(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)

Narasi

Indonesia mengenal banyak alat transportasi, mulai dari yang sifatnya modern hingga tradisional. Salah satu alat transportasi tradisional yaitu gerobak. Gerobak sendiri adalah alat transportasi kuno yang digunakan masyarakat untuk mengangkut barang atau atau sebagai alat transportasi darat. Pada umumnya gerobak dapat ditarik oleh berbagai macam hewan seperti kuda, sapi, kerbau, dan dapat juga ditarik oleh manusia bahkan menggunakan sepeda.

Gerobak

Pada era sekarang gerobak yang masih dapat dengan mudah dijumpai adalah gerobak yang ditarik menggunakan kuda, gerobak itu disebut dengan Delman atau Dokar. Sedangkan gerobak yang ditarik menggunakan sapi disebut Pedati atau Cikar yang pada umumnya ditarik oleh dua ekor sapi. Pedati atau cikar ini sekarang sudah sulit ditemukan karena dianggap kurang efektif membantu pekerjaan manusia. Sebab tenaga yang dikeluarkan sapi tidak sekuat dengan tenaga kuda ataupun mesin. Pedati relatif berjalan lambat, biasanya hanya untuk perjalanan jarak dekat saja. Pada zaman dahulu pedati digunakan oleh masyarakat untuk mengangkut hasil pertanian (hasil bumi) dari lokasi lahan pertanian menuju rumah atau mengangkut rumput dari kebun dibawa ke rumah.

Pajikaran

Sapi yang menarik gerobak tersebut diberi nama sapi Pajikaran. Pajikaran sendiri artinya sapi ternak, jadi sapi yang mengangkut gerobak ini adalah sapi yang dipelihara sendiri oleh petani. Menurut Bapak Nursalim salah satu warga Dusun Kaliabon yang masih menggunakan dan mempunyai gerobak sapi, sapi yang menarik gerobak ini harus berjenis kelamin jantan (laki-laki) karena dianggap lebih kuat atau memiliki tenaga lebih. Untuk jenis sapi yang digunakan pada umumnya sapi putih yang ada punuknya. Namun seiring perkembangan zaman sapi jenis apa saja bisa digunakan karena semua sapi bisa dilatih. Sebelum digunakan untuk menarik gerobak, sapi harus dipersiapkan terlebih dahulu mulai dari kondisi fisik dan kesehatannya. Sapi harus benar-benar dalam keadaan sehat, setiap satu bulan sekali sapi diberi jamu untuk menjaga stamina sapi. Jamu tersebut terdiri dari kuning telur jawa 2 ditambah kunir asam dan ramuan rahasia yang jelas terbuat dari herbal. Semua bahan itu dicampur kemudian dimasukkan kedalam bambu yang kira-kira ukurannya berdiameter 10cm. Jamu yang dimasukkan kedalam bambu bertujuan untuk mempermudah proses pemberian minum kepada sapi. Untuk merawat sapi ini sendiri tidak boleh sembarangan, selain rutin diberi jamu sapi juga harus mendapat makanan yang berkualitas. Makanannya adalah rumput segar, polar, dan ampas tahu. Polar dan ampas tahu merupakan suplemen bagi sapi.  Kedua makanan tersebut dicampur kemudian diberi sedikit air dan garam lalu diberikan kepada sapi. Hal ini sering disebut ngombor. Sapi juga harus rutin dimandikan minimal 3 hari 1x. Untuk kondisi kandang juga harus dijaga kebersihannya supaya sapi tetap sehat terhindar dari penyakit. Pembersihan kandang sendiri dilakukan setiap pagi hari.

