(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)
Narasi
Sinar rembulan menunjukkan eksistensinya. Sunyi, senyap, terdengar hembusan angin kecil yang menerpa tubuh kecilku ini. Malam itu aku berencana mengikuti manasik di rumah Bapak Sutarjo. Tepat pukul 23.15 WIB aku berangkat menuju rumah Bapak Sutarjo. Ditemani oleh kuda besiku yang setia mengantarkan kemanapun aku pergi. Aku berangkat seorang diri dengan perasaan sedikit khawatir karena malam itu benar-benar sunyi, sepi. Sepanjang jalan aku hanya bertemu oleh satu dua orang pengendara motor yang memacu kendaraanya dengan sangat cepat, sedangkan aku? Aku tidak berani melaju cepat karena udara yang sangat dingin menusuk tulangku. Jarak rumahku dengan rumah Bapak Sutarjo tidak jauh, sekitar dua kilometer saja. Dusun Jligudan tepatnya, tetangga dusun denganku. Itu menjadi salah satu alasan kenapa aku berani ke rumah beliau seorang diri.
Pak Sutarjo
Sesampainya di rumah beliau aku memarkirkan kuda besiku di sebelah rumah. Aku melihat pintu rumahnya yang masih terbuka, maka aku segera bergegas masuk. “Tok tok tok… assalamualaikum” aku mengetuk pintu sambil mengucap salam dan tersenyum simpul. “Waalaikumsalam, kene mlebu dek, ro sopo le rene?” (sini masuk dulu sama siapa kamu ke sini?) tanya Pak Sutarjo sambil melihat keluar. “Sendirian Pak hehe kulo mboten telat kan niki?” (sendirian pak hehe saya tidak telat kan ini?) tanyaku pelan karena di rumah beliau sudah ada empat orang tamu yang datang. “Ora kok, iki isih sejaman neh le mulai karo nunggu wong 2 sek hurung teko” (Tidak kok, ini masih satu jam lagi mulai sekalian menunggu 2 orang yang belum datang) jawabnya lembut seakan memaklumi aku yang baru pertama kali datang dan belum tau kebiasaan di sana.
Kemudian sembari menunggu dua teman lagi aku mengobrol sedikit dengan orang-orang yang sudah lebih dulu sampai sana. Ditemani oleh teh hangat buatan Pak Sutarjo dengan kue yang berjajar rapi di meja kami saling bertanya mengenai keseharian kami masing-masing. Tak lama kemudian dua orang tersebut datang. Jarum jam telah menunjukkan pukul 24.00 WIB.
Waktu tengah malam
Setelah semua orang hadir, Bapak Sutarjo meminta kami untuk bersiap-siap karena acara manasik segera akan dimulai. Manasik adalah salat malam yang dilakukan paling awal pukul 24.00 WIB dan paling akhir dilakukan pukul 03.00 WIB. Rangkaian kegiatan ketika manasik adalah salat hajat 2x dilanjut dengan doa bersama. Ketika akan melakukan salat hajat semua orang wajib bersuci terlebih dahulu. Ketika akan melaksanakan salat hajat dianjurkan supaya jangan tidur terlebih dahulu. Hal itu merupakan satu keprihatinan (puasa tidak tidur dari pagi sampai akan melaksanakan salat hajat). Salat hajat bisa dilakukan sendiri maupun berjamaah. Salat ini bertujuan untuk meminta kepada sang pencipta supaya apa keinginan atau hajatnya segera terkabul. “Ngopo salat hajat kudu tengah wengi? Kui mergo awak dewe jipuk berkahe wong sek turu mau, dewe oleh berkah luwih akeh mergo gelem prihatin” (kenapa salat hajat harus tengah malam? Itu karena diri kita mengambil berkahnya orang yang tidur tadi, kita dapat berkah lebih banyak karena mau prihatin) kata Bapak Sutarjo pelan memberitahu aku yang memang dalam hati masih bertanya kenapa harus tengah malam dan kenapa tidak boleh tidur terlebih dahulu. “Salat iki yo iso dilakukan disembarang tempat asal tempat kui tenang, intine ora akeh gangguan. Misal arep dilakoni nang kebon po kali yo rapopo asal nggo alas ojo nang lemah” (Salat itu bisa dilakukan disembarang tempat selama kondisinya tenang, intinya tidak banyak gangguan. Misal akan dilakukan di kebon atau sungai ya tidak apa-apa selama menggunakan alas dengan tidak menapak langsung tanah) tambahan dari tuturan beliau yang semakin membuatku bisa membayangkan mengenai salat hajat.
