan para prajurit yang sedang melakukan latihan olah kanuragan (bela diri) untuk membela bangsa dan negara, ditambah dengan gerakan-gerakan lain yang menggambarkan sebuah aktivitas pertanian dan aktivitas pertukangan.
Gerakan tarian prajuritan ini bersemangat dan menggambarkan kelincahan serta kekuatan seorang prajurit. Musiknya juga lantang, menggambarkan semangat yang tinggi. Alat musik yang digunakan diantaranya jedor, bende, truntung, dan simbal. Penari memakai kostum baju, celana, jarik, kendi/bengkung dan aksesoris, serta menggunakan ikat kepala atau mahkota keprajuritan, dan sempyok atau rompi khusus. Namun, terkadang untuk prajurit laki-laki tidak memakai baju. Kesenian ini mengajak masyarakat dan penontonnya untuk semangat membela negara, mencintai tanah air dan bumi pertiwi, serta mengenang dan mengingatkan kita pada sejarah perjuangan dalam merebut kembali bumi pertiwi dari tangan penjajah. Selain itu, Desa Kembanglimus yang masih berada di banjaran Pegunungan Menoreh mengingatkan kita akan perjuangan Pangeran Diponegoro dan prajuritnya.
Topeng Ireng
Sehabis dzuhur saya berangkat dari rumah menuju rumah Bapak Muharun selaku ketua kesenian di Dusun Sembungan, Desa Kembanglimus. Menurut penuturan Beliau, cerita tentang kesenian topeng ireng berawal dari sekelompok anak-anak kecil yang menari-nari gerakan tari topeng ireng dengan alat musik seadanya, ember besar, ember kecil, panci, dan kentongan bambu. Kurang lebih ada 10 anak seusia sekolah dasar dalam kelompok tersebut. Setiap ada kegiatan pada tingkat dusun, anak-anak tersebut sering kali menari-nari layaknya kelompok kesenian. Bahkan, beberapa kali diminta menari oleh tetangga sekitar dan di berikan uang Rp 10.000 sebagai imbalan untuk sekadar jajan. Akhirnya, para orang tua berkumpul dan mengadakan rapat dusun. Diambillah keputusan bersama untuk menghadirkan guru topeng ireng dari kelompok Manusia Rimba Gedongan dari Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur.
Antusias anak-anak dalam mengikuti pembelajaran tari topeng ireng sangat tinggi, hingga menarik muda-mudi untuk turut serta dalam latihan. Selang beberapa waktu, berdirilah kelompok kesenian topeng ireng yang diberi nama Mustika Rimba. Latihan pertama kali dilakukan di kediaman Bapak Muharun. Selanjutnya, latihan topeng ireng dilakukan di kediaman Bapak Wasis.
Kesenian topeng ireng aslinya bernama topeng kawedar juga disebut ndayakan. Kesenian ini dinamakan topeng kawedar karena tarian atau kesenian ini tidak memakai topeng melainkan riasan muka saja. Kesenian ini berasal atau lahir di wilayah Borobudur, yaitu Dusun Tuksongo, Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur, pada tahun 1940-an. Pada saat itu Simbah Amat Sujak sedang bersemedi kemudian didatangi seekor macan besar atau harimau dan setelah itu beliau membuat kepala macan dari seng atau pelat besi dengan melihat macan yang ada di depannya tadi. Beliau menyelesaikan pembuatan topeng itu setelah sang harimau pergi. Selanjutnya, Beliau memakai topeng itu sambil memperagakan ilmu silat harimau yang Beliau miliki. Kemudian, Beliau juga membuat kostum harimau sebagai kelengkapannya dan membuat lima kepala hewan lainya yaitu gajah, kerbau, kambing, dadak dan kuda. Karena hal inilah, sampai saat ini pementasan topeng ireng secara utuh pasti ada kewan-kewanan atau penari yang memakai kostum hewan.
