(Narasi oleh Diyah Nur Arifah)
Narasi
Minggu pagi ketika matahari mulai menampakkan wajahnya, dengan penuh semangat aku bersama kawanku pergi ke pasar Borobudur. Kami berjalan menyusuri sisi timur pasar Borobudur. Di sepanjang jalan kami selalu ditanya “mau beli apa?” oleh penjual yang menempati ruko-ruko kecil di pasar tersebut. Di sana kami menjumpai beraneka ragam barang yang dijual. Ada penjual gerabah, bunga, jajan pasar, tembakau, dan perkakas rumah tangga yang bahan bakunya masih menggunakan bambu.
Sistem barter
Sewaktu berjalan menyusuri tempat tersebut, ada satu ruko yang mencuri perhatian kami. Ruko Ibu Istidarti tepatnya, ruko tersebut menghentikan langkah kaki kami karena ada keunikan sendiri. Ya, tepat di depan ruko Bu Darti (nama panggilannya) kami mendengar beliau sedang melayani pelanggan dengan sistem barter. Pada saat itu ada seorang nenek yang berusia 70 an tahun menukarkan beras dan karak (nasi kering) dengan bahan-bahan untuk menginang (daun sirih hijau, gambir, injet, dan tembakau). Sontak kejadian itu membuat kami berpikir ternyata masih ada sistem barter pada zaman modern seperti ini. Kemudian kami menghampiri Bu Darti dan menanyakan lebih banyak lagi mengenai hal jual beli dengan beliau. Bu Darti menjelaskan memang masih ada sistem barter, namun hanya dengan dia saja karena sudah langganan dan kasihan karena sudah sepuh juga yang mengajaknya barter. Sungguh berhati lembut dan penuh belas kasih Bu Darti ini, karena kami juga mengamati ketika ada nenek menjual daun salam kepadanya beliau mau membeli walau stok masih ada dan ketika kami Tanya “loh itu kan masih ada Bu? Bu Darti menjawab “mesake mbak wis di terke rene lagian kui yo wis sepuh” timpalnya dengan lembut. Beliau juga menceritakan sebelum mbah ini tadi ada ibu-ibu yang menukar bunga kenanga dengan bawang merah. Tiga perempat kilogram bunga kenanga diganti dengan setengah kilogram bawang merah.
Dari bunga sampai Gerabah
Dalam ruko berukuran kurang lebih 2×4 meter Bu Darti menjual beraneka macam bunga, gerabah, bumbon, jamu tradisional, bahkan sampai peralatan masak tradisional yang mayoritas berbahan dasar bambu. Bunga yang dijual beliau ada mawar merah, mawar putih, sedap malam, kenanga, kantil, bunga suruh, dan bunga cempaka. Mayoritas pembeli yang membeli bunga adalah untuk nyekar (ziarah) jadi isi bunga yang dibeli adalah mawar merah, mawar putih, dan kenanga. Satu paket bunga untuk nyekar dihargai tiga ribu rupiah. Ada juga bunga macan kerah, yang isinya mawar merah, mawar putih, temulawak, temugiring, adas kulowaras, kayu secang, dingu blengke, daun suruh, daun pandan, dan jeruk nipis. Masyarakat menyebutnya kembang macan kerah sebab didalam satu paket tersebut terdapat berbagai macam bunga dan rempah-rempah yang bercampur menjadi satu untuk menguatkan raga. Satu paket kembang macan kerah dihargai tiga ribu rupiah. Kembang macan kerah biasanya digunakan untuk mandi yang bertujuan agar menghilangkan rasa capek supaya badan segar kembali. Masyarakat Borobudur meyakini kembang macan kerah mampu menepis mistis dan menguatkan raga. Cara pengaplikasian untuk mandi adalah dengan cara satu paket kembang macan kerah tersebut direbus bersama air hingga mendidih kemudian air disaring dan dipakai untuk mandi. Pada saat merebus bunga macan kerah air ditambah dengan garam dan daun jambu biji dengan jumlah ganjil. Kenapa harus ganjil? karena sunnahnya seperti itu. Selain itu Bu Darti juga melayani pembelian bunga khusus untuk mantenan (orang menikah). Namun untuk yang satu ini harus memesan terlebih dahulu. Paling tidak satu minggu sebelum digunakan.
