(Narasi oleh Rangga Tsalisul A. dan Loh Sari Larasati)

Narasi

Wanurejo adalah nama sebuah desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Desa yang secara geografis terletak di sebelah timur Candi Borobudur, berjarak sekitar 1 kilometer dan menjadi pintu gerbang masuk menuju Candi Buddha terbesar di dunia. Terdiri dari sembilan dusun, yakni Bejen, Tingal Wetan, Tingal Kulon, Brajanalan, Barepan, Jowahan, Gedongan, Ngentak, dan Sorokan.

Vanuareja

Asal kata Desa Wanurejo diyakini berasal dari bahasa Sansekerta vanua  yang artinya desa dan reja yang artinya makmur. Kata tersebut disebutkan dalam prasasti Mendut atau Karangtengah (812M). Kata Vanuareja juga disebut dalam prasasti Canggal (732M) sebagai desa yang makmur pada masa Mataram Hindu.

BPH Tejakusumo

Secara historis dan turun-temurun sejak 200-an tahun lalu, telah diyakini oleh masyarakat setempat jika cikal bakal Desa Wanurejo adalah Eyang Wanu, yang bernama asli Bendara Pangeran Haryo (BPH) Tejakusuma. Dia adalah putra ke-76 Sri Sultan Hamengkubuwana (HB) II dari istri selir bernama Bendara RM Ayu Rantamsari. Cerita tentang berdirinya Wanurejo tersebut tercatat dalam pupuh Dhandanggula 1-3 berikut ini:

Pambukaning Wanarejo yekti

Sri Sinuwun Hamengku Buwana

Kang Kapindho Jumenenge

Sulthan Ngayogya Prabu

Tuhu Arsa ngusir Walandi

Paring siti perdikan

Teja Kusuma Wanu

Mrih ngembat tataning praja

Kaampilan jumeneng di Hadipati

Tan ewuh manjing yuda

Candra lima siji pitu ari

Ing warsa pitulas sanga sanga

Tingal puser pamrintahe

Kanthi laladan yeku

Mungkid tumekeng gunung sari

Ereng Noreh Salaman

Tempuran satuhu

Hamundhi dawuhing nata

Angastha makutha musthikaning aji

Wanu Teja Kusuma

Sinengkuyung kawula sak nagri

Ingemban Patih Cakra Prawira

Benawi Senopatine

Bregada kang pinunjul

Singa leksana lan Ki Jugil

Surekerta Manggala  

Kinarya gul-agul

Mubarokh Aji Ngulama

Pembarep Kunci Braja lan Kyai Beji

Wanarejo dumadya

Tanah Perdikan

Seperti tertuang dalam tembang Macapat pupuh Dhandanggula tersebut, dikisahkan bahwa asal muasal berdirinya Wanarejo bermula ketika Sri Sultan HB II menghadiahkan tanah perdikan kepada BPH Tejakusuma untuk dijadikan sebuah kadipaten (daerah yang dikuasai oleh adipati, yang lebih rendah daripada kesultanan). Pada 17 Mei 1799, Tejakusuma diangkat menjadi Adipati Wanarejo dengan gelar Adipati Wanu Tejakusuma. Wilayah Kadipaten Wanareja meliputi wilayah Gunung Sari, lereng perbukitan Menoreh sampai Kajoran.

Cikal bakal dusun

Pada pupuh ke-3 Macapat Dhandanggula pun diceritakan, yang membantu menjalankan roda pemerintahan di Wanareja adalah Patih Cakra Prawira, dan Suronegoro sebagai penasihat. Lantas Benawi, Singa Leksana, Jugil, Surakerta, Mbarep, Kunci, Braja, Citra Lawung, Mbeji, Sorok, dan Gedong sebagai manggala atau senopati, serta Mubarokh sebagai ulama. Beberapa nama para tokoh tersebut kemudian menjadi nama-nama dusun di Desa Wanurejo, hingga sekarang. Eyang Mbarep diyakini masyarakat sebagai pendiri Dusun Barepan, Jugil pendiri Dusun Jowahan, Gedhong pendiri dusun Gedongan, Braja dan Citra Lawung pendiri dusun Brajanalan, Mbeji pendiri Dusun Bejen, serta Sorok yang diyakini sebagai pendiri Dusun Ngentak dan Sorokan. Sementara para keturunan Patih Cakra Prawira, Benawi, Singa Leksana, dan Mubarokh hingga kini berada di dusun Tingal Wetan, Tingal Kulon, serta dusun lainnya di kawasan desa Wanurejo.