Sepanjang bulan Sura
Jarum jam menunjukkan pukul 00.30. Setelah bersuci semua orang bersiap menempati posisi membentuk saf untuk segera melaksanakan salat. Semua lampu dimatikan, benar-benar gelap gulita dan tenang. Suara imam yang nyaring terngiang-ngiang di telingaku. Selesai salat kami melakukan doa bersama. Doa yang khusuk, panjang, dan penuh pengharapan kami panjatkan. Satu setengah jam berlalu, barulah lampu kembali dinyalakan dan kamu berbincang-bincang sebentar. Acara manasik ini dilakukan rutin selama bulan sura. Bulan-bulan biasa dilakukan satu minggu sekali setiap malam jumat. Apabila ingin melaksanakan sendiri dirumah maka tidak ada hari-hari khusus, karena semua hari adalah baik dan setiap hari kita boleh meminta kepada sang pencipta. Tak terasa jarum jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Aku segera bergegas untuk pulang mengingat mata ini sudah tidak bisa diajak kerjasama. Mataku dilanda kantuk yang tak bisa kutahan, terasa ada lem super lengket yang menempel pada kelopak mataku. Sebelum semua tidak bisa aku kondisikan, aku segera berpamitan. Dengan mata yang sangat berat, aku berusaha pulang. Aku mengambil kuda besiku dan perlahan berjalan pulang. Bertemu dengan kasur adalah hadiah terindah di pagi hariku.
Mujahadah di Kaliabon
Tak terasa mentari telah mengintipku melalui sela-sela celah atap kamar. Aku terbangun dari tidur pendekku dan bergegas mandi untuk melanjutkan aktivitas, kebetulan sekali pagi itu aku diundang ke rumah Ibu RT untuk menghadiri acara pembubaran panitia Agustus. Tidak sengaja aku bertemu dengan Ibu Budiyah. Kami pun saling bertegur sapa dan akhirnya sedikit mengobrol. Ibu Budiyah adalah ketua majelis Taklim Dusun Kaliabon. Aku menceritakan pengalamanku pertama kali mengikuti manasik di rumah Bapak Sutarjo semalam. Ternyata di Dusun Kaliabon juga ada, tapi dilakukan di jam-jam wajar yaitu 19.30-21.00 WIB. Warga Dusun Kaliabon menyebutnya dengan mujahadah. Rangkaian kegiatannya hampir sama. Yang membedakan adalah mujahadah tidak diawali dengan salat hajat terlebih dahulu. Mujahadah juga tidak harus mematikan lampu dan dalam keadaan gelap dan tenang. Mujahadah sendiri bertujuan untuk meminta perlindungan kepada sang pencipta dari segala mara bahaya. Mujahadah di dusun Kaliabon biasa dilakukan setiap malam minggu bertempat di halaman rumah Ibu Budiyah. Biasanya dihadiri oleh mayoritas ibu-ibu.
Kesenian Hadrah
Selain mujahadah, Dusun Kaliabon juga terdapat hadrah. Hadrah sendiri adalah musik yang bertema islami dengan lirik sholawat Nabi dan diiringi dengan tabuhan rebana. Rebana adalah alat musik khas melayu yang berbentuk bundar dan pipih yang dimainkan dengan cara ditabuh. Hadrah dusun Kaliabon dibimbing oleh Ibu Lilis Tina. Setiap satu minggu sekali diadakan latihan. Pada malam sabtu ibu-ibu biasanya melakukan latihan rutin. Sedangkan pada malam rabu remaja dusun Kaliabon yang berlatih.
