(Narasi oleh  Elka Hanna Setia dan Fredy Trifani)

Narasi

Simbah Nursalim (80 tahun) Sadranan atau pamulen acara penghormatan kepada leluhur atau keluarga yang sudah berpulang, yang dilakukan setahun sekali yang sudah berpulang, yang dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah. Menurut kepercayaan kejawen, bulan Sya’ban dianggap sebagai bulan terbaik untuk mengadakan pamulen  arwah para leluhur atau keluarga yang telah mendahului berpulang, sehingga bulan tersebut dikenal bulan arwah atau bulan Ruwah. Bulan ruwah merupakan saat terbaik untuk ngluru arwah para leluhurnya. Pada dasarnya pamulen  bagi arwah pada leluhur dapat dilakukan pada setiap saat misalnya pada saat mitung dina, nyatus, nyewu dan sebagainya. Sadranan dilakukan khusus pada bulan Sya’ban, yakni hari-hari sesudah tanggal 15 Sya’ban sampai datangnya bulan Ramadhan. Pada tanggal 15 Ruwah sampai datangnya bulan puasa merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk ngluru arwah, menyongsong dan menghormati arwah para leluhur, kegiatan tersebut dikenal sebagai sadranan atau ruwahan. Sadranan termasuk adat kejawen yang timbul sejak awal abad ke-14 dan masih dilakukan di masyarakat jawa termasuk kebonsari. Sadranan berbeda-beda cara pelaksanaanya, tetapi pada umumnya mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan pamulen  pada umumnya diantaranya: memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga leluhur atau keluarga diampuni segala dosa dan kesalahannya, mendoakan agar arwah para leluhur atau keluarga mendapatkan tempat yang layak, menanamkan kesadaran kepada yang masih hidup, bahwa pada waktunya kita yang masih hidup juga akan menyusul para leluhur ke alam baka dan mengingatkan kepada yang masih hidup supaya bersiap-siap mengumpulkan bekal sebaik mungkin untuk di akhirat nanti.

Ziarah keliling

Sebelum sadranan masyarakat kebonsari melakukan tradisi seperti ziarah keliling ke makam para leluhur masing-masing dusun. Ziarah keliling biasanya ditentukan lebih dulu menurut kesepakatan masyarakat, apakah dimulai dari Dusun Cakran, Dalangan, Gunung Mijil, Kebonwage, Pule atau Gupit. Setiap dusun memiliki makam sesepuh sendiri-sendiri seperti dusun Gunung Mijil memiliki makam sesepuh Mbah Mijil, Dusun Cakran makam Simbah Cokro, Dusun Dalangan makam Mbah Dalang, Dusun Gupit makam Simbah Gupito, Dusun Pule makam Mbah Pule, Dusun Kebonwage makam Simbah Wage. Setelah ditentukan dimulai dari makam simbah mana dulu, kemudian seluruh masyarakat kebonsari akan mempersiapkan diri untuk berbondong berziarah ke dusun tersebut. Biasanya masyarakat yang akan ziarah keliling berbekal makanan dan minuman karena biasanya ziarah keliling dimulai pada pagi hari dan selesai pada waktu dhuhur. Setelah ziarah keliling dilakukan selang beberapa minggu dilaksanakannya nyadran. Dari setiap dusun waktu nyadran berbeda-beda ada yang bareng ada yang tidak. Sadranan dilakukan di masjid, setiap masyarakat akan menyediakan berbagai macam makanan seperti nasi matang beserta lauk pauknya, buah-buahan, minuman, makanan kemasan dan lain sebagainnya tergantung kemampuan orang itu sendiri. Semua makanan tadi akan diwadahkan pada keranjang dengan minimal jumlah 4 keranjang setiap rumah. Kemudian nanti akan diantarkan ke masjid atau ada panitia yang mengambil ke setiap rumah. Setelah keranjang yang berisi makanan tersebut terkumpul masyarakat juga akan berkumpul di masjid untuk doa bersama yang akan dipimpin oleh simbah kaum.

 

Gambar

Narasumber

  • Simbah Nursalim, 80 tahun, Sesepuh desa, Pelaku Budaya, desa Kebonsari

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...