Tumplah

Sapi yang digunakan untuk menarik gerobak harus dilatih terlebih dahulu supaya tidak kaget ketika diajak menarik gerobak. Cara melatih sapi ini sendiri adalah dengan rutin seminggu sekali mengajak sapi berjalan-jalan supaya sapi terbiasa berjalan jauh dan melewati jalan yang beraneka ragam (aspal, tanah, paving, jalan bagus, jalan sedikit rusak, jalan naik dan turun). Sapi itu memakai sepatu yang terbuat dari ban supaya tidak tergelincir ketika berjalan di aspal. Sepatu sapi diberi nama Tumplah. Nama tumplah sendiri diambil dari parikan (peribahasa jawa) yang artinya metu mlampah (keluar berjalan). Menurut Mas Fatkurohman salah satu warga yang melatih sapi untuk menarik gerobak, awalnya sapi diajak keliling ke sekitar dusun (tanpa gerobak) yang kira-kira berjarak 3 km. Setelah dirasa sapi mampu kisaran waktu 1,5-2 bulan baru sapi siap untuk diajak berjalan lumayan jauh menggunakan gerobak. Sapi bisa menempuh jarak 15 km dalam satu hari. Setelah perjalanan jauh sapi harus dimandikan menggunakan air hangat supaya otot-otot pada sapi tidak kram. Air hangat  ini juga berfungsi sebagai penghilang rasa lelah sapi.

Bajingan

Pada zaman sekarang pedati sudah beralih fungsi yaitu hanya sebagai kendaraan pariwisata saja tidak lagi digunakan untuk mengangkut barang. Pedati sekarang dibuat sedemikian rupa supaya menarik dan nyentrik, menambah kesan kuno tapi elegan dan menarik. Gerobak pedati sekarang diberi warna beraneka ragam. Sangat berbeda dengan gerobak zaman dulu. Zaman dulu gerobak pedati terbuat dari kayu dan tidak ada hiasan yang menempel pada dinding gerobak. Roda pedati sendiri masih menggunakan kayu. Berbeda dengan pedati yang ada sekarang. Roda pedati sekarang sudah diganti menggunakan ban dan gerobaknya pun sudah dihias sedemikian rupa. Tujuan penggantian roda pedati itu menurut Mas Fatkurohman adalah supaya lebih awet dan tidak mudah rusak. Untuk kapasitas pedati sendiri hanya muat untuk 4 orang penumpang dan 1 bajingan. Bajingan adalah sebutan untuk orang yang mengendalikan gerobak sapi (pedati). Pedati di Desa Borobudur hanya ada 2, yaitu milik Bapak Nursalim yang berada di Dusun Kaliabon dan milik Bapak Yudi yang berada di Dusun Kurahan. Banyak faktor yang menyebabkan sedikit masyarakat yang masih mempunyai pedati. Salah satunya adalah tidak banyak masyarakat yang mampu merawat dan melatih sapi untuk dapat digunakan menarik gerobak dan kurang eksistensinya di era sekarang mengingat kendaraan yang lebih canggih sudah banyak.

Ngluku sawah

Selain menjadi penarik gerobak, sapi milik Bapak Nursalim juga dapat digunakan utuk membajak sawah. Biasanya pada saat musim tanam padi sapi ini dipakai untuk ngluku (membajak sawah). Alat yang digunakan untuk membajak sawah menggunakan sapi adalah singkal (pendek) dan garu (pegangan panjang dengan ujung berbentuk garpu). Singkal dan garu ini harus disimpan dengan cara digantung (tidak menapak di tanah) supaya tidak rusak dan dimakan rayap karena terbuat dari kayu. Menurutnya sawah yang dibajak menggunakan sapi hasilnya lebih bagus daripada sawah yang dibajak menggunakan traktor (mesin). Sapi bisa menjangkau area sawah yang memiliki akses jalan kecil tanpa merusak lingkungan sekitar, yang pasti menggunakan sapi lebih ramah lingkungan. Selain ramah lingkungan membajak sawah menggunakan sapi juga mempererat tali persaudaraan dan menjunjung tinggi nilai gotong royong. Sebab membajak sawah menggunakan sapi memerlukan bantuan orang lain untuk mencangkul area sekitar yang sedang dibajak, untuk mengendalikan sapi dan membawa peralatan juga tidak mungkin cukup satu orang. Membajak sawah menggunakan sapi atau bajak tradisional ini juga diyakini akan mampu mempertahankan humus tanah dan menjaga kualitas dari padi yang dihasilkan. Tekstur lumpurnya pun lebih halus dan tidak tercemari oleh limpahan bahan bakar dan oli, itu beberapa alasan mengapa membajak sawah menggunakan sapi masih dilakukan walaupun waktu yang diperlukan relatif lebih lama. Umur sapi untuk membajak sawah sama dengan umur sapi yang digunakan untuk menarik gerobak. Umumnya berumur 1 tahun baik jantan maupun betina. Namun mayoritas petani memilih menggunakan sapi jantan karena tenaganya lebih kuat.

