(Narasi oleh Wahyu Nur Rahman dan Abdul Kholiq Kurniawan)

Narasi

Sejak 1978

Tepat pada hari Jum’at tanggal 27 Agustus 2021 sekitar pukul 21.30 WIB, saya bersama salah satu mahasiswa KKN Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Pendidikan Bahasa Daerah mengunjungi kediaman Bapak Muhadi atau yang lebih sering dikenal sebagai Bapak Budi Sutrisno oleh warga setempat. Dengan tujuan mengadakan kunjungan dan wawancara terkait temu kenali mengenai Petilasan Kyai Sigeg, yang berada di Dusun Sigug RT 05/RW 02 Kami pun sempat bertanya-tanya terkait nama beliau yang ternyata ada dua, beliau pun menjelaskan bahwa beliau lahir dengan nama asli Muhadi dan sesuai dengan penulisan di Kartu Keluarga, namun semasa tua beliau lebih sering dipanggil Budi Sutrisno dengan alasan yang tidak beliau sebutkan. Bapak Budi Sutrisno merupakan juru  kunci makam Dusun Sigug, Senden dan Perumahan Griya Kencana Permai. Beliau adalah penduduk asli Dusun Sigug yang lahir di tahun 1951, telah menjadi juru kunci selama berpuluh-puluh tahun dari tahun 1978. Sehingga di usia 70 tahun, beliau telah menjadi juru kunci makam selama 43 tahun. Beliau mengaku, menjadi juru kunci makam ini adalah pekerjaan warisan yang meneruskan pekerjaan ayah beliau, Ahmad Pawiroh, yang sebelumnya juga merupakan seorang juru kunci makam di Dusun Sigug.

Petilasan Kyai Sigeg

Sesampainya di kediaman beliau, kami dapat bertemu dengan beliau, walaupun sebelumnya belum membuat janji untuk bertemu. Setelah dipersilahkan, kami memulai wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal mula Dusun Sigug, kesenian tradisional, serta tradisi yang ada di Dusun Sigug. Pertanyaan yang kami ajukan adalah pertanyaan yang masih umum mengenai tradisi di dusun ini, untuk selanjutnya dilanjutkan dengan pertanyaan yang menjurus dan berfokus pada topik petilasan Kyai Sigeg. Info kesenian yang kami dapatkan diantaranya adalah kesenian Dadung Awuk dan Ande-Ande Lumut. Sedangkan untuk tradisi, terdapat tradisi genduren, suran, 10 suran, saparan, muludan, nyadran, poso, syawalan, dan qurban.

Mbah Sigeg, Nyai Senden

Asal mula dusun ini dinamakan sebagai Dusun Sigug adalah konon semasa penjajahan di Indonesia, para penjajah yang berusaha memasuki dusun ini selalu merasa takut atau ‘kesigeg’ dan selain itu, di dusun ini terdapat sepasang suami istri sesepuh yang bernama Mbah Sigeg yang setelah meninggal juga dimakamkan di makam dusun. Sehingga dusun ini dinamakan sebagai Dusun Sigug. Konon katanya, Mbah Sigeg ini merupakan seorang pendatang di dusun ini dan menjadi sosok penjaga kedamaian di dusun. Selain dari cerita turun temurun, Pak Budi sendiri sebagai penjaga makam, mengaku sudah empat kali didatangi sosok Mbah Sigeg melalui mimpi. Terutama semasa pembangunan ulang makam Mbah Sigeg, sehingga cerita mengenai Mbah Sigeg ini dapat diyakini adanya. Beberapa dusun memang dipercaya memiliki sosok penunggu. Dusun Senden yang juga makamnya dijaga oleh Pak Budi, memiliki sosok penunggu bernama Nyai Senden. Orang-orang kerap menyebutnya sebagai Nyai Sendi, namun Pak Budi menegaskan bahwa nama asli beliau adalah Nyai Senden. Dipercaya saat makam Nyai Senden akan direlokasi, banyak warga Dusun Senden yang terus keluar masuk rumah sakit. Untuk itu, warga pun mempercayai bahwa Nyai Senden adalah sosok penjaga kedamaian di Dusun Senden.

Tari Dawung Awuk

Setelah bercerita mengenai asal mula, Pak Budi bercerita mengenai kesenian tradisional yang ada di dusun ini. Yang pertama adalah kesenian tradisional Dadung Awuk. Kesenian ini adalah berupa seni tari yang sudah ada dari masa sebelum kemerdekaan, yang saat ini hanya tinggal cerita. Tarian ini diiringi oleh alat musik berupa gamelan jawa seperti gong, kendang, saron, dan lain-lain. Tarian ini dibawakan oleh penari laki-laki. Selanjutnya, beliau menceritakan mengenai kesenian teater atau istilah dalam bahasa Jawanya adalah Ketoprak. Kesenian Ketoprak di dusun ini adalah ‘Ande Ande Lumut’ yang terdapat beberapa tokoh seperti Yuyu Kangkang (kepiting), Bangun Thonthong, Kleting Abang, Kleting Kuning, dan Klenting Ijo. Namun sayangnya, tidak ada dokumentasi atau rekaman yang mengabadikan teater tradisional ini. Hanya terdapat sebuah rekaman suara, milik ayah saya sendiri yang dahulu sempat melihat atau menikmati pertunjukan ini.

