Minggu, (08/05) di Dusun Kerug Batur Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang telah diadakan Pentas budaya spiritual. Acara ini diselenggarakan oleh para pemuda Desa Majaksingi. Para pemuda yang tergabung dalam karang taruna Desa Majaksingi ini berusaha mengangkat kembali warisan budaya dan potensi lokal yang ada di Desa Majaksingi terutama di Dusun Kerug Batur.
Kerug Batur Gadhah Gawe
Pembukaan dilakukan pada pukul 10.00 dengan sambutan dari Bapak Ismoyo selaku Ketua Rukun Warga di Kerug Batur. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa hari itu warga Dusun Kerug Batur melaksanakan apa yang telah menjadi niat masyarakat bersama sejak bulan ramadhan, kegiatan pentas budaya ini juga sebagai momen syawalan warga masyarakat Desa Kerug Batur untuk saling memaafkan baik kesalahan antara umat Islam maupun umat Katolik yang ada di sana. Ia juga mengajak masyarakat bersyukur karena pada momen kali ini warga Kerug Batur dapat melaksanakan pentas budaya berupa karawitan dan jathilan. “Wonten ing wekdal punika bilih wonten ing Dusun Kerug Batur badhe nggelar wontenipun kabudayan.”
Hasil Kreativitas Ibu-ibu Majaksingi dalam Bentuk Kain Batik
Selain pentas budaya, kegiatan hari itu juga menjadi sarana bagi masyarakat Majaksingi khususnya Kerug Batur untuk menjajakan hasil keterampilan dan kreativitas mereka dalam mengolah hasil alam sekitar. Hasil olahan ibu-ibu dan pemuda Kerug Batur yang dijajakan pada hari itu antara lain; kerajinan batik, kerajinan dari bambu, berbagai olahan tradisional seperti getuk, lemet, geblek, dan lain sebagainya. Para pengunjung dapat memiliki hasil kerajinan batik dengan harga mulai dari Rp. 40.000 saja, sedangkan untuk makanan tradisional para pengunjung hanya butuh merogoh kocek mulai dari seribu saja. Menurut penuturan Komariyah (51), dengan diadakannya acara seperti ini dapat menambah produktivitas kelompok wanita dan pemuda di sana. “Ya pokoknya bagaimana caranya agar hasil bumi di sini dapat diolah agar bisa dinikmati juga oleh masyarakat luar.” Begitu tuturnya sembari membuat racikan es dawet yang dipesan oleh salah satu pembeli.
Pentas Budaya Spiritual
Setelah acara pembukaan, pentas budaya spiritual diawali dengan penampilan dari kelompok Karawitan Mudo. Kelompok karawitan ini beranggotakan anak-anak hingga remaja berusia 6 hingga 15 tahun. Jenis gamelan yang dimainkan pun beragam seperti, saron, demung, gong, bonang barung, bonang penerus, dan perangkat gamelan lainnya. Salah satu penggamel cilik berusia 6 tahun bernama Alif nampak bersemangat menabuh alat musik saron. elain Alif, ada juga Arif yang bertugas menjadi penabuh bonang penerus. “Suka main gamelan, tapi kadang kesulitannya ketika mengingat notasi.” Arif menjelaskan walaupun terkadang ia mengalami kesulitan ketika berlatih gamelan, ia tetap suka dan semakin tertantang untuk terus berproses.
Setelah pertunjukan oleh kelompok Karawitan Mudo, penampilan selanjutnya diisi oleh kelompok Jathilan Turonggo Gondo Rinekso. Penampilan pertama dilakukan oleh kelompok jathilan putri. Saat itu, satu tarian dibawakan oleh lima orang, dengan masing-masing orang membawa kuda lumping sebagai propertinya. Penampilan selanjutnya diramaikan oleh tim jathilan putra. Lakon yang biasa dibawakan saat bermain jathilan biasanya menceritakan perjuangan Pangeran Diponegoro mengusir penjajah. Selain cerita Diponegoro, cerita atau lakon lain yang dibawakan adalah cerita spiritual Raden Rahmat dengan judul “Tumuruning Wahyu Ciptaning”. Dalam cerita ini, dikisahkan bahwa Raden Rahmat melakukan pertapaan di bukit Gajah Mungkur selama beberapa tahun tanpa bertemu dengan siapapun. Setelah menyelesaikan tapanya, ia mendapat wahyu dan turun dari bukit Gajah Mungkur menjadi ‘Begawan Ciptaning’, yakni seseorang yang menjadi pandita untuk menyebarkan kebaikan kepada manusia. Dalam tapanya, Raden Rahmat selalu digoda oleh buto-buto yang ada di bukit Gajah Mungkur. Namun dengan kekuatan yang ia miliki, dapat membuatnya menang melawan para buto yang berusaha memakan dan menggagalkan misi pertapaannya.
Nilai Spiritualitas yang Terkandung
Selain mengandung cerita spiritual, prosesi sebelum diadakannya penampilan jathilan juga memiliki nilai-nilai spiritual di baliknya. Uba rampe disiapkan sebelum penampilan dimulai. Isinya ada beberapa di antaranya; tumpeng, larakan, dan unjukan. Uba rampe- uba rampe ini disiapkan sebagai salah satu wujud permohonan kepada Tuhan agar diberikan kelancaran untuk memulai sebuah pertunjukan. Nilai spiritualitas yang lain adalah adanya para penari yang dirasuki oleh roh-roh sekitar. Menurut penuturan Mbah Muji, jika ada yang kerasukan saat jathilan dimulai, itu bukanlah hasil dari ‘mengundang’ para lelembut untuk masuk atau datang, namun kaslupan ini merupakan gambaran bahwa para roh yang masuk memang menyukai pertunjukan yang mereka mainkan.
Penyembuhan orang-orang yang sudah mulai kaslupan yakni dengan cara pembacaan doa, serta menuruti permintaan roh-roh yang telah masuk ke dalam tubuh para penari. Dari cerita Mbah Narto, terkadang para roh ada yang minta makanan-makanan atau minuman yang biasa dikonsumsi manusia seperti nasi putih, ayam, kopi, dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya, permintaan-permintaan itu akan dituruti dalam bentuk lain seperti dupa dan kembang. Nilai-nilai spiritualitas ini tidak hanya dimiliki dan diketahui oleh para pemain saja, warga Desa Majaksingi melalui gerak para pemuda desa pada akhirnya dapat mengerti melalui edukasi pemaknaan spiritual food heritage yang dihadirkan di tengah-tengah acara sebagai salah satu bentuk rangkaian acara pada hari itu. Masyarakat antusias untuk mengetahui apa saja makna yang terkandung pada makanan-makanan yang selama ini ada pada setiap upacara-upacara kebudayaan yang mereka miliki, sehingga warisan budaya yang ada dan hidup di lingkungan mereka akan tetap lestari bersama pemaknaan spiritualitas di dalamnya. (shs)