Laskar Sawer Wulung

Tujuan pendirian Kadipaten Wanarejo sebenarnya untuk menyusun dan membangun kekuatan rakyat. Selain itu, untuk mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan kegotongroyongan yang pada akhirnya dapat digunakan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Wanu Tejakusumo diketahui memiliki ikatan historis dengan Pangeran Diponegoro, sebab ia  pernah turut berjuang melawan Belanda bersama pasukan gerilya Pangeran Diponegoro di sepanjang Pegunungan Menoreh. Wanu membentuk prajurit Wanarejo dengan nama Laskar Sawer Wulung, yang dipimpin oleh para manggala/senopati Wanarejo, para pendiri padukuhan.

Peristiwa Sorokan

Salah satu kisah tentang peristiwa peperangan itu, terjadi di Sorokan. Yakni, ketika prajurit  Wanareja dikejar para tentara Belanda, laskar Wanareja masuk ke wilayah Dusun Sorokan. Namun begitu sampai di jalan menuju Dusun Ngentak dan Sorokan, yang terlihat oleh pasukan penjajah tersebut hanyalah hutan belantara. Entah menggunakan ‘ilmu’ apa para senopati Wanarejo tersebut, sehingga dapat ‘mengelabuhi’ sang musuh. Pada akhirnya, para tentara kolonial pun tak berani memasuki Sorokan serta lantas berbalik arah meninggalkan medan.

Babad Diponegoro

Dikisahkan juga dalam Babad Diponegoro (1917) Kedung Kebo pada pupuh Maskumambang, 130-134 :

  1. Pan ing Tingal kinarya barising wong kapir, langkung agengira, Kurnel Kebes tindhih neki, senapati tan kawawa.
  2. Mapan lajeng tur uning mring jeksa nuli, nuhun bantu nulya, Kangjeng Sultan amarengi, jeng Gusti Mukamat Iman.
  3. Ngabdulkamit lan Raden Mertalayeki, budhal saking jeksa, tanapi ingkang prajurit, tan winarna marga prapta.
  4. Pan ing Tingal lajeng campuh ing ajurit, langkung ramenira, nanging kuciwa wong kapir, Kurnel Kebes pan lumajar.
  5. Mapan kathah bangkenira tiyang kapir, Islam majeng samya, angsal bandang mriyem kalih, wus katur mring Kangjeng Sultan.

Kurang lebih, arti dari pupuh-pupuh tersebut tersebut adalah, Di Tingal disiapkan pasukan Belanda, pasukanya sangat banyak, pasukan tersebut dipimpin Kolonel Kebes, para senapati tak mampu melawannya. Lalu memberi tahu ke jeksa (Dekso) untuk meminta bantuan Kangjeng Sultan, Kangjeng Sultan pun mengabulkan permohonan tersebut, Kangjeng Gusti Muhamad Iman. Abdul Hamid dan Raden Mertalaya berangkat dari Jeksa (Dekso) bersama prajuritnya. Di Tingal lalu terjadi perang, perang yang terjadi sangat ramai, Belanda kalah, Kolonel Kebes berhasil meloloskan diri. Banyak mayat prajurit Belanda, prajurit Sultan selamat, dari perang tersebut mendapat rampasan dua meriam, peristiwa tersebut sudah dilaporkan kepada Kangjeng Sultan.

