Misteri Wingitnya Punthuk Setumbu

(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)

Narasi

Jika Anda pernah menonton film tahun 2016 yang disutradarai oleh Riri Riza yang pernah viral berjudul “Ada Apa dengan Cinta” alias AADC, tentu Anda tidak akan asing dengan salah satu destinasi wisata alam di Kawasan Candi Borobudur yang menjadi salah satu lokasi syuting dalam film ini. Ialah Punthuk Setumbu, puncak bukit yang berada di Dusun Kurahan, Desa Karangrejo, sekitar tiga kilometer ke arah barat dari Candi Borobudur.

Dari puncak bukit, kita dapat menyaksikan kilauan pemandangan alam yang elok dan eksotik. Jika beruntung, kita akan disuguhi dengan pemandangan terbitnya mentari di tengah-tengah Gunung Merapi dan Merbabu. Lurus di depannya, tampak sang raksasa Candi Borobudur dikelilingi oleh pemukiman warga dan pemandangan hijau beraneka ragam pepohonan sehingga memunculkan kesan sejuk dan rimbun. Rasa-rasanya, kita sedang disuguhi oleh surga dunia yang hanya ada di wilayah Nusantara. Kita dimanjakan dengan pemandangan yang menakjubkan sekaligus menyejukkan. Wah, asyiknya!

Namun, siapa sangka di balik keindahan pemandangan alamnya, ternyata Punthuk Setumbu menyimpan ragam kisah wingit yang hingga saat ini, sebagian masih menjadi misteri. Bahkan, konon bukit ini memiliki keterkaitan dengan salah satu sosok pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro. Dahulu, sebelum ramai menjadi objek wisata, Punthuk Setumbu acapkali menjadi perbincangan hangat masyarakat sekitar, lantaran saban malam hari sering terdengar suara-suara pentas gamelan, pentas wayang, hingga suara burung merpati sedemikian keras. Namun, ketika ada yang memberanikan diri untuk menghampiri lokasi, tidak ada suara ataupun keramaian apapun di tempat itu. Ngeri nggak tuh?

Nah, untuk mengkonfirmasi ulang info yang beredar, tim temukenali budaya spiritual Desa Karangrejo menemui sosok pria tengah baya yang rumahnya tak jauh dari loket masuk Punthuk Setumbu. Ialah Pak Egrang (56) alias Wasidi, warga RT 02 RW 01. Sebelum wisata Punthuk Setumbu dibuka, kesehariannya adalah berdagang souvernir di candi Borobudur. Namun, sejak Punthuk Setumbu diresmikan menjadi salah satu destinasi wisata, Ia membangun semacam pendopo kecil untuk warung makan dan toko suvenir tepat di depan rumahnya. Selain itu, ternyata Pak Egrang juga memiliki pengalaman spiritual langsung dengan Punthuk Setumbu.

Waktu menunjukkan pukul 04:56 WIB, kami sampai di rumah Pak Egrang. Jalur menuju rumahnya menanjak cukup tajam. Saat ini, akses menuju rumahnya sudah lumayan terbantu dengan jalan cor-coran semen. Bayangkan, dahulu tidak ada jalur cor-coran, sehingga butuh perjuangan untuk bisa sampai ke rumah beliau. Banyak lubang, jrenggulan karena jalannya masih berupa tanah yang tidak rata, dan blekukan kalau habis diterpa hujan deras. Di depan rumah Pak Egrang tampak rak kaca berisi suvenir patung, miniatur Candi Borobudur, kaos warna-warni bertuliskan Borobudur, ragam topi, hingga wayang. Sebagian kursi nampak berantakan, penuh dengan mainan dua anak perempuannya yang masih belia. Di depan rumah, kami disambut dengan senyum Istri beliau. Tak lama kemudian, sosok pria berjenggot tipis dan panjang, berkaos putih polos, berambut panjang yang diikat dengan karet, menemui kami dan menanyakan keperluan kami.

Nuwun sewu, Pak. Kehadiran kami ke sini tak lain untuk wawancara terkait sisi spiritual atau kesakralan Punthuk Setumbu. Bukan sebagai objek wisata, nggih Pak,” begitu jelas perwakilan tim, yang dijawab anggukan tanda persetujuan oleh Pak Egrang.