Setelah itu, beliau membuat tarian rodat dan setrat (montolan). Karena topeng kepala hewan hanya melibatkan sedikit orang, sedangkan muridnya banyak, maka dibuatlah tari-tarian tersebut. Mulanya, kostum yang dikenakan adalah setelan baju dan celana berwarna hitam khas Pendekar Bukit Menoreh. Namun, karena dulu masih jarang orang yang punya pakaian atau baju, maka penari mewarnai tubuh mereka menggunakan langes (hasil pembakaran lampu minyak yang menempel pada semprong kaca atau tutup lampu). Tarian rodat dan setrat berisi gerakan-gerakan pencak silat yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga orang lain atau penonton melihat kesenian tersebut hanya sebagai sebuah tarian bukan jurus dan kembangan pencak silat. Karena berpakaian atau mengenakan kostum serba hitam, maka dalam perjalanannya dinamakan topeng ireng. Topeng ireng ini juga bisa diartikan “toto lempeng irama kenceng” yang artinya berbaris lurus dan irama musiknya keras.
Dalam perkembangannya, topeng ireng sampai saat ini mengenakan kostum kain yang warna-warni karena mengikuti zaman. Kesenian topeng ireng biasanya ditampilkan pada acara-acara yang digelar oleh masyarakat, seperti tasyakuran, pernikahan, sunatan, dan tasyakuran/selamatan yang lain sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. atas nikmat yang diterima. Dahulu kala, kesenian ini ditampilkan di acara kirab pada barisan paling depan sebagai pembuka jalan arak-arakan pemasangan mustaka masjid, khitanan, dan lain sebagainya, karena berkostum setelan warna hitam dan diwarnai dengan langes membuat para penonton menyingkir karana takut kotor sehingga kirap berjalan dengan lancar. Dalam acara arak-arakan pasti jumlah peserta maupun pemain topeng ireng keduanya berjumlah banyak. Oleh karena itu, masyarakat menyebutnya ndayaan. Ndayaan diambil dari kata Jawa yaitu sak ndayak yang artinya banyak sekali. Alat musik yang digunakan adalah jedor, dodok/kendang bolong, suling, dan bende. Penari memakai kostum rompi dan rok atau bawahan khusus topeng ireng. Dilengkapi dengan kuluk dari bulu bulu unggas ada juga kuluk yang terbuat dari bulu-bulu ayam jantan (jago), ada juga yang memakai kostum hewan yang disebut kewan-kewanan. Sedangkan kostum yang digunakan untuk para penari rodat dilengkapi dengan aksesoris kerincing yang banyak dan dirangkai serta dipakai pada kaki. Tarian topeng ireng ini gerakannya keras, rampak, bertenaga namun ada kelembutan, serta musiknya yang keras menambah semangat para penari dan penonton. Syair lagu atau tembangnya berisikan dakwah Islam dan semangat perjuangan. Topeng kawedar atau ndayakan atau topeng ireng ini memiliki tiga babak pementasan inti, yaitu rodat, setrat, dan kewan-kewanan.
Rebana
Setiap dusun di Desa Kembanglimus memiliki grup rebana atau selawatan yang diiringi dengan terbang (alat musik rebana). Namun, hanya tersisa dua kelompok yang masih bertahan, yaitu Robitoh Nurul Huda Dusun Gombong dan grup rebana di Dusun Ngasinan Kembanglimus. Selawatan Rebana ini di lakukan oleh anak anak, remaja, dewasa, dan orang tua, namun lebih sering di lakukan oleh anak-anak dan remaja serta pemuda-pemudi. Kegiatan latihan rebana ini diadakan bergilir dari rumah ke rumah. Hal ini dimaksudkan agar pelaku kesenian reban bisa saling bertemu dan beramah-tamah (silaturrahim) dengan para tetangga, serta sebagai alat dakwah Islamiah. Kiai setempat juga diundang untuk mengisi pengajian pada saat mengumandangkan selawat. Pada saat tradisi puputan, selawat rebana juga dikumandangkan bersama dengan pemotongan rambut bayi. Puputan diambil dari kata puput, puput adalah lepasnya tali pusar yang menempel pada perut bayi yang baru lahir yang setelah lepas dan kering menjadi wudel (pusar). Puputan adalah ritual pencukuran rambut pertama kali dan penamaan pada bayi setelah bayi puput berumur 4 hingga 7 hari. Isi dan maksud dari berselawat rebana ini, di antaranya sebagai ungkapan kecintaan terhadap Rosulullah Muhammad SAW., mengharap ridho dan syafaatnya, supaya anak cucu kita mencintai dan mencontoh perilaku, akhlak, serta ilmu agama yang diajarkan Rasul.
