(Narasi oleh Elka Hanna Setia dan Fredy Trifani)
Narasi
Khitanan atau dalam bahasa jawa “supitan” dilakukan saat peralihan seorang anak laki-laki ke masa dewasa, kebanyakan khitanan dilakukan pada umur anak laki-laki 12-15 tahun di perkampungan sedangkan di kota biasanya bayi laki-laki yang baru lahir langsung dikhitan atau pada usia masih balita. Sebagian masyarakat Desa Kebonsari masih mempercayai waktu supitan ditetapkan menurut perhitungan tanggalan jawa. Berdasarkan penjelasan Mbah Nursalim Desa Kebonsari sendiri biasanya khitanan dilakukan secara besar-besaran atau pesta dan disertakan dengan pertunjukan kesenian rakyat seperti: wayang kulit, pertunjukan kesenian dayakan, penggajian atau dangdutan bagi orang yang memiliki biaya cukup atau memang dari pihak keluarga sudah ditekadkan untuk melaksanakan khitanan selain “slametan” juga mengadakan pertunjukan sesuai keinginan keluarga.
Slametan
Biasanya pertunjukan dilaksanakan setelah atau sebelum khitanan, pertunjukan sebelum khitanan bermaksud untuk membesarkan hati anak yang akan dikhitan agar tidak merasa takut melainkan gembira. Pertunjukan setelah khitanan bermaksud untuk mewujudkan rasa syukur telah diberikan kelancaran dalam proses khitanan. Adapun sebelum khitanan bagi masyarakat Desa Kebonsari melaksanakan “slametan” seperti penggajian, gendhuri. Penggajian dimaksudkan untuk memohon doa kepada sang pencipta agar diberikan kelancaran sampai pada saat anak dikhitan dan memohon agar setelah khitan menjadi anak yang sholeh. Gendhuri merupakan perjamuan makan slametan yang selalu diawali dan disertai dengan doa untuk menyambut atau mengharap keselamatan. Makanan yang disajikan dalam acara khitanan sudah jauh berbeda dari budaya spiritual zaman dulu, sekarang dilakukan secara praktis dan simpel.
Jenang abang putih
Meskipun sudah jarang melakukan upacara khitanan seperti budaya zaman dulu tapi masyarakat tidak pernah meninggalkan budaya yang satu ini selalu menyediakan jenang merah maupun putih dan ingkung sebagai simbolis acara slametan. Setelah acara makanan yang disajikan sudah diberi doa masyarakat yang hadir akan menikmati makanan yang sudah dihidangkan dan membawa pulang membawa bingkisan atau orang jawa bilang “berkat”, berkat sendiri sekarang sudah dikemas sedemikian praktis yaitu “berkat” yang diberikan kepada orang gendhuri adalah bahan pokok makanan seperti beras, teh, gula, mie instan, minyak, telur dan lain sebagainya. Melainkan seperti zaman dulu di era kakek nenek berkat yang diberikan merupakan makanan matang yang diwadahkan makanan ke dalam besek .
Gambar
Lokasi
map