Tradisi Suran

Berlanjut ke tradisi, Pak Budi menyatakan bahwa banyak tradisi di Dusun Sigug Desa Bumiharjo. Tradisi-tradisi yang beliau sampaikan adalah tradisi untuk menyambut bulan-bulan pada kalender Jawa. Yang pertama adalah tradisi Suran, tradisi ini adalah sebuah acara yang berisi tirakatan atau doa bersama yang dilakukan oleh warga desa untuk menghormati tanggal 1 Sura. Biasanya pun, warga melakukan ‘lek-lek an’ atau terjaga di tengah malam di malam 1 Sura ini. Beberapa warga pun ada yang melakukan arak-arak dengan membawa oncor bambu ke Puncak Suroloyo, salah satu titik tertinggi di Pegunungan Menoreh. Biasanya, warga menyambut malam 1 Sura di puncak Suroloyo dan tetap terjaga sepanjang malam untuk meminta keselamatan dunia akhirat. Yang kedua, terdapat tradisi Sepuluh Suran. Hampir sama dengan tradisi Suran, tradisi ini dilakukan pada malam ke-10 Sura dengan doa bersama dan sedekahan makanan dengan Bumbu Sura. Terdapat cerita di balik Bumbu Sura ini, dahulu pada masa meninggalnya Khasan Khusen, warga setempat memberikan sumbangan berupa hasil kebun seperti jagung, beras, dan kacang. Hasil kebun ini kemudian dicampur dan dibuatkan sebuah bumbu yang dinamakan sebagai Bumbu Sura. Yang pada akhirnya makanan ini disebut sebagai Jenang Sura.

Saparan

Selanjutnya ada tradisi Saparan, Pak Budi bercerita bahwa tradisi ini dilakukan untuk menyambut bulan Sapar atau Safar. Saat Saparan, biasanya para anak-anak akan melakukan doa bersama di masjid dan diberi makanan berupa Bancakan (atau nasi Kluban yang dibungkus kecil-kecil). Bagi kalangan dewasa, biasanya melakukan dilakukan kegiatan berupa Wayangan atau menonton wayang. Kemudian terdapat tradisi Muludan, untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW.

Nyadran

Selanjutnya ada tradisi Nyadran, untuk menyambut bulan Sya’ban sebelum bulan Ramadhan. Biasanya warga akan mengirim doa kepada orang-orang yang sudah meninggal terdahulu. Sebelum mengirim doa, warga melakukan ‘Berseh’ atau membersihkan makam orang yang akan dikirimi doa lalu kemudian memberikan sedekah berupa makanan untuk dibawa ke masjid dusun.

Poso

Kemudian di bulan Ramadhan, terdapat tradisi Poso atau puasa untuk menjalankan rukun Islam yaitu berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Pak Budi sendiri mengartikan Poso ini sebagai bentuk rasa prihatin kita selama hidup di dunia dan meminta rahmat-Nya untuk kehidupan dunia dan akhirat. Masyarakat biasanya berpuasa di siang hari dan melaksanakan shalat Tarawih, Witir, dan kemudian dilanjutkan dengan Tadarus atau mengaji bersama di masjid dusun.

Badhan

Lalu, terdapat tradisi Syawalan yang dilakukan di bulan Syawal. Pada tanggal 1 Syawal umat muslim merayakan hari raya Idul Fitri dengan saling berkunjung ke rumah-rumah untuk melakukan silaturahmi dan saling bermaaf-maafan atau disebut sebagai ‘Badhan’. Di Dusun Sigug sendiri biasanya masih melakukan Badhan sampai H+7 hari lebaran.

Tradisi Besar

Tradisi terakhir untuk menyambut bulan di kalender Jawa adalah tradisi Besar, untuk menyambut Idul Adha dimana hal ini disebut sebagai bulannya orang berada. Orang-orang akan melakukan qurban hewan dan beberapa ada yang melakukan perjalanan Haji, sehingga disebut sebagai bulannya orang berada.

Genduren

Selanjutnya terdapat tradisi Genduren atau biasa disebut sebagai Kenduri, sebuah acara doa bersama yang digelar si suatu rumah warga. Terdapat beberapa jenis Genduren. Yang pertama untuk mendoakan orang yang baru saja meninggal, disebut sebagai Nyorotanan atau Nyorotanah. Hal ini dilakukan berkaitan dengan adanya ‘tempuk’ atau makam yang saling bertabrakan dikarenakan sempitnya pemakaman, sehingga harus didoakan agar jenazah dapat beristirahat dengan tenang. Genduren ini juga dilakukan untuk beberapa kepentingan lain seperti saat membangun rumah, saat terdapat ibu melahirkan, setelah musim panen, dan juga saat pernikahan. Semua tujuannya adalah tidak lain dan tidak bukan untuk mendoakan dan meminta keselamatan serta ketenteraman dunia dan akhirat. Saat terdapat ibu melahirkan, warga desa mengadakan Genduren untuk mendoakan kelahiran sang bayi dan memberikan sedekah makanan berupa Brokohan atau makanan yang berisi sayuran dan lauk-pauk. Sebelum musim panen, warga juga mengadakan Genduren yang dinamakan sebagai Wiwitan, untuk mendoakan hasil panen dan wujud rasa bersyukur terhadap Sang Pencipta. Saat pernikahan pun terdapat tradisi Genduren yang disebut sebagai Ngirim Duwo, untuk mendoakan calon manten atau calon pengantin agar dapat menjalankan kehidupan sebagai sepasang suami-istri dengan berkah.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Bapak Budi Sutrisno, 70 tahun, Sesepuh desa, pelaku budaya, desa Bumiharjo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...