Ada dua jenis rebana di Desa Kembanglimus, yaitu rebana klasik dan rebana modern/campur sari. Kesenian rebana klasik masih menggunakan alat-alat terbang umum seperti terbang, ternang, terbang bas, simbal, dan kecer. Sedangkan pada rebana modern ada tambahan keybroad, bas, gitar. Selain itu, ada juga rebana kreasi yang ditambah dengan gamelan Jawa. Pada saat giliran atau latihan, pakaian yang di gunakan adalah pakaian biasa. Ada yang memakai baju koko deangan bawahan sarung dan pakai kopyah/peci, ada yg pakai baju hem, ada juga yang pakai kaos dan ketu (kopyah dari bahan benang woll) serta celana panjang. Namun, saat tampil pada acara khusus mereka memakai baju seragam, yaitu baju putih lengan panjang dengan bawahan sarung dan kupluk (kopyah) untuk laki-laki, dan baju putih atau kebaya, jilbab, dan bawahan rok untuk perempuan.
Menurut penuturan Wakil Ketua Ta’mir Masjid Gombong, Khafid Zakarya (29 tahun), yang beralamat di Dusun Gombong Kembanglimus, rebana ini dimainkan oleh anak-anak perempuan dan remaja laki-laki secara terpisah. Dalam 1 kelompok rebana terdapat sekurang-kurangnya dua belas pemain. Pakaian yang dikenakan pada saat memainkan rebana di acara-acara tertentu adalah baju berwarna putih untuk bawahan warna hitam, dan kerudung warna hitam untuk putri. Rebana ini biasa dimainkan secara rutin pada malam Senin. Selain itu, kesenian rebana juga dimainkan pada acara pernikahan, acara pengajian, acara memberikan nama bayi yang dalam bahasa Jawa disebut puputan atau dalam bahasa Arab disebut tasmiyahan, serta acara Maulud Nabi Muhammad SAW.
Adapun syair yang biasa disenandungkan adalah syair-syair berbahasa Arab, khususnya pada saat acara Maulud Nabi. Kadang kala juga yang menggunakan bahasa campuran (Arab dan Jawa). Di dalam syair tersebut terkandung makna yang berisi ajaran/tuntunan hidup sebagai seorang manusia. Syair bahasa Jawa mengingatkan akan kematian, nasihat kehidupan sehari-hari, dan nasihat untuk meminta ampun. Adapun syair bahasa Arab berisi mengenai situduror, yaitu kitab sejarah kelahiran dan perjalanan hidup Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Nilai spiritual yang ada didalam syair lagu rebana tersebut adalah ajakan untuk mencintai Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Selain itu, melalui kesenian rebana ini, tersirat harapan untuk memperkuat keimanan, persaudaraan antar majelis, dan sebagai tolabul ‘ilmi atau menambah ilmu. Bapak Khafid memainkan rebana dan membimbing anak kecil hingga dewasa untuk turut serta memainkan kesenian rebana adalah sebagai salah satu upaya melestarikan kesenian yang sekaligus sarana ibadah. Salah satu lagu yang diiringi rebana adalah lagu Turiputih berkaitan dengan kematian yang artinya sebelum manusia terbungkus kain kafan harus memiliki bekal yang cukup (amal ibadahnya).’’ditumpake kereto Jowo rudane rudo menungso”, yang artinya adalah bahwa setelah kita mati, kita tidak membawa harta dan tidak naik kendaran seperti mobil, melainkan kita hanya dibawa dengan menggunakan keranda serta yang memikul adalah manusia.
Warok Bajang
Informasi mengenai kesenian Warok Bajang diperoleh dari Bapak Rohadi (40 tahun) selaku perangkat desa di Dusun Bumen Desa Kembanglimus. Beliau merupakan salah satu tokoh yang menyemangati anak-anak Dusun Bumen supaya mencintai seni. Berdasarkan keterangan Bapak Rohadi, kesenian ini menggambarkan perkumpulan para warok yang berlatih dan adu kekuatan karena berpakaian seperti warok dan berlagak seperti warok. Warok adalah orang yang punya ilmu kanuragan yang mumpuni (ilmu kadikdayan/kekuatan tubuh dan supranatural) yang aslinya berada di wilayah Ponorogo, Jawa Timur. Adapun kata bajang digunakan karena kesenian ini ditarikan oleh anak-anak.