Setelah melewati obrolan singkat tadi, akupun tiba di rumah Ibu RT. Disana aku bertemu dengan Bapak Rohmad. Aku kembali bertegur sapa layaknya orang baru bertemu. “Sampun ket wau nopo Pak?” (Sudah dari tadi pak?) tanyaku mendahului percakapan. Beliau dengan cepat menjawab pertanyaanku “ora kok, lagi wae tekan. Mau kae aku genah kono lagi ngobrol karo Mbak Bud” (Tidak kok, baru saja sampai. Tadi aku habis ngobrol sama Mbak Bud) sambungnya untuk melanjutkan perbincangan kami. Kemudian aku mengulas sedikit apa obrolanku dengan Ibu Budiyah. Sebenarnya aku hanya iseng menceritakan hal itu kepada beliau supaya tidak terkesan kaku saat berbicara dengan beliau, mengingat belum banyak juga yang datang. Akhirnya kami pun mengobrol sembari menunggu yang belum datang. Topik yang kami obrolkan adalah seputar keagamaan. Dan ternyata selain kegiatan di atas, masih banyak kegiatan keagamaan yang membudaya di Desa Borobudur, salah satunya adalah yasinan atau tahlilan. Kegiatan tersebut adalah membaca surat yasin yang biasanya dilanjutkan dengan tahlil. Tahlil sendiri adalah mengirim doa kepada orang yang sudah meninggal mendahului kita. Tahlil dikhususkan untuk mendoakan arwah sesepuh yang sudah meninggal dengan tujuan supaya mendapat tempat yang bagus di alam yang telah berbeda. Tahlil diadakan tidak semata-mata hanya untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, menurut Bapak Rohmad tokoh agama Dusun Kaliabon tahlil itu juga mengajarkan kita untuk berbagi dan saling tolong menolong. Seketika muncul pertanyaan mengapa demikian dalam otakku. Beliau menjelaskan bahwa dalam rangkaian tahlil atau membaca surat yasin yang dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal adalah pertama pasti berdoa dan kemudian dilanjutkan jamuan makan yang sudah disediakan. Sisi gotong royongnya tercermin ketika sedang menyiapkan makanan, masyarakat akan saling membantu menyalurkan makanan atau minuman yang di suguhkan. Akan tercermin juga budaya sopan santun yang ditandai dengan mendahulukan orang yang lebih tua. Biasanya tahlil atau yasinan ini dilaksanakan pada malam jumat dan bertempat di masjid.
Tahlil & Yasinan rutin
Dengan penuh rasa penasaran aku bertanya kepada Pak Rohmad “nopo tahlilan niku khusus ting masjid? lajeng pripun niko misal enten tiyang meninggal?” (kenapa tahlilan itu khusus di masjid? Lalu bagaimana itu misal ada orang meninggal?). “Yo ora, jane ki nang ngomah rapopo tapi biasane nek tahlilan kui pesertane luwih seko siji. Nek nang masjid kae acara rutin, tapi nek nang ngomah biasane diundangi” (ya tidak sebenarnya, di rumah juga tidak apa-apa tapi kalau di rumah harus mengundang banyak orang) beliau menjawab dengan senyum simpulnya mendengar aku bertanya seperti itu. Aku mendadak terdiam seketika, merenungkan bahwa ternyata banyak asas kesopanan yang dapat diambil dan diajarkan langsung ketika ada acara seperti itu, tidak semata-mata mengajarkan unsur agama keagamaan saja. Ada nilai gotong royong, silaturahmi, mengajarkan sedekah, sopan santun, saling tolong menolong, bahkan kerja tim dapat dilihat melalui kegiatan tersebut. Kegiatan tahlilan atau yasinan ini mayoritas warga Desa Borobudur melakukannya. Sungguh luar biasa bukan?
