(Narasi oleh Wahyu Nur Rahman dan Abdul Kholiq Kurniawan)

Narasi

Tradisi malam 1 sura di desa kami, Desa Bumiharjo. Konon, saat malam satu sura deretan cahaya obor atau oncor dari Desa Majaksingi ke gunung Suroloyo dapat terlihat dengan mata telanjang dari Desa Bumiharjo sebelum tahun 2000-an. Pemuda di Desa Bumiharjo banyak yang turut serta merayakan tahun baru untuk menginap di puncak Suroloyo. Berdasarkan penuturan Mbah Hali yang berusia 104 tahun, para pemuda tersebut kebanyakan laki-laki, mereka berangkat berjalan kaki dari rumah sampai puncak Suroloyo dengan tujuan masing-masing diantaranya, ada yang sekedar turut serta meramaikan, ada yang berkeinginan untuk mendirikan tenda, ada yang ingin melihat prosesi atau hiburan yang ada disana dan ada yang sekedar melakukan lek-lekan (begadang). Namun, hal ini sudah banyak ditinggalkan oleh generasi penerus sekarang. Karena perkembangan zaman, sudah jarang bahkan hampir tidak ada lagi para pemuda yang merayakan malam satu sura di Bukit Suroloyo.

Tradisi suran yang ada pada beberapa dusun di Desa Bumiharjo umumnya mengadakan Acara Auman yaitu perkumpulan yang dihadiri masyarakat satu dusun yang bertempat di masjid atau mushola. Acara berupa tahlil, tausiyah dan dilanjutkan makan bersama. Makanan umumnya akan digilir dari warga RT, namun ketika malam sura panitia dusun akan menambahkan ayam ingkung dan klubanan dalam menu makannya. Acara Auman dihadiri oleh para pemuda dan bapak-bapak, sementara para ibu-ibu memasak dan mempersiapkan makanan yang akan disajikan pada acara auman tersebut.  Namun Acara Auman kali ini di masjid sigug akan dilaksanakan pada malam ke 10 sura dan dibarengi dengan acara menyantuni anak yatim dan piatu. Pada masa pademi seperti saat ini, acara malam Sura sesuai dari panitia ditiadakan dan atau dibuat sederhana.

Masyarakat Desa Bumiharjo mayoritas beragama Islam, oleh karena itu sebagian besar kegiatan malam satu Sura digelar dengan nuansa islami yaitu untuk menyambut tahun baru Hijriyah seperti doa dan tahlil bersama  Akan tetapi di Dusun Sigug peringatan malam satu Sura tetap dilaksanakan di RT masing-masing. RT 07 berada di rumah Bapak Tegel, RT 06 di rumah Bapak Supangat  dan Rt.8 berada di rumah Bapak Harjo. Acara ini bertujuan mengirim doa untuk para leluhur dan doa bersama agar pandemi ini segera berlalu serta doa untuk memohon kesembuhan bagi warga yang sedang sakit.

Acara diawali dengan sambutan tuan rumah dan ketua RT dilanjut Tahlil bersama  dan mendoakan para leluhur yang telah mendahului kita kemudian dilanjutkan doa agar di tahun baru hijriah ini jadi awal yang lebih baik agar pandemi ini segera berakhir sehingga masyarakat bisa beraktifitas seperti semula. Doa dan tahlil langsung dipimpin oleh bapak kaum atau modin.

Adapun Sajian yang dihidangkan berupa snack jajanan pasar dan buah-buahan, disediakan pula Jenang Abang Putih dan Ingkung. Sajian yang dihidangkan dilengkapi dengan ayam ingkung, klubanan dan jenang abang putih. Berdasarkan cerita Mbah Hali yang berusia 104 tahun,

Jenang Abang putih iku wujuting bekti lan pakurmatan marang leluhur ben slamet uripe utowo diibaratke getih lanang lan wadon”. Artinya : Jenang abang putih itu bentuk bakti dan penghormatan kepada leluhur supaya selamat hidupnya atau diibaratkan seperti sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan.

sedangkan Ayam ingkung dijelaskan Mbah Hali sebagai berikut,

“meper howo kamurkaning menungso koyo iri, srei,drengki lan umuk kanggo nyucekke awak”. Artinya : Menahan hawa nafsu atau sifat buruk seperti iri, serakah, dengki, dan sombong untuk mensucikan diri.

 Ingkung biasa disajikan  tengkurap dan seperti posisi sujud  dimana sujud adalah dihadapan Tuhan kita harus menunduk dan merendah dalam keadaan yang suci. Selain itu sajian klubanan juga disajikan dalam acara suran ini. Klubanan atau urapan terdiri dari berbagai macam sayur rebus yang dicampur dengan parutan kelapa yang dicampur dengan bumbu. Berbagai macam sayuran tersebut diantaranya, kubis, kacang panjang, kecambah, dan bayam. Sayur Kecambah bermakna tumbuh atau hidup, Bayam bermakna ayem tentrem atau hidup yang tentram sedangkan kacang panjang memiliki makna pemikiran yang jauh kedepan. Sedangkan bumbu urap yang terbuat dari parutan kelapa memiliki makna urip atau hidup yang bisa menyatukan dan menghidupi. Semua hidangan tersebut disajikan pada awal acara, bertujuan supaya hidangan tersebut “mambu dunga”. Mambu dunga ini artinya, makanan yang telah didoakan oleh semua hadirin dapat dinikmati oleh para tamu yang hadir dengan harapan mendapat berkah. Pada akhir acara salah satu warga memotong-motong ingkung untuk dibagikan kepada para tamu yang hadir.

Gambar

Narasumber

  • Mbah Hali, 104 tahun, sesepuh desa Bumiharjo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...