Cerita Tentang Sendang Bunder / Sendang Kapit Kuburan

(Narasi oleh Beni Purwandaru dan Tatak Sariawan)

Narasi

Sendang Bunder / Sendang Kapit Kuburan merupakan nama sebuah sumber mata air dalam bentuk kolam kecil yang berlokasi di Dusun Brangkal, Desa Candirejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Berada di bawah rerimbunan hutan bambu di pojok dusun.  Sendang Bunder saat ini airnya masih dimanfaatkan warga setempat untuk dikonsumsi juga untuk mandi ataupun mencuci pakaian. Meski demikian sendang ini merupakan peninggalan masyarakat pada zaman dahulu yang sampai saat ini banyak menyimpan sejarah  dan kearifan lokal yang perlu dilestarikan keberadaannya.

Berdasarkan cerita dari Mbah Kromo, sesepuh dari Dusun Brangkal berusia sekitar 70 an tahun, nama “Sendang Bunder / Sendang Kapit Kuburan” berasal dari kata Sendang yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya kolam kecil, bunder artinya bulat atau berbentuk melingkar. Jadi Sendang Bunder bisa diartikan sebuah kolam kecil yang berbentuk bundar atau melingkar. Sedangkan “Kapit Kuburan” berasal dari kata “Kapit” yang artinya terhimpit atau berada di antara, dan “Kuburan” artinya pemakaman. Jadi “kapit kuburan“ bisa diartikan berada di antara dua kuburan. Dengan kalimat lain “Sendang Bunder / Sendang Kapit Kuburan” bila digambarkan adalah sebuah sumber mata air kecil berbentuk bundar atau melingkar yang berada diantara dua pemakaman.

Sepanjang pengetahuan, sendang bunder yang lokasinya seperti ini hanya ada satu, yaitu di dusun Brangkal. Dan kebanyakan orang, dengan keberadaan sendang yang diapit dua pemakaman ini menganggapnya sebagai bentuk sendang yang sakral, namun keberadaan sendang Bunder ini tidak seseram yang kita pikirkan. Tetapi, justru sendang ini merupakan sendang yang bisa diambil banyak manfaatnya, secara moral maupun spiritualnya. Disamping airnya dapat dimanfaatkan warga sepanjang musim untuk diminum maupun dibuat mandi dan cuci pakaian, sendang ini tetap mengalir walaupun di musim kemarau. Air sendang Bunder juga banyak yang mempercayai sebagai obat awet muda dengan cara mencuci muka di sendang bunder tersebut, dan akan membawa keberkahan bagi mereka yang mandi. Namun semua kembali kepada kepercayaan masing-masing.

Menurut Mbah Kromo, Cerita tentang Sendang Bunder tidak dapat dipisahkan dari Dusun Brangkal itu sendiri yang merupakan dusun tertua di Desa Candirejo. Jadi sebelum Desa Candirejo berdiri, dusun Brangkal sudah ada. Terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah dari masa itu. Sebagai misal adanya Masjid “Tiban” yang sudah berdiri paling dahulu sebelum dusun-dusun lain di Desa Candirejo dibangun masjid-masjid. Masjid tersebut berlokasi kurang lebih 100 meter sebelah Selatan tidak jauh dari “Sendang Bunder”. Dan dinamakan masjid “Tiban” yang artinya tiba-tiba ada, atau orang-orang tua dahulu bilang bahwa ketika mereka mengetahui masjid tersebut tiba-tiba sudah ada dan tidak tahu siapa yang membangunnya. Dan seiring berjalannya waktu masjid Tiban dinamakan masjid “Baitul Awwal” yang artinya rumah Allah yang paling awal. Menurut cerita “Mbah Kromo” ( orang yang tergolong tua di dusun Brangkal ) bahwa pada masa kecil beliau, keberadaan masjid tersebut berbahan kayu dan beratapkan ijuk. Masjid ini pun sangatlah “werit”. Menurut cerita beliau, dulu pernah ada warga yang lewat di samping masjid dengan naik kuda terjatuh dari tunggangannya dikarenakan tidak mau turun dari kudanya saat melewati masjid, dan banyak anak muda ketika tidur di masjid tersebut namun dalam keadaan najis maka mereka akan terbangun tiba-tiba sudah berada di bawah rerimbunan bambu. Masjid ini memang sakral, hingga banyak orang percaya bahwa siapa saja yang mempunyai hajat dan tirakat di masjid tersebut bisa terkabul apa yang mereka hajadkan, Kemudian bukti peninggalan sejarah yang lain adalah banyak ditemukannya patung-patung Hindu yang terpendam di lereng tebing sungai Progo dekat masjid tersebut. Penemuan patung-patung tersebut sekarang masih disimpan oleh salah satu warga dusun Brangkal yang bernama Mbah Tukiran dan sebagian sudah di bawa ke Museum Karmawibangga.