Jamu sawan
Selain bunga, Ibu Isdarti menjual obat herbal yang ia racik sendiri. Misalnya seperti jamu sawan, di dalamnya terdapat madu, jahe, temulawak, jeruk nipis, kencur, kunir putih. Semua bahan sudah dihaluskan jadi pembeli tinggal menyeduhnya di rumah ditambah dengan sedikit garam. Satu paket jamu sawan ini dihargai lima ribu rupiah. Jamu sawan ini selain untuk menghilangkan sawan juga mampu mengobati pegal-pegal di badan. Tidak hanya itu, Bu Darti juga meracik minuman herbal yang isinya tangkai cengkih, cengkih, daun cengkeh, kapulaga, dan kayu manis. Satu paket dihargai dua ribu rupiah saja. Cukup terjangkau bukan?!. Minuman ini berguna untuk menghangatkan badan dan mencegah masuk angin.
Perkakas dapur
Tak kalah komplitnya dengan bunga dan jamu, ruko Bu Darti juga menjual beraneka ragam perkakas dapur yang masih terbuat dari bambu dan gerabah dengan berbagai ukuran. Perkakas itu antara lain adalah cething, kukusan, tenggok, besek, piring rotan, irus, tedo, irig, caping, bahkan kipas juga ada. Gerabahnya sendiri ada celengan, kalung luweng, cobek, kendhi, tempat senthir, bahkan mainan anak-anak juga ada. Disana juga menyediakan dupa, biting, bumbu dapur yang sudah dikemas, gelang dlingu blengke, bahkan berbagai jenis telur ada disana. Telur bebek, telur ayam kampung, dan telur angsa Bu Darti punya dan dijualnya.
Melihat begitu lengkapnya barang yang dijual di ruko milik Bu Darti menjadikan jiwa-jiwa berbelanja kami mulai tergelitik. Akhirnya kami membeli beraneka macam barang mulai dari bunga macan kerah, jamu sawan, dupa, hingga cething kami beli. Tidak bisa berlama-lama lagi kami mengobrol dengan beliau karena rukonya akan tutup lebih awal. Biasanya Bu Darti membuka rukonya pukul enam pagi dan menutupnya pukul empat sore, namun karena hari ini sedang ada acara di rumahnya (Majaksingi) maka ruko ditutup awal. Kemudian kami membantu beliau menutup rukonya, aku dan temanku bergotong royong memasang penutup ruko Bu Darti. Ruko Bu Darti ditutup dengan potongan bilik kayu (papan) yang disusun sejajar. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, menyusuri setiap sudut timur pasar Borobudur. Masih kami jumpai penjual bunga, gerabah, perabot rumah tangga yang berbahan baku bambu. Penjual bunga di sudut timur pasar Borobudur ini ada enam orang. Mayoritas mereka menjual barang-barang sama seperti milik Bu Darti, namun tidak selengkap beliau. Ada yang hanya menjual bunga dikemas dengan keranjang berukuran kecil (lima ribu), sedang (dua puluh ribu), dan besar (delapan puluh ribu).
Kembang untuk mandi
Ada yang menjual berbagai macam bunga tapi namun tidak dengan perkakas rumah tangga, semua berbaur menjadi satu dan rukun. Mayoritas pembeli bunga di sana adalah orang dari daerah dataran tinggi Borobudur, yaitu daerah Kemiri Ombo, Gosoro, Sumo, dan Giri Tengah. Masyarakat daerah sana masih kental dengan kebudayaan peninggalan nenek moyang sehingga tidak heran kalau pembeli bunga mayoritas dari dataran tinggi Borobudur, lereng Menoreh. Akan tetapi banyak juga dari dataran rendah (sekitar Borobudur) biasanya dari hotel atau pemilik homestay membeli bunga untuk mandi tamu mereka. Biasanya hotel atau homestay membeli bunga hanya satu macam dan satu warna, yaitu mawar merah. Para penjual bunga di sisi timur pasar Borobudur mengambil bunga (kulakan) di Kota Magelang.
Berbagai Menyan
Kami kembali melangkahkan kaki menyusuri sisi timur pasar Borobudur pada akhirnya sampailah di sebelah selatan pasar Borobudur. Disana kami menjumpai pedagang menyan. Mataku seakan terpaku melihat pedagang menyan, karena bagiku itu hal yang tidak biasa aku jumpai. Aku meminta kawanku untuk berhenti tepat di depan penjual menyan tersebut. “Pados nopo mbak, mas?” Tanya penjual itu dengan ramah. “Boten kok Bu niki namung penasaran niku nunopo nggih?” tanyaku sambil menunjuk ke menyan yang ada di hadapan ibu tersebut. “niki menyan, mbako nggih enten, nopo garet” timpal Ibu itu sambil menawarkan barang dagangannya kepadaku dan kawanku. Karena merasa tidak enak akhirnya kawanku membeli menyan sambil aku dan dia terus bertanya mengenai menyan dan apa saja yang ibu itu jual.
