(Narasi oleh  Muhammad Ja’far Qoir dan Miftakhul Fauzi)

Narasi

Dusun gunden, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur ada sebuah sendang yang hingga kini masih digunakan mandi masyarakat namun menyimpan sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Nusantara. Sendang ini berada di pinggir jalan raya, persis di samping jembatan dan di sebelah kanan kiri ditumbuhi pepohonan jati. Warga sekitar menyebutnya sendang mbujet. Tidak ada yang tahu kenapa dinamakan mbujet, hanya nama itu yang tahu sejarahnya sendiri. Jika mandi disitu besar kemungkinan orang yang lewat di jembatan bisa melihat sepintas siapa dan sedang apa di sendang itu, hingga kini ada sebagian warga yang takut untuk mandi karena cerita mistis yang beredar di sendang tersebut, namun ada warga yang masih berani mengambil air atau mandi guna mencukupi kebutuhan air sehari hari.

Bapak Rismanto selaku kepala dusun atau dulu orang menyebut Kepala Dusun dengan Pak Perabot menceritakan, sendang yang berada di sebelah bawah jembatan ini merupakan tempat dimana dulu para pendherek Pangeran Diponegoro mengambil air untuk minum bahkan beristirahat karena tempat itu bersebelahan dengan sungai kecil yang pada masanya terdapat ikan ikan kecil yang besar kemungkinan pada masa dulu para pendherek menangkap hingga memasak ikan disitu. Lebatnya hutan jati dan pohon lain meninggalkan kayu kayu keringnya untuk digunakan sebagai bahan membakar ikan. Bahkan setelah Simbah Kundi (seseorang yang membabat alas tanah gunden) menetap di Dusun Gunden, beliau sering mengambil air wudhu atau mandi di Sendang Mbujet ini.

Seiring waktu cerita cerita mengenai Sendang Mbujet terus berkembang dari hal baik maupun hal buruk, seperti cerita Mas Dwi salah seorang warga Dusun Klipoh Karanganyar yang mengingatkan beliau bahwa Mas Dwi pernah mengalami kecelakaan disitu. Saat kami temui dirumah, dia sedang menemani burung perkutut kesayangannya, sambil menikmati rokok lintingan ditangan, sesaat Mas Dwi menghisap rokok kemudian bercerita. Dia lupa tahun berapa kejadian tersebut tetapi yang jelas waktu itu sekitar jam 11 malam, dia ingin berpergian ke suatu tempat dengan motornya, malam itu jalan terasa sangat sepi, dan bulan seakan bersembunyi di belakang awan mendung. Angin terasa dingin dan suara nyanyian serangga menemani di hampir seluruh sudut jalan. Sesaat sebelum turun ke jembatan, perasaan Mas Dwi mulai ragu, di gelapnya malam itu, suara nyanyian serangga menghilang tepat saat Mas Dwi melihat jembatan mbujet dari kejauhan. Dia melihat ke belakang seakan berharap ada pengendara lain walau itu hanya sinar kecil lampunya dari kejauhan, namun harapan itu hanya harapan, bukan kenyataan.

Mas Dwi seolah memang sudah ditakdirkan untuk melewati jembatan itu sendirian, dengan alunan motor yang terus melaju Mas Dwi melihat seorang nenek dengan baju kebaya gelap dan membawa tenggok atau keranjang dengan diikat jarik di tubuhnya di seberang jalan, seolah nenek itu akan menyebrang, dengan kebingungan dan seluruh badan merinding Mas Dwi menghindar kalau saja nenek itu betul akan menyebrang. Sambil melihat nenek yang berdiri tidak bergerak dengan aura dingin, wajah yang tidak begitu terlihat karena gelapnya malam, tidak disadari Mas Dwi sudah berkendara tepat didepan pembatas jalan di jembatan, dengan segera menginjak rem motor, namun karena jarak terlalu dekat benturan pun tak terhindarkan. Karana laju kendaraan tidak terlalu kencang, Mas Dwi hanya terlempar sedikit dari kendaraannya dan meninggalkan luka di tubuhnya, dengan takut dia segera berdiri, secepatnya dia ingin segera menjauh dari jembatan itu tanpa merasakan sakit luka di tubuhnya. Dan benar saat dia putar arah untuk pulang ke rumah, tepat di jembatan itu Mas Dwi sudah tidak melihat nenek yang tadi berdiri di samping jalan, lalu siapa dia, dan sedang apa dia jam 11 malam. Sampai saat cerita ini tertulis, tidak ada yang tahu siapa yang ada dalam cerita mas Dwi tersebut, namun warga sekitar juga pernah ada yang melihat perwujudan yang sama, namun rasa takut sudah menghilangkan rasa ingin tahu mereka.

Kembali ke Bapak Rismanto, beliau berpendapat bahwa apa yang ada di jembatan itu bersangkutan dengan apa yang ada dalam Sendang Mbujet, baik alam atau hal spiritual selalu memberikan aura auranya masing masing, baik itu menjaga atau sekedar menggunakan “sendang”. Selama ini warga sekitar berpendapat bahwa yang menjaga Sendang Mbujet adalah seekor ular buntung atau ular pendek, yang sering terlihat di sekitar sendang, tidak ada yang menangkap atau sekedar mengusir ular tersebut, karena warga berkeyakinan bahwa manusia tidak akan jauh dari hal-hal spiritual dan saling menjaga adalah kunci keseimbangan alam agar tetap aman dan dijauhkan dari segala musibah. Jadi Sendang Mbujet ini bisa dikatakan tempat yang menyimpan sejarah budaya dengan cerita cerita seram masyarakat saat ini

Gambar

Lokasi

-7.619330, 110.187177

Narasumber

  • Bapak Riswanto, pemerti budaya, desa Sambeng

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

 

Ulasan...