(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)

Narasi

Beberapa sesepuh Desa Ngargogondo masih mengenal pencak jawa (Konto) yang dahulu pernah mereka pelajari. Selain digunakan untuk bela diri, Konto juga merupakan seni tradisional khas Jawa. Gerakan yang dimainkan dalam pencak sangatlah menarik, unik, dan khas. Jurus-jurusnya lebih rapat tanpa pengembangan serta lebih mengandalkan kekuatan kepalan tangan yang penuh kesiapsiagaan dan kejelian mata.

Selingan Dayakan

Dengan kostum pakaian hitam-hitam berpolet merah di bagian dada, sabuk jarit (kain batik) kecil dan ikat kepala batik, pencak juga muncul sebagai selingan dalam pementasan seni dayakan yang ditampilkan dengan iringan musik gamelan dan lagu kicir-kicir atau kuningan.

Warisan Leluhur

Ada beberapa sesepuh dan generasi awal yang masih ingat tentang awal mula pencak yang dianggap sebagai warisan leluhur, Pak Teguh dari Dusun Kuncen salah satunya. Beliau sangat dikenal dengan keberaniannya sebagai ahli pencak sekaligus sesepuh di dalam Kesenian Dayakan. Ketika itu, pada siang hari kami tiba dirumah Pak Teguh untuk mencoba menelusuri asal-muasal adanya pencak jawa yang dahulu sering dipertunjukkan dalam pentas kesenian dayakan dari Kuncen tersebut.  Kami disambut dengan sangat ramah dan penuh semangat setelah beliau mengerti maksud dan tujuan kami bertamu, yaitu meminta keterangan dan informasi tentang sejarah pencak jawa.

Menjaga diri

Pada awalnya, pencak jawa hanya berfungsi sebagai bekal keterampilan menjaga diri  pada saat diperlukan. Pada waktu itu, keahlian bela diri pencak jawa masih jarang dimiliki oleh masyarakat Dusun Kuncen dan sekitarnya. Karena sering mendapat wejangan dari sesepuh di Dusun Kuncen yang bernama Mbah Merto untuk mencoba belajar bela diri, Pak Teguh akhirnya mempelajari pencak jawa, supaya suatu saat ketika berkelana ke luar rumah sudah punya bekal keahlian dalam menjaga diri.

Muda Setia Jaya

Menurut keterangan Pak Teguh, ilmu pencak yang dikuasainya itu sudah ada dan dipelajari bersama teman-temannya sejak tahun 1975. Lambat laun, karena Beliau dan teman-teman sudah cukup mahir memainkan pencak, timbul keinginan untuk mengadakan kesenian dayakan.  Oleh karena itu, pada tahun 1977 lahir dan berdiri kesenian dayakan di Desa Ngargogondo yang menggabungkan bela diri pencak jawa dan kesenian dayakan itu sendiri dengan nama resmi Kesenian Dayakan Muda Setia Jaya.

Simbah Merto

Alm. Simbah Merto mempunyai keahlian pencak hasil dari belajar kepada Mbah Amat Soleh dan rekannya sesama pendekar dari Desa Tanjungsari Borobudur. Kemudian, Mbah Merto menjadi guru pencak dan mengawali pelatihan di halaman rumah Alm. Bapak Sarju di Dusun Kuncen. Pak Teguh dan para warga sekitar yang berguru kepada Mbah Merto dahulu kurang lebih 25 peserta yang berasal dari Dusun Kuncen, Dusun Kujon, Dusun Parakan, dan Dusun Malangan. Lama-kelamaan, ada juga yang belajar dari luar Desa Ngargogondo dan terus berkembang hingga mencapai kurang lebih 100 peserta. Latihan intensif tersebut hanya berjalan selama kurang lebih 1-2 tahun. Pada waktu itu, latihan dilakukan 1-2 kali dalam seminggu.

Sempat dilarang

Dalam pencak jawa, jurus-jurus yang dipelajari olehnya dan teman-teman terdiri dari jurus 1, jurus 2, hingga jurus 12. Jurus-jurusnya tanpa nama hanya disebut berdasarkan urutan. Apabila sudah menguasai 6 jurus awal, berarti sudah cukup mumpuni untuk menjaga diri. Pak Teguh menyampaikan, bahwa dahulu pencak jawa sempat tidak boleh dipelajari atau dilarang oleh pemerintah saat itu, karena diyakini sangat membahayakan dan dapat dengan mudah mematikan lawan.

Kerapatan tangan

Keunikan dan yang khas dari pencak jawa adalah gerakannya yang lebih mengedepankan kerapatan tangan (mengepal), berbeda dengan beladiri yang lain seperti SH (Setia Hati), Cikalong, Cikampek, dan Minangkabau yang lebih banyak pola tangan mengurai (megar) atau dengan kembangan.

Ketangkasan

Dengan keberanian dan keahliannya, Pak Teguh sudah beberapa kali mendapatkan kemenangan ketika mendapat undangan dari kelompok dan aliran beladiri lain untuk mengikuti lomba dan tarung sabung. Meski tanpa membawa pulang hadiah yang berbentuk benda, uang atau piala. Menurut Pak Teguh, ilmu seni pencak yang beliau pelajari dari Mbah Merto tidak pernah menggunakan syarat dan ritual apapun. Murni hanya berdasarkan kekuatan dan ketangkasan olah tubuh saja. Sikap Pak Teguh setelah mempelajari hingga mahir pun hanya biasa saja. Tidak lalu merasa tinggi hati, menjadi sombong, atau menantang orang buat duel.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Mbah Teguh, 64 tahun, sesepuh desa, pelaku budaya, Dusun Kuncen Desa Ngargogondo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...