Kesenian ini berada di Dusun Bumen Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur. Alat musik yang digunakan dalam kesenian Warok Bajang adalah jedor, bende, dodok atau kendang, dan simbal. Kostum yang digunakan adalah setelan baju dan celana hitam, ikat kepala, dilengkapi dengan aksesoris tali lawe. Tali lawe adalah tali tambang sebesar gagang pisau dapur terbuat dari lawe yang khusus digunakan warok. Hanya anak laki-laki saja yang menarikan kesenian ini sebagaimana aslinya warok ponorogo yang pelakunya hanya laki-laki saja.
Brondut
Berdasarkan penuturan bapak Sugiyanto selaku aparat Perlindungan Masyarakat (linmas) Desa Kembang Limus, brondut berasal dari kata Kubro Dangdut. Kesenian aslinya adalah kubro siswo. Namun, karena memakai musik kubro yang dikolaborasikan dengan musik dangdut, maka kesenian ini dinamakan Brondut alias Kubro Dangdut. Brondut Putri berada di Dusun Bumen Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur. Kesenian Kubro ini menceritakan gambaran perang kemerdekaan di wilayah Jawa Timur, yaitu adanya pasukan santri Laskar Jihad. Oleh karena itu, kesenian brondut dimainkan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan atas apa yang telah dicapai dan dimiliki. Alat musik yang digunakan pada mulanya adalah jedor, bende, dodok atau kendang, dan simbal. Namun, saat ini, pemain kesenian memilih menggunakan media rekaman yang berisikan musik kubro dangdut. Penarinya adalah kelompok putri dengan kostum baju putih dan celana hitam, dilengkapi aksesoris kacamata hitam, rompi, topi khusus kubro siswo, serta mengenakan sepatu.
Soreng Karya Tulada
Berdasarkan penuturan bapak Wasis Muhammad Wachid (47 tahun), Karya Tulada adalah kelompok kesenian yang lahir pada tahun 1988 di Dusun Gombong, Kembanglimus, Borobudur. Soreng Karya Tulada adalah kelompok kesenian murid dari kelompok kesenian di lereng merbabu tepatnya Dukuh Garon, Banyuroto, Sawangan, Magelang. Masyarakat lokal Kembanglimus menyebut Karya Tulada sebagai sorengan dan merupakan satu-satunya kesenian soreng di Wilayah Borobudur kala itu. Tarian sorengan mengambarkan para prajurit Untung Suropati yang sedang berlatih dipimpin oleh Soreng Rono dan Sorengpati. Di akhir pentas, mereka (para prajurit Untung Suropati) di gambarkan berangkat perang. Tari sorengan atau kesenian soreng Karya Tulada ini ditarikan oleh laki-laki dan perempuan, remaja dan dewasa.
Tari-Tari Jawa
Tari-tarian Jawa yang ada di Desa Kembanglimus baru dimulai sekitar tahun 2016. Sejak didirikan, sudah ada beberapa jenis tarian yang dikreasikan, di antaranya yaitu tari lir-ilir, nawung sekar, tari cipat-cipit, dan saat ini sedang mengreasikan Sendra Tari Manohara. Manohara adalah seorang tokoh Bidadari yang menjelma putri cantik jelita dari Kerajaan Burma. Cerita Manohara sendiri berada pada relief Avadana panil 1-20 Candi Borobudur, berisikan cerita cinta kasih, penderitaan, dan kemakmuran. Cinta kasih antara Pangeran Sudana dengan Putri Manohara serta cinta Raja kepada rakyatnya, dan sebaliknya. Penderitaan Raja dan rakyat pancala utara karena paceklik yg melanda. Kemakmuran kembali setelah Pangeran Sudana Kumara dan Putri Manohara dinikahkan kembali oleh Raja Burma ayahanda dari Putri Manohara dan dinobatkanya Pangeran Sudana sebagai Raja di Kerajaan Pancala utara. Tarian ini dimainkan oleh anak-anak dan remaja yang tergabung di Sanggar Seni Laskar Menoreh yang berasal dari warga Dusun Gombong, Dusun Ngasinan, Dusun Wonotigo, dan Dusun Bumen.
Lokasi
map
Narasumber
- Khafid Zakarya 29 tahun,Takmir masjid Gombong, Desa Kembanglimus
- Bapak Rohadi, 40 tahun, Perangkat desa, Dusun Bumen Desa Kembanglimus
- Wasis Muhammad Wachid, 47 tahun, Dusun Gombong Desa Kembanglimus