Dusun Brangkal, masjid tiban, dan sendang bunder memang sudah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Artinya adanya Dusun Brangkal berarti adanya juga Sendang Bunder/Sendang Kapit Kuburan. Pada masa itu Sendang Bunder dimanfaatkan untuk bersesuci ketika para warga pulang dari berladang. Namun bukan berarti boleh dengan seenaknya mencelupkan anggota badan ke dalam sendang, akan tetapi sendang tersebut diberi pancuran dengan sepotong bambu untuk bersuci. Selain bersuci juga digunakan sebagai tempat minum bagi warga yang kehausan pulang dari ladang.

Air sendang memang menyejukkan, sampai-sampai tak sedikit warga yang membawa pulang air tersebut untuk dibuat air minum di rumah, dan sebagian untuk mengisi jamban di depan rumah mereka yang disediakan bagi para musafir yang kehausan di perjalanan.  Jadi rasa kepedulian pada masa itu sudah tertanam. Mereka sangat peduli dan selalu mempersilahkan bagi siapa saja minum di tempat mereka untuk “mampir ngombe”. Jadi istila “mampir ngombe” berasal dari kebiasaan orang-orang jaman dulu yang sampai saat ini kalimat tersebut masih sering dibuat istilah-istilah dalam dunia falsafah kehidupan.

Selain buat air minum, air sendang juga digunakan sebagai air keberkahan yang sebelumnya diberikan do’a-do’a oleh sesepuh dusun, kemudian airnya diberikan dan diminum oleh warga. Sebagai contoh adalah kegiatan masyarakat yang sampai saat ini masih dilestarikan, yaitu “Rebo Pungkasan / Rebo Wekasan” yang dilaksakan di setiap hari Rabu ahir bulan Sapar. Dinamakan Rebo Pungkasan karena seperti nama tersebut, Rebo adalah hari Rabu, dan Pungkasan artinya ahir, yang artinya Rebo Pungkasan adalah hari Rabu akhir. Dan upacara Rebo Pungkasan itu sendiri merupakan adopsi dari jaman Sri Sultan Hamungkubuana I pada tahun 1784 yang tujuannya adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagai ritual tolak balak agar kampung terhindar dari wabah penyakit,  terhindar dari mala petaka.

Menurut Mbah Kromo, Isi dari ritual Rebo Pungkasan memiliki tata cara sebagai berikut:

Jadi sebelum ritual dilaksanakan, sesepuh dusun mengambil air dari sendang Bunder menggunakan wadah lalu dibawa ke masjid, dan dibacakan “do’a tolak balak, dan do’a selamat. Selain itu pada malam hari Rabu, para warga melaksanakan sholat tolak balak, yaiitu sholat yang dilaksanakan dua rokaat – dua rokaat sebanyak empat kali dengan menghadap ke empat penjuru arah mata angin, yang sering disebut dengan nama “Sholat Kiblat Papat.  Kemudian air dibagikan kepada warga untuk dibawa pulang dan diminum kepada anggota keluarganya. Namun sebelum membawa pulang air tersebut, sebagai simbolis,  agar warga memotong sedikit rambut mereka dengan maksud membuang “sesuker” atau membuang sial, juga membuang nafsu-nafsu yang kurang baik. Dan itu merupakan bentuk pengharapan mereka agar dijadikan kampung yang aman, ayom, ayem, tentrem, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja, kalis ing rubeda, nir ing sambikala. Mbah kromo dan sesepuh dusun brangkal juga meyakini air tersebut adalah air yang paling enak bila di masak buat air minum dibandingkan air sumur.

Itulah sejarah Sendang Bunder di dusun Brangkal yang sampai saat ini masih tetap terjaga kelestariannya. Terimakasih mudah-mudahan informasi ini bisa menambah pengetahuan kita, dan bisa menambah rasa kepedulian kita untuk tetap melestarikan peninggalan  kebudayaan yang adiluhung. Terimakasih!

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Mbah Kromo, 70 tahun, sesepuh desa Candirejo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...