Nggih, tapi saya jawab berdasarkan apa yang saya tahu saja, nggih,” lanjut Pak Egrang.

Pak Egrang menjelaskan tentang asal mula nama Punthuk Setumbu, yang sudah ada jauh sebelum diresmikannya menjadi objek wisata alam primadona di kawasan Borobudur.

Dalam bahasa Indonesia, Punthuk Setumbu berarti “gundukan tanah menyerupai tumbu”. Jika kita melihat dengan jeli, tepat di puncak Punthuk Setumbu memang terdapat gundukan tanah yang orang-orang dahulu menyebut mirip tumbu, alat menyimpan padi tradisional yang terbuat dari anyaman bambu berdiameter dua hingga tiga meter.

Tentu bukan tanpa alasan gundukan tanah tersebut ada tepat di puncak bukit, sebab konon katanya ada suatu hal di dalam gundukan itu. Setidaknya ada tiga versi penuturan masyarakat tentang asal-muasalnya. Versi pertama meyakini bahwa gundukan itu merupakan makam seorang Kiai bernama Sulaeman yang tidak diketahui jelas ciri dan identitas lengkapnya, alias hanya nama. Konon, Kiai ini merupakan prajurit Pangeran Diponegoro yang meninggal di Punthuk Setumbu. Versi kedua yang kerap terdengar menyatakan bahwa di bawah gundukan yang oleh masyarakat desa disebut sebagai puser itu, terdapat pusaka keramat Pangeran Diponegoro, yang apabila diambil maka akan terjadi longsor dan banjir yang sangat besar. Sedang versi ketiga yang baru kami dengar dari Bapak Wasis, warga dusun Gombong RT 01 RW 04 Desa Kembanglimus, menuturkan bahwa berdasarkan cerita simbah terdahulu, wudel atau pusar Punthuk Setumbu merupakan tempat nggejrige kuda sang Pangeran.

“Dahulu dari sana, Pangeran Diponegoro mengawasi gerak-gerik Belanda. Nah karena kurang bergitu kelihatan, sehingga beliau berpindah ke Suroloyo,” lanjutnya.

Ketiga versi penuturan itu belum bisa dibuktikan kebenarannya secara mutlak, akan tetapi agaknya untuk versi yang kedua pernah dirasakan meski tidak secara khusus di puser. Sebab berdasarkan penuturan orang-orang pada masa kami masih kecil, pusaka yang tersembunyi dibalik Punthuk Setumbu sangat banyak dan sangat beragam. Mulai dari keris, batu akik, batu berwarna merah delima, dan beberapa yang lain. Sekarang, Sebagian besar pusaka kabarnya telah hilang dicuri atau diambil oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab, baik dari jarak jauh maupun dari jarak dekat (oknum wisiatawan yang jahil).

Rupanya, Pak Egrang pun telah membuktikan kebenaran penuturan versi kedua. Diceritakannya pada suatu malam, Ia bermimpi ada sesosok orang tua yang memberinya batu halus berwarna merah delima. Ia sadar dengan mimpi itu, lantas pada hari Selasa Kliwon, Ia naik ke puncak Punthuk Setumbu kemudian menemukan batu yang ada di mimpinya semalam.

“Saya pernah bermimpi diberi batu berwarna merah delima, saya susul naik ke atas (puncak) dan saya terima. Itu saya naiknya lain hari setelah mimpi, (tepatnya naik) pada malam Selasa Kliwon. Saya bawa pulang, tapi anak laki-laki saya mengingatkan supaya batu itu dikembalikan ke asalnya,” kisah Pak Egrang kepada kami.

Pak Egrang di kala itu merasa janggal, sebab tak biasanya anak laki-laki beliau berani keluar rumah di malam hari. Belum lagi, nada suaranya yang seolah-olah dirasuki oleh sosok tua yang entah siapa. Hal tersebut kemudian membuatnya khawatir, lantas mengembalikan batu tersebut ke tempat asalnya. Selang beberapa hari setelah kejadian itu, tepatnya pada saat mujahadah malam Jumat, Pak Egrang menceritakan kejadian aneh tersebut kepada jamaah mujahadah.