Pedet, Babon, Dere

Jumlah sapi yang dimiliki Bapak Nursalim ada 7 yang terdiri dari 5 sapi dewasa (2 jantan 3 betina),  1 sapi jantan yang umurnya 7 bulan yang disebut Dere, dan 1 anakan atau sering disebut Pedet (anak sapi kurang dari 5 bulan). Sedangkan indukan sapi disebut Babon. Jadi selain untuk membajak sawah dan menarik gerobak, sapi milik beliau juga berfungsi sebagai sapi ternak. Dimana pada saat sapi itu sudah beranak maka selang empat bulan sampai satu tahun anak sapi tersebut akan dijual. Dari segi makanan sapi yang digunakan untuk membajak dan sapi penarik gerobak tidaklah berbeda. Hal yang membedakan hanyalah ketika pemberian jamu. Sapi ternak tidak diberikan jamu rutin seperti yang lain.

Cocok keluh

sapi sek arep di dol kui yo kudu wis di kelohi ben gampang le ngencang, mergo ora kabeh uwong iso ngelohi sapi” Begitu tuturan Bapak Nursalim. Artinya sapi yang akan dijual biasanya sudah diberi tali pada hidung yang berfungsi untuk memberi tali panjang supaya sapi mudah diarahkan (dikendalikan) ketika berjalan dan untuk menali supaya sapi tidak pergi. Tali yang dimasukkan kedalam hidung sapi disebut Dadung (tali tambang). Cara memasukkan dadung (tambang) kedalam hidung sapi tidak bisa dilakukan sembarangan. Awalnya sapi diikat supaya tidak melukai orang yang akan memasukkan tali. Sebelum memasukkan tali, hidung sapi dilubangi terlebih dahulu menggunakan bambu yang sudah diruncingkan ujungnya. Bambu itu disebut cocok keluh. Pada pangkal bambu diberi tambang yang akan dimasukan kedalam hidung sapi. Kemudian bambu ditusukkan ke dalam hidung sapi sampai tembus sehingga tambang tersebut bisa masuk dan diikatkan dari hidung sampai ke kepala sapi tepatnya dibelakang telinga sapi. Untuk melakukan itu butuh keahlian khusus karena apabila salah nanti sapi akan berontak dan bisa terluka sehingga susah untuk memasukan tambang kedalam hidung (ngelohi). Setelah itu barulah disambung menggunakan tambang yang lebih panjang supaya sapi bisa dikencang (diikatkan ke sebuah benda supaya sapi tidak pergi). Umur sapi yang siap untuk dikelohi adalah 5-10 bulan. Setelah dikelohi biasanya satu sampai tiga hari sapi akan mengeram karena merasa gatal dan belum terbiasa adanya tambang di hidungnya. Namun setelah tiga hari sapi akan mulai terbiasa.

Ngelohi sapi

Selain proses ngelohi sapi masih ada lagi hal yang dilakukan untuk menghias tubuh sapi, yaitu dengan memakaikan Gentho (klontong). Klontong sering disebut lonceng sapi. Disebut klontong karena bunyi dari benda tersebut ketika bergerak adalah klontong-klontong. Benda ini menjadi ciri khas seekor sapi. Orang bisa menebak akan ada sapi lewat ketika mendengar suara itu karena setiap sapi dewasa umumnya diberi klontong di lehernya. Klontong ini sering disebut kalunge sapi. Klontong terbuat dari kuningan yang berbentuk seperti kue apem namun didalamnya itu berongga dan diisi dengan kayu. Pada zaman dahulu klontong sapi tidak hanya berfungsi sebagai kalung untuk sapi, melainkan juga dapat berfungsi sebagai bell rumah. Suaranya yang nyaring dan mudah berbunyi ketika digerakkan membuat masyarakat memilih klontong sebagai bell rumah supaya mengetahui apabila ada orang membuka pintu mereka. Biasanya klontong yang difungsikan sebagai bell rumah akan ditaruh di pintu paling atas supaya tidak diambil orang dan tidak diketahui orang sebelum orang itu membuka pintu.

 

Gambar

Lokasi

[map

Narasumber

  • Mas Fatkurohman, Pelaku Budaya, desa Borobudur

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...