(Narasi oleh Andi Ahmad dan Zuhan Andri D. A.)

Narasi

Mbah Mahfud bercerita, bahwa di Desa Tuksongo masih kental dengan adat dan budaya pada bulan-bulan tertentu, terutama dalam kalender Jawa. Sebagai orang Jawa, masyarakat desa sampai saat ini masih nguri-uri (melestarikan) tradisi secara umum, seperti tradisi pada bulan sura, maulid nabi, dan nyadran.

Suro / Muharram

Desa Tuksongo saat tanggal 1 muharam atau 1 sura akan mengadakan mujahadah atau doa bersama di mushola dan masjid untuk menyambut malam tahun baru Islam setiap tahunnya kemudian diteruskan dengan makan bersama dengan tumpengan. Khusus untuk Dusun Tuksongo, biasanya acara tersebut diselenggarakan di masing-masing RT, dan pada malam 10 muharam diselenggarakan tirakatan secara satu desa di Masjid Jami Darussalam Tuksongo. Dikarenakan situasi pandemi sekarang ini acara malam 1 suro dikemas dengan sederhana yaitu dengan melakukan selamatan atau doa bersama di mushola dan dilanjutkan makan bersama di Balkondes Tuksongo dengan jumlah peserta terbatas.

Tirakatan

Berikut berdasarkan narasumber yang kami wawancarai dengan salah satu sesepuh desa Tuksongo, yaitu Mbah Mahfud mengatakan bahwa beliau mengingat kegiatan syukuran malam tahun baru Islam pertama kali dilaksanakan pada tahun 1920-an yang diawali oleh Kyai Mundhakir dan di era kepemimpinan Lurah Cokro Dwirjo selaku lurah kedua di Desa Tuksongo. Dikarenakan sebelum adanya Kyai Mundhakir, masyarakat di Desa Tuksongo kurang memahami tentang ilmu agama Islam. Untuk menyambut tahun baru Islam, Kyai Mundhakir mengajak masyarakat kumpul untuk melaksanakan tirakat doa bersama yang ditutup dengan makan bersama sebagai bentuk syukur atas apa yang sudah dilewati. Adapun kegiatan yang dilakukan setiap malam tahun baru Islam yaitu membuat nasi tumpeng, bubur sura, jenang merah putih, ingkung, dan disertai doa bersama.

Tumpengan

Hidangan yang dibuat untuk tahun baru Islam tersebut pada dasarnya memiliki makna simbolik. Nasi tumpeng, terdiri dari beberapa sayuran yang dapat diartikan sebagai simbol kebersamaan antar sesama manusia yang terdiri dari berbagai karakter atau sifat manusia.  Bubur sura, yaitu bubur putih yang dikasih daun sura (sirih) diatasnya. Makna dari bubur sura tersebut melambangkan agar kita menjadi insan yang lebih baik dari tahun yang sudah dilewati. Jenang abang putih, sebagai bentuk penghormatan sebuah kelahiran, yaitu diartikan sebagai tanda penghormatan pada kelahiran agama Islam. Ingkung, diartikan sebagai wujud sedekah atau aqiqoh, karena hidangan tersebut bisa berupa kambing bagi yang mampu, atau jika tidak mampu bisa digantikan dengan ayam atau telur ayam.

10 Muharram

Kemudian Menurut Bapak Kyai H Muh Asari tanggal 10 sura juga diperingati sebagai hari kebaikan bagi seluruh umat Islam. Biasanya di Desa Tuksongo setiap malam 10 sura akan memperingati hari tersebut dengan ucapan rasa syukur dan penuh kebahagiaan dengan cara memberikan sedekah kepada fakir miskin dan yatim piatu. Kemudian berpartisipasi dalam mengikuti acara pengajian di Masjid Jami Darussalam di Desa Tuksongo. Masyarakat juga banyak yang bersedekah mulai dari membuat makanan seperti nasi ambeng atau bancakan dan makanan ringan lainya. Ada yang membuat jenang sura dan jenang abang putih yang dimakan bersama-sama ketika acara berdoa bersama. Acara tersebut bermakna sebagai simbol wujud rasa syukur masyarakat Desa Tuksongo atas karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Mauludan

Selain pada bulan sura, biasanya masyarakat Desa Tuksongo umumnya menyambut bulan mulud dengan mengadakan perayaan keagamaan seperti pengajian. Perayaan mauludan juga dirayakan dengan pementasan kesenian dan ada juga yang merayakan acara berjanjen atau sholawat nabi. Sampai saat ini tradisi masih sering dilakukan sebagai bentuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Ruwah

Desa Tuksongo, memiliki satu dusun yang hanya melaksanakan tradisi nyadran di bulan ruwah dengan nuansa yang berbeda. Disaat yang lain hanya melaksanakan reresik (bersih) makam dan tahlilan di makam masing-masing sanak keluarga yang dilanjutkan ke masjid secara berjamaah. Di Dusun Ganjuran 1 atau Dusun Seganan, pelaksanaan nyadran dilakukan dengan penyembelihan hewan berupa kambing atau ayam yang dimakan dan dibagikan ke warga masyarakat. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan oleh para peziarah di Makam Mbah Kyai Segan, selaku tokoh yang menjadi cikal bakal nama Dusun Seganan. Para peziarah, terutama yang hajatnya terkabul, selalu bernazar dengan menyumbangkan berupa hewan ternak kambing atau ayam pada bulan ruwah kepada warga masyarakat Dusun Seganan.

Nyadran dusun

Biasanya, tradisi nyadran dilaksanakan mulai pasca salat subuh yang dimulai dengan bersih makam hingga pukul tujuh pagi. Kemudian tahlilan bareng di Masjid Al-Huda sampai jam 10 pagi. Setelah itu, warga Dusun Seganan berbondong-bondong kembali ke makam untuk melakukan penyembelihan hewan ternak pemberian para peziarah Makam Mbah Kyai Segan. Hewan sembelihan tersebut, sebagian dimasak di tempat oleh para ibu rumah tangga dan sebagian yang lain dibagikan ke warga masyarakat. Setelah selesai dimasak, hasil olahan tersebut dibawa ke Masjid Al-Huda lagi untuk dimakan bersama, semua masyarakat bahkan warga luar Dusun Seganan maupun Desa Tuksongo boleh menikmati hidangan tersebut.

 

Gambar

Narasumber

  • Mbah Mahfud, Sesepuh Desa, Desa Tuksongo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...