“Lha, kok pas malam Minggu betulan gugruk (longsor), sampai Kali Selempet itu temboknya gempal (runtuh). Ini kan tidak mungkin Punthuk Setumbu gugruk sampai situ, tegalan sampai rata, (dan) itu saksinya orang banyak,” lanjut pria itu.

Petilasan Pangeran Diponegoro

Diceritakan kembali oleh Pak Egrang berdasarkan penuturan simbah-simbah sebelumnya, bahwa dahulu kala pahlawan nasional di tanah Jawa, Pangeran Diponegoro, pernah berkali-kali berkunjung ke Punthuk Setumbu. Pangeran Diponegoro melakukan prihatin atau tirakat di bukit Suroloyo yang letaknya tak jauh dari Punthuk Setumbu, kemudian dengan kudanya Ia menuju ke Punthuk Setumbu untuk mengunjungi para prajuritnya yang singgah di bukit itu.

Sebelum sampai ke Punthuk Setumbu, sang Pangeran biasanya mampir untuk salat di dekat sebuah sendang di desa Kalitengah. Dari air sendang itulah sang Pangeran berwudhu, dan dengan air sendang itu juga pangeran memberi minum kuda yang ditungganginya. Ada jejak pangeran diponegoro yang masih dilestarikan oleh warga Kalitengah, yakni berupa batu yang kerap digunakan sebagai alas sang Pangeran sewaktu melaksanakan salat.

“Entah benar atau tidak, dari Punthuk Setumbu ini juga kelihatan cara membuat Candi Borobudur, dan juga kelihatan bagaimana gerak-gerik pasukan Belanda. Selain menggunakan teropong benda, Pangeran juga tentu berkomunikasi dengan para prajuritnya menggunakan teropong bathin,” imbuh Pak Egrang.

Kita semua tahu bagaimana saktinya sosok Pangeran yang memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo ini. Beliau begitu gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda pada masa peperangan. Banyak karomah pangeran Diponegoro yang kisahnya bisa kita dengar hingga saat ini. Misalnya, bagaimana Pangeran berkali-kali lolos dari serangan Belanda yang jika kita hanya bergantung pada nalar, tidak akan sampai atau tidak logis.

“Aslinya tidak hanya setahun sekali Pangeran Diponegoro itu ke sini, sering kumpul mujahadah bareng penderek-penderek-nya yang di sini,” jelas singkat Pak Egrang kepada kami.

Sendang Widodaren

Beranjak ngalor atau ke arah utara sedikit dari puncak Punthuk Setumbu, tersembunyi sebuah Sendang yang masyarakat menamainya sebagai sendang Widodaren. Tempat ini sangat wingit atau sakral. Sendang ini mulanya adalah perengan atau semacam terasering. Orang dahulu menamai Sendang sebagai nglarangan.

“Sesuai namanya, larangan, tidak sembarangan orang boleh mengunjungi tempat itu. Karena sangat wingit (sakral), jadi nggak bisa sembarangan. Dulu, gampangane, kalau ada orang ke situ, terus sudah Maghrib tapi nggak pulang-pulang, itu ada suara yang nyuruh orang tersebut agar segera pulang,” kisah Pak Egrang.

Ada beragam kisah tentang kesakralan Sendang Widodaren yang Kami terima pada saat masih kecil. Kisah yang kerap muncul, misalnya tentang ular putih penghuni Sendang, atau gelapnya Sendang yang jika kita masuk ke sana sendirian akan berujung tersesat. Benar atau tidaknya kisah tersebut pun belum dapat Kami pastikan. Sejak kecil Kami belum pernah mengunjungi tempat wingit itu lantaran adanya larangan dari berbagai pihak.

Akibat minimnya akses masyarakat Dusun Kurahan ke Sendang Widodaren, kabarnya, Sendang itu kini telah musnah karena tak terawat karena jarang dijamah manusia meski sekadar mengalirkan air dari sendang. Sehingga, cerita tentang Sendang Widodaren tampaknya hanya akan menjadi dongeng belaka di masa depan. Terlebih, tak ada orang yang berani memotret sendang karena banyak cerita horror seperti penampakan hantu kuntilanak dan pocong secara tiba-tiba.