Genduri
Obrolan kami terus berlanjut mengalir begitu saja bagai air menyusuri jalannya hingga pada akhirnya aku bertanya mengenai slametan. Slametan atau genduri, hal itu masih terjadi dan dilakukan di Desa Borobudur. Menurut Bapak Rohmad, genduri adalah wujud rasa syukur, meminta berkah, atau memperingati peristiwa. Genduri ini hampir sama dengan tahlilan. Rangkaian acaranya pun mirip. Hanya saja dalam genduri ketika pulang pasti membawa buah tangan.
“Genduren ki yo podo koyo tahlilan, yo gawe dongake wong sek dislameti kui mau, utowo jaluk berkah opo sek lagi dislameti. Tapi nek genduren baline nggo berkat (bungkusan makanan)”
(genduren itu sama dengan tahlilan, buat mendoakan orang yang dislameti tadi, atau meminta berkah atas apa yang sedang disyukuri. Tapi kalau genduren pulangnya bawa berkat) jelas Bapak Rohmad kepadaku sambil tertawa kecil.
“Genduren yo mencerminkan gotong royong ro silaturahmi, sek jelas kon sedekah kui mau” (genduren ya mencerminkan gotong royong dan silaturahmi, yang jelas disuruh sedekah seperti tadi) timpalnya sebelum aku menanggapi pembicaraan beliau.
“Niko nek genduren biasane kok tiyang kakung, nopo putri-putri niku boten angsal?” (itu kalau genduren biasanya kok hanya laki-laki, sedangkan perempuan itu tidak boleh?) tanyaku dengan sedikit mengerutkan dahi.
Berbagi peran
Kemudian beliau menjelaskan sebenarnya boleh perempuan ikut genduri atau tahlil atau yasinan, namun lebih diutamakan laki-laki sebab perempuan lebih baik berdiam diri di rumah (di dapur/di belakang). Perempuan bertugas menyiapkan segala keperluan. Maka dari itu genduri biasanya dihadiri oleh laki-laki dan mayoritas yang sudah berkeluarga.
“Kan nek arep gendurenan kae perlu nyiapke sek gawe maem karo sek digowo bali. Lha kui tugase sek setri-setri mau. Nek sek setri melu jagongan nang ngarep nko sopo sek masak?” (Kan kalau akan genduren itu perlu menyiapkan dulu buat membuat makanan untuk dibawa pulang. Itu tugasnya yang perempuan tadi. Kalo yang istri ikut acara lalu siapa yang masak?) tanya Bapak Rohmad sedikit bercanda kepadaku.
“Hanggih nggih Pak, mangkih sek nyiapke cetingane (wadah makanan) sinten? hehe” (Iya pak, nanti yang menyiapkan ceting-nya siapa?) timpalku mengimbangi candaan beliau.
Perbincangan kami pun selesai sampai disitu sebab acara di rumah ibu RT segera akan dimulai.
Nguri-uri budaya
Tak mengherankan apabila di Desa Borobudur masih sangat banyak kegiatan berbasis Islami karena masyarakat Borobudur mayoritas beragama islam. Sehingga adat dan budaya masih sangat kental dengan unsur agama yang mereka peluk. Namun poin yang terpenting dalam hal ini adalah harus saling menghargai apapun agama yang dipeluk dan ambil sisi positifnya. Banyak sisi positif yang dapat diambil seperti laku prihatin, gotong royong, silaturahmi, dan bersedekah. Mengenai kebudayaan sewajarnya saja kita perlu meneruskan (nguri-uri) supaya anak cucu kita kelak bisa menikmati berbagai keindahan kegiatan yang diciptakan dengan adanya budaya. Sungguh hari yang penuh makna bagi aku bisa mengikuti kegiatan manasik hingga mengobrol sedikit dengan tokoh agama sehingga banyak hal yang dapat aku pahami dan aku petik.
Gambar
Narasumber
- Bapak Sutarjo, pelaku budaya, desa Borobudur
- Ibu Budiyah, pelaku budaya, desa Borobudur
- Bapak Rohmad, pelaku budaya desa Borobudur