Kami pun menanyakan berapa harga menyan tersebut, dengan cepat ibu menjawab dan menjelaskan kalau harga menyan itu mahal. Satu ons menyan dihargai seratus ribu rupiah. Lumayan cukup menguras dompet bukan jika dibandingkan dengan harga bunga dan jamu atau perkakas rumah tadi yang aku ceritakan. Kemudian ibu tersebut menjelaskan kalau menyan bisa dibeli kurang dari satu ons, misalnya kita meminta sepuluh ribu atau kelipatannya. Akhirnya kawanku membeli menyan dengan berat kira-kira 250 gram saja, karena tidak terlalu dibutuhkan juga apabila kami membeli terlalu banyak. Setelah kami bertransaksi barulah kami mengobrol santai dengan pedagang tersebut. Ibu Rubingah namanya, beliau tinggal di Kalitengah dan sudah berdagang menyan dan bahan-bahan untuk merokok linting (manual dibuat sendiri) sudah sejak lama. Puluhan tahun katanya. Dari yang dulunya banyak penjual menyan di pasar Borobudur dan sekarang tinggal dua kios, beliau masih bertahan hingga sekarang. Tidak hanya meyan, ada juga klembak yang harganya 1 ons dua puluh ribu, mbako (tembakau) harganya satu ons juga dua puluh ribu. Menurut tuturan Ibu Rubingah menyan ini diambil dari Sumatera. Menyan adalah getah pohon menyan yang dicetak berbentuk kotak dan dikeringkan. Semakin kering dan semakin keras menyan maka kualitas menyan semakin bagus. ibu Rubingah membeli menyan di Kota Magelang, sudah ada yang mengantarnya ke pasar Borobudur (sales) sehingga ia tidak perlu repot-repot kesana. Sedangkan untuk membeli tembakau hanya di sekitaran Borobudur (Muntilan dan Tuksongo) jarang yang dari luar daerah misalnya seperti Temanggung.
Pengganti dupa
Orang awam ketika mendengar “menyan” kira-kira yang ada di bayangan mereka adalah bagi perokok mungkin hanya sebagai pelengkap atau penyedap rasa dalam racikan rokoknya, sebagian lagi mungkin berpikiran dengan hal mistis. Ya, menyan yang orang awam ketahui hanya untuk pelengkap racikan merokok. Setelah saya bertanya lebih jauh lagi kepada Bu Rubingah ternyata mayoritas pembeli menyan adalah laki-laki paruh baya dan tua. Menurutnya orang-orang yang membeli menyan ditempat beliau tidak hanya digunakan sebagai pelengkap ketika meracik rokok, namun ada yang membeli untuk melakukan ritual. Ya, sebagian masyarakat jawa memang menjalankan ritual dengan menggunakan menyan yang dibakar diatas arang. Tujuannya selain untuk wangi-wangian adalah untuk menghormati leluhur karena membakar kemenyan merupakan tradisi leluhur yang sudah kuno. Kemenyan juga dapat menjadi pengganti dupa. Membakar kemenyan biasanya dilakukan pada saat upacara atau ritual suci keagamaan pada agama Hindu dan Budha.
Sungguh sangat mengasikkan perjalanan ku kali ini menyusuri sisi timur pasar Borobudur. Tak terasa matahari kini sudah berada di posisi paling sempurna. Tepat diatas kepala kami, yang menandakan hari sudah siang dan terik. Banyak hal baru yang aku dan kawanku dapat disana. Ternyata di era modern seperti ini masih ada masyarakat yang mempertahankan budaya yang diwariskan nenek moyang. Selepas aku puas bertanya-tanya aku dan kawanku berjalan ke arah barat pasar Borobudur. Perjalanan kami kali ini terhenti ketika kami melihat sebuah gerobak bertuliskan “Bubur Kacang Ijo”. Ya, untuk menutup perjalanan yang lumayan melelahkan namun mengasyikkan kami menikmati semangkuk bubur kacang ijo di barat pasar Borobudur. Sungguh perjalanan yang tak mungkin bisa kulupakan.
Gambar
Lokasi
Pasar Borobudur, Jalan Salaman - Mungkid, Wanurejo, Bumiharjo, Magelang, Central Java, 56553, Indonesia
Narasumber
- Ibu Darti, pelaku budaya, pedagang pasar Borobudur
- Ibu Rubingah, pelaku budaya, pedagang menyan pasar Borobudur