Sabtu sore (18/9) pukul 16:00 WIB, tim temukenali desa Karangrejo bersama Pak Egrang menuju ke puncak Punthuk Setumbu untuk mengunjungi Sendang dan Asem Lima. Jalan menuju ke Sendang cukup curam dan ekstrem. Tanahnya yang berwarna kekuning-kuningan tertutup oleh dedaunan kering dari pohon-pohon besar yang ada di sekitarnya. Belum lagi akses jalan yang sangat sempit, ada yang terhalangi oleh robohan pohon, membuat perjalanan kami menuju sendang agak kesulitan. Beruntungnya kami, cuaca hari itu sangat cerah dan tidak hujan, sehingga jalan setapak menuju ke Sendang tidak mblekuk-mblekuk dan aman. Meski demikian, kami harus tetap berhati-hati sebab di sebelah kanan kami terdapat tebing yang cukup curam.

Sekitar 10 menit perjalanan, sampailah kami pada sebuah tempat yang cukup gelap, tertimbun dedaunan dan dahan kayu kering. Tempat itu tampak jauh dari pancaran sinar matahari. Tidak ada tanda-tanda adanya bekas sendang atau aliran air, sebab telah tertimbun tanah dan larahan yang begitu banyak. Mungkin karena tempat ini tak pernah dikunjungi manusia, tampak tempat ini sangat tak terawat.

Asem Pandawa Lima

Asem Lima adalah nama yang beken di kalangan masyarakat. Nama aslinya adalah Asem Pandawa Lima. Sebagaimana namanya, asem, Asem Lima merupakan wujud pohon asam jawa yang diperkirakan umurnya telah beratus tahun. Tak ada yang tahu pasti berapa umur pohon asem yang terletak di sebelah barat Sendang Widodaren ini. Yang pasti, pohon asam ini memiliki berbagai versi kisah mistis yang sebagian masih dipercaya oleh masyarakat.

Nama Asem Pandawa Lima terdengar njawani karena mengambil dari nama lakon dalam wayang, yakni Pandawa yang berjumlah lima, yang terdiri dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Konon, setiap pohon asam ini dihuni oleh penunggu makhluk gaib yang kerap muncul dalam wujud pocong, kuntilanak, ataupun makluk ghaib lainnya.

Diperkirakan, bibit pohon asam jawa ini dibawa oleh abdi keraton yang melakukan semedi di Punthuk Setumbu. Namun, seperti yang tertulis di awal, tidak ada yang tahu pasti kapan pohon asam jawa ini ditanam.“Bapak kula mawon diceritani simbah-simbahe nggih uwit asem niki sampun wonten,” jelas Pak Egrang tentang keberadaan pohon asam tersebut.

Suara2 Tak Berwujud

“Dulu, di Punthuk Setumbu itu sebelum jadi tempat wisata, orang (dari) lain dusun saban malam hari sering mendengar ada keramaian seperti suara gamelan, pentas wayang, juga sering ada suara merpati,” Pak Egrang kembali mengisahkan.

Cerita kali ini pernah dialami langsung oleh penulis semasa kecil. Penulis masih ingat betul bagaimana suara-suara gamelan sering terdengar begitu jelas dan keras pada malam-malam tertentu, tanpa tahu dari mana sumber suara tersebut berasal. Setiap kali penasaran dengan sumber suara, ayah penulis kerap mengatakan bahwa tidak ada pentas seni atau keramaian apapun. Hal tersebut yang kemudian membuat penulis merasa penasaran. Sayangnya, kini suara tersebut sudah tak pernah lagi terdengar. Pak Egrang memperkirakan, suara tersebut tak lagi dapat didengar sebab Punthuk Setumbu sudah tidak sesakral dahulu.

“Kalau sawangan merpati itu setelah sekian lama selama Punthuk Setumbu menjadi destinasi wisata, tidak pernah terdengar, tapi beberapa waktu lalu kembali terdengar. Munculnya suara merpati itu, saya juga ndak tau ada pertanda apa,” lanjut pria itu.

Hal serupa juga dialami oleh Hani Rifanto (36), warga RT 01 RW 01 Dusun Kurahan yang sehari-harinya juga menjadi pelaku wisata di Punthuk Setumbu. Ia menceritakan kepada kami bahwa tatkala dia kecil, sering ada orang dari luar dusun yang mendengar suara-suara gamelan maupun wayang. Namun ketika didatangi, semakin dekat ke Dusun Kurahan, suara tersebut semakin hilang.

“Sering dulu waktu kecil, suaranya itu seolah-olah dari Punthuk Setumbu. Dari desa lain itu sangat jelas, tapi semakin kemari (semakin dekat dengan Kurahan) semakin hilang. Suaranya itu sering, tapi kalau di malam pasarannya saya tidak terlalu paham, biasanya sih tiap malam Jumat,” kisah Hani.

Selain wayang dan gamelan, dia juga sering mendengar suara sawangan burung merpati yang terbang pada setiap malam bulan purnama. “Dulu sih sering dengar suara sawangan merpati, tapi malam biasanya saat padang mbulan, muni-muni muter-muter. Masak merpati malam-malam terbang, ngapain gitu, ya kan?” lanjut dia.

Hani juga mengungkapkan perasaannya tatkala masuk ke wilayah wingit di sekitaran Punthuk Setumbu, misalnya Sendang Panguripan. Seperti Namanya, sendang ini merupakan sumber air bersih yang bertahun-tahun lamanya tak pernah kering. Sendang kecil ini biasa digunakan Pak Romdhani dan Pak Egrang–kadang juga beberapa warga RT 01–untuk kehidupan sehari-hari mereka. Sendang ini terletak di sebelah selatan sebelum naik ke puncak Punthuk Setumbu. Ia mengaku cukup merinding saat masuk ke tempat tersebut karena gelap dan penuh semak-semak.

Ritual-Ritual Khusus

Selapan dina pisan saban hari pasaran Senin Legi, masyarakat Dusun Kurahan melaksanakan kegiatan mujahadah perti desa atau dalam istilah sekarang disebut sebagai selametan yang dilaksanakan di masjid setempat. Mujahadah tersebut dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih masyarakat dusun terhadap adanya Punthuk Setumbu yang telah banyak menjadi perantara datangnya rezeki masyarakat bertahun-tahun belakangan sejak dibuka sebagai objek wisata. “Gampangane ya sakniki masyarakat mriki  mengenyam hasil dari Punthuk Setumbu, semoga bisa langgeng,” jelas Pak Egrang.

Selain mujahadah selapanan, saban setahun sekali masyarakat Dusun Kurahan melaksanakan perti desa sederhana di puncak Punthuk Setumbu. Biasanya, ritual ini dilaksanakan di bulan Syawal oleh para sesepuh dusun dan Pak Kaum. Di samping itu, setiap dua tahun sekali dilaksanakan tradisi perti desa yang lebih meriah berupa sedekah bumi. Tradisi ini dilaksanakan dengan memunculkan ragam khasanah adat dan budaya dusun Kurahan seperti pakaian tradisional, gunungan hasil tani, kesenian kubra siswa, dan masih banyak lagi.Yang melakukan sembilan puluh persen masyarakat sini, sepuluh persen partisipan dari luar dusun yang ikut meramaikan,” tambah Pak Egrang.

Adapun hasil tani yang biasa dibuat gunungan adalah kacang-kacangan, terong, singkong, jeruk, mentimun, tomat, wortel, padi, dan masih banyak lagi. Ada juga tumpeng yang menandakan rasa syukur “Iki lho panenku, Alhamdulillah”.

“Itu carane, ya, rasa syukur (masyarakat yang dilambangkan) menggunakan ingkung dan tumpeng. Zaman dahulu Pangeran Diponegoro kalau selametan, yang punya hewan seperti wedhus, sapi, kebo itu dikalungi kupat. Nah, yang punya tinggal bawa lauk pauk seperti tempe bacem, tahu bacem, gereh atau ikan asin, nasi, kluban, ndog pitik jowo, lalu mujahadah di atas, berdoa agar kita tetap dalam lindungan Allah SWT, kita bersyukur atas panennya, atas keselamatannya, atas segalanya, serta mendekatkan diri kepada Allah SWT,” tambah dia.

Menurut Pak Egrang, mengirim leluhur itu perlu sebagai tanda tresna terhadap orang tua. Jika masih hidup kita menghormatinya secara kehidupan menggunakan unggah-ungguh, tapi kalau sudah tidak ada maka kita kirim doa memintakan pengampunan. “Kita kalau mau jadi anak saleh, kan ada jalurnya,” demikian tegas pria tersebut.