Bedhug Masjid

‘Barang bukti’ peninggalan dari kisah perjuangan Wanu Tejakusuma beserta para prajuritnya saat membantu Pangeran Diponegoro itu, berupa bedhug genderang perang di Masjid Baitur Rohman di dusun Tingal Wetan. Di sekitar pemakaman Singa Leksana di dusun Tingal pun, banyak batu penanda makam yang tidak diketahui namanya, yang ternyata setelah ‘diteliti’ itu merupakan makam para prajurit Pangeran Diponegoro. Bedhug dan makam-makam tersebut sampai sekarang masih ada. Juga warisan seni budaya berupa tari-tarian, tradisi lisan pituturan, laras madya, jathilan, karawitan, dan wayang, hingga kini masih terpelihara dari generasi ke genarasi. Demikian pula adat dan tradisi seperti Merti Desa (selapanan, saparan, mauludan, suran, ruwahan, penanggalan bulan jawa) hingga kini masih dilakukan dan dijalani oleh masyarakat Wanurejo.

Kali Gayam & Umbul Tirta

Dua sumber mata air di Desa Wanurejo Kali Gayam dan Umbul Tirta yang dahulu konon digunakan oleh Kyai Mubarokh dan para santri di pesantrennya, hingga kini pun masih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan sejak puluhan tahun lalu hingga 1980, air dari Umbul Tirto selalu diambil dan digunakan oleh para umat Buddha sebagai simbol air suci saat perayaan Hari Waisak.

Wafatnya Eyang Wanu

Eyang Wanu alias Adipati Wanu Tejakusuma meletakkan dasar kepemerintahan dengan azas kebersamaan, kegotongroyongan, persatuan dan kesatuan, serta kemandirian, dalam tata kelola desa berdasar nilai-nilai budaya. Beliau wafat pada tahun 1836, enam tahun usai Perang Diponegoro berakhir. Sepeninggalnya, Kadipaten Wonorejo diabadikan menjadi Wanurejo. Pelatakan dasar kepemerintahan dan nilai-nilai budaya warisan Eyang Wanu, hingga kini diikuti dan diteruskan oleh para pemangku adat dan pemerintahan Desa Wanurejo, bahkan dikembangkan sesuai kemajuan zaman.

Pisowanan sanga sanga

Setiap tahun pada 17 Mei, diperingati oleh seluruh masyarakat dan komponen Desa Wanurejo sebagai tanggal berdirinya Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Kegiatan seni budaya pun digelar, dimulai pada 16 Mei dengan agenda acara Pisowanan Agung Sanga Sanga, di mana tetua dusun atau padukuhan membawa air dari sumber di masing-masing dusun untuk diberikan kepada Kepala Desa Wanurejo. Air-air tersebut kemudian dijadikan satu dan diarak bersama, dipimpin oleh Kepala Desa, dibawa ke Makam Wanu Tejakusuma di Puroloyo Cikalan, Wanurejo. Malamnya, dilanjutkan dengan acara doa bersama, mendoakan para pendiri padukuhan/dusun di wilayah Desa Wanurejo. Puncak acara, pada 17 Mei, seluruh lapisan masyarakat dari masing-masing dusun dengan tumpeng hasil bumi dan kesenian rakyatnya, menggelar karnaval bersama bertajuk “Gelar Budaya Wanurejo”.

Surat Kekancingan

Sejak 16 Januari 2015, pihak Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan Surat Kekancingan No. 028/KHPP/Mulud.I / EHE.1948.2015 tertanggal 25 Mulud EHE 1948/ 16 januari 2015, yang ditandatangani oleh GKR Condrokirono, menyebutkan bahwa Pangeran Tejakusuma adalah putra ke-76 Sri Sultan HB II yang dimakamkan di Puroloyo Cikalan, Desa Wanurejo.

Sumber :

  1. Naskah Babad Wanurejo oleh Tim Penelurusan Desa Wanurejo (Triyanto, Luwardi, Sukiyadi, Sutrisno, Sugiharto, Suyono, Madya, serta Alm. Sapta Rujianto yang menulis tembang Dhandanggula, Babad Desa Wanurejo).
  2. Hasil wawancara dengan Ki Roni Sodewo (keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro) mengenai ‘Jejak Perang Diponegoro’.
  3. Surat Kekancingan nomor 028/KHPP/Mulud.I/EHE.1948.2015 tertanggal 25 Mulud EHE 1948 / 16 Januari 2015, di makam petilasan Puroloyo Cikalan, Desa Wanurejo, Borobudur.

Gambar

Narasumber

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *