(Narasi oleh Rangga Tsalisul A. dan Loh Sari Larasati)
Narasi
Sore ini saya merangkak dari kasur dan sesegera mungkin menuju kamar mandi untuk cuci muka. Saya mengambil kunci motor dan segera bergegas pergi ke Pondok Tingal untuk menemui Bapak saya. Ternyata, di Pondok Tingal akan ada pagelaran wayang dengan lakon ‘Kidung Pralaya Sang Senopati’ bersama Dalang Ki Joko Suseno atau yang akrab dipanggil Pak Sus. Sebuah kebetulan saya langsung ngobrol dengan salah satu pelaku dalam budaya ini yaitu Mas Henoh, namun beliau lebih akrab disapa dengan sebutan Mas Seno. Dimulai dengan percakapan ringan, percakapan kami kemudian mengerucut pada pagelaran wayang yang akan dilaksanakan nanti malam.
Lakon Pagelaran
“Mas, pagelaran ini lakonnya apa ya?” tanya saya.
“Lakon nanti malam adalah ‘Kidung Paralaya Sang Senopati’. Lakon ini, menyampaikan dakwah bahwa manusia harus dekat dengan Allah SWT, dekat dengan sumbernya hidup, dan harus sejalan dan sejalur. Kadang-kadang seperti ini, biasanya menjenguk orang sakit dengan membacakan ‘innalilahi wa innalilahi rojiun’ itu kan hal tabu dikira untuk orang mati, namun jika dilihat artinya ‘dari Allah akan kembali ke Allah’, kan segala sesuatu itu pasti akan kembali ke sang pencipta,” Mas Seno menjelaskan dengan gamblang.
Ketika saya sedang berdiskusi dengan Mas Seno, tiba-tiba Pak Sus ikut ngobrol bersama kami, beliau juga menambahkan tentang lakon ‘Kidung Pralaya Sang Senopati’ nanti malam.
Almarhum Bpk Boedihardjo
“Lakon ini ada kaitannya dengan almarhum Bapak Boedihardjo. Pak Boedihardjo menghendaki dibawakan lakon dari Ki Manteb, dimana sebelumnya Pak Boedihardjo bersama Pak Teguh (Tokoh Budaya Magelang) dan Pak Darwo (Tokoh Budaya Magelang) berdiskusi tentang lakon ‘Gatot Kaca Gugur’ tetapi tidak mati. Lakon ‘Kidung Pralaya Sang Senopati’ ini saya tulis ketika Bapak Beodihardjo divonis dokter umurnya tinggal singkat, namun ternyata bisa melewati batas waktu itu. Namun, belum sampai ‘Kidung Pralaya Sang Senopati’ dipentaskan, Pak Boedihardjo berpulang.
Akhirnya, lakon ini dipentaskan pertama kali oleh Ki Manteb di Hotel Pondok Tingal sesuai dengan keinginan Pak Boedihardjo. Semua ini dilakukan untuk menghormati Pak Boedihardjo, dimana almarhum punya darmabakti terhadap NKRI sebagai wartawan, budayawan, dan menteri,” tambaham cerita singkat dari Pak Sus mengenai lakon ini.
Kematian Gatotkaca
Pak Sus juga menyampaikan bahwa beliau didawuhi Pak Teguh, teman dari almarhum Bapak Boedihardjo untuk mementaskan lakon ini di Hotel Pondok Tingal. Lakon ini menggambarkan bahwa almarhum Bapak Boediharjo adalah seorang ‘Gatotkaca’, dimana kematian Gatotkaca di Barathayudha dalam dunia pewayangan adalah kematian yang tidak ada yang pernah sia-sia atau mati suci. Hal ini juga sama dengan jasa-jasa alhmarhum Bapak Boedihardjo semasa hidup sebagai seorang pilot, wartawan, budayawan dan menteri yang tidak sia-sia terhadap NKRI. Saat saya ingin bertanya kepada Pak Sus kembali, namun beliau beranjak pergi karena ada tamu. Kemudian Mas Seno kembali melanjutkan ceritanya.
Siklus hidup
“Ya kurang lebih seperti itu Mas Rangga, cerita tentang lakon ini. Pesan dari ‘Kidung Pralaya Sang Senopati’ ialah hidup adalah sebuah siklus. Lahir menjalani kehidupan mengalami kematian bagaimana kita akan kembali kepada hidup yang sejati maka di dunia hiduplah dengan hal yang positif,” Mas Seno melanjutkan.
“Lalu bagaimana dengan ‘laku’ dari dalangnya Mas?” saya penasaran.
“Laku seorang dalang tentunya kembali kepada kepercayaan pribadi. Salah satunya yaitu, perlunya membaca, menonton film, meditasi, berdoa dalam waktu-waktu hening. Ritual khusus yang dilakukan beberapa minggu terakhir ini oleh Pak Sus untuk pentas nanti malam itu ke masjid lebih lama untuk berdzikir. Terus, waktu pentas nanti ada kembang sebagai simbolik, merah putih bendera kita, merah dan putih simnol darah dan air yang selalu mengalir di dalam diri kita, kantil hidup harus wangi, menjadi wangi dalam kehiduopan maupun kematian”.
“Nggih Mas, maturnuwun sanget ceritanya. Nanti malam acara mulai jam berapa ya mas?” saya bertanya.
“Biasanya Wayangan dilakukan setelah bada isya, datang saja nanti setelah isya,” tutur Mas Seno diakhir penjelasannya.
Gambar
Narasumber
- Henoh Aldebaran Ngili, 26 tahun, pemerhati budaya, dusun Jonalan, desa Wanurejo