Mengonfirmasi lebih lanjut terkait rutinan selapanan Senin Legi, tim temukenali bertemu dengan Nur Yazid (54) Kepala Dusun (Kadus) Kurahan yang beralamat rumah di RT 01 RW 01. Pihaknya menjelaskan kepada kami bahwa mujahadah tersebut dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sekaligus nguri-uri kabudayan leluhur, mengingat dahulu para pendahulu kerap melaksanakan mujahadah di puncak yang diperkirakan saban malam Senin Legi. “Sekarang, kalau nggak hujan, ya, kita laksanakan di atas (puncak). Tapi kalau hujan, ya, cukup di masjid saja,” jelas pria itu.

Saban malam Senin Legi, ucap Yazid, masyarakat membawa makanan hasil tani atau yang mereka miliki untuk dikembul bersama-sama sebagai bentuk ungkapan syukur atas berkah alam yang melimpah di Dusun Kurahan. Ada ubarampe wajib tatkala melaksanakan tradisi ini, diantaranya adalah baceman tahu atau tempe dan ketupat. Tidak ada kewajiban untuk menyediakan nasi tumpeng. Hal tersebut, menurut Yazid, bertujuan untuk menyelaraskan dengan tradisi nenek moyang terdahulu di kala musim kemarau tiba. “Kita menalurikan nenek moyang kita, bahwa pada musim kemarau dulu mereka angon sapi di atas dan berkumpul Senin Legi membawa makanan berupa tempe atau tahu bacem dan ketupat,” lanjutnya.

Adapun mujahadah, ucapnya, mulai aktif semenjak Punthuk Setumbu dibuka. Para pengelola Punthuk Setumbu mendapatkan saran dan masukkan dari sesepuh masyarakat supaya mengadakan kegiatan selapanan setiap malam Senin Legi di Punthuk Setumbu. “Untuk saat ini (peserta mujahadah), hanya warga dusun saja, orang tua, anak-anak, dan para remaja. Pemanjatan doa dipimpin oleh Pak Muhdi atau Pak Kaum. Di situ kita tahlil, bersyukur dan berdoa kepada Allah untuk minta keselamatan, supaya warga di sini dapat tetap punya rasa syukur, minta supaya lebih baik dengan apa yang kita dapat dari berbagai karunia yang ada,” pungkas pria itu.

Hilangnya Kesakralan

Sayangnya, kisah-kisah kesakralan yang pernah ada, saat ini tidak lagi dirasakan. Sendang dan Puser Punthuk Setumbu sudah tidak memiliki aura kesakralan layaknya dahulu sebelum lokasi tersebut dibuka sebagai objek wisata. Hal tersebut disampaikan oleh Pak Egrang. “Kalau sekarang itu, saya menyebut pamora tau (aura mistis) di Punthuk Setumbu itu nggak begitu sekuat dulu,” kata Pak Egrang.

Dulu, tambahnya, pada saat Punthuk Setumbu belum memiliki spot selfie, punthuknya juga belum dicincin, sering untuk tirakat para sesepuh. Tapi, menurut Pak Egrang, sekarang sudah sangat berbeda. Aura kesakralannya Punthuk Setumbu sudah tidak ada. “Dulu, rasa kemantapan itu seperti ada yang duduk dekat dengan kita, dan ada rasa lain lah. Sekarang kok saya merasa sudah sama saja,” tambahnya.

Menurut Pak Egrang, supaya kesakralan Punthuk Setumbu tetap ada, masyarakat khususnya para tokkoh dusun harus senantiasa nguri-uri tidak hanya setahun sekali. “Bukan kita tuh mau menyatu atau menyembah yang ghaib, bukan. Kalau saya, itu harus diuri-uri jangan hanya setahun sekali. Manusia hidup kan butuh makan, begitu pula barang ghaib. Orang tua kita kalau sudah meninggal kan butuh didoakan. Gampangane tempat itu kalau mau selamat, ya kudu diselameti,” pungkas dia.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Pak Egrang / Wasidi, 56 tahun, Pemerhati budaya, desa Karangrejo
  • Nur Yazid, 54 tahun, Kepala Dusun (Kadus) Kurahan desa Karangrejo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...