(Narasi oleh Mustofa dan Zam Zamil Huda)
Narasi
Pohon Ratusan tahun
Tuk Sebandot merupakan sebuah area seluas kurang lebih 1000 m2, berada di wilayah Dusun Gayam RT 004 RW 001. Letaknya berada di sebelah selatan dari Kantor Pemerintah Desa Giripurno, berjarak kurang lebih 300 meter ke arah selatan melalui jalan desa menuju ke arah Dusun Miriombo Kulon. Pada lahan tersebut tumbuh berbagai jenis pohon yang berusia ratusan tahun, diantaranya adalah pohon preh, pohon iwil-iwil, pohon beringin, rotan, bambu, dan sebagainya. Di bagian bawah lahan tersebut terdapat pelataran dengan luasan kurang lebih 10 x 15 m. Jika menghadap ke arah selatan, di depan pelataran tersebut terdapat bangunan setengah jadi yang terbuat dari batu bata. Kemudian di samping bangunan tersebut terdapat sebuah mata air yang mengalir sepanjang tahun dan merupakan mata air yang dikeramatkan di Desa Giripurno yang kini dikenal dengan nama Tuk Sebandot.
Sedengan
Untuk mengetahui seluk beluk pengkeramatan Tuk Sebandot, saya mengunjungi kediaman Bapak Sudarto, seorang tokoh masyarakat yang berusia 68 tahun dan bermukim di Dusun Gayam RT 003 RW 001. Menurut Bapak Sudarto, pengkeramatan Tuk Sebandot berkaitan erat dengan kisah perjalanan Sunan Kalijaga. Pada suatu waktu Sunan Kalijaga mengembara sambil menyebarkan agama Islam. Di suatu tempat beliau beristirahat karena lelah dan meminta untuk diambilkan kelapa muda. Setelah menikmati air kelapa muda tersebut, Sunan Kalijaga mengatakan jika air kelapa muda tersebut rasanya sedengan atau sedang-sedang saja, tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Kata sedengan tersebut kemudian menjadi nama dari daerah tersebut yang kini bernama Sedengen, yakni sebuah dusun di wilayah Desa Ngadiharjo.
Tongkat Sunan Kalijogo
Kemudian Sunan Kalijogo melanjutkan perjalanan dan bersinggah untuk bersisir disuatu tempat. Tempat untuk bersisir tersebut saat ini menjadi tempat yang diberi nama Keramat. Sedangkan dusun tempat persinggahan tersebut bernama Parakan, yang konon berasal dari kata pinarak atau singgah. Perjalanan dilanjutkan kembali hingga pada suatu tempat tiba waktunya untuk sholat dhzuhur. Akan tetapi di tempat tersebut Sunan Kalijogo tidak menemukan air. Lantas Beliau menancapkan tongkatnya dan keluar mata air. Kemudian beliau mengatakan jika air yang keluar tersebut menyerupai air kencing kambing Bandot. Hingga saat ini mata air tersebut dinamakan Tuk Sebandot atau Mata Air Sebandot. Seusai melaksanakan sholat dhzuhur, Sunan Kalijogo melanjutkan perjalanan ke arah barat menuju suatu daerah yang saat ini bernama Karang Sari di Desa Ngargoretno, kurang lebih 1 km dari Tuk Sebandot.
Juru kunci
Karena menjadi tempat yang dikeramatkan, hingga saat ini tempat tersebut memiliki seorang juru kunci yang bertugas untuk merawat dan menjaga tempat tersebut saat ada kegiatan atau acara tertentu. Bapak Sudarto kemudian membeberkan nama-nama juru kunci di Tuk Sebandot tersebut. Yang pertama adalah Mbah Kromoyudo yang juga merupakan Kepala Desa pertama Desa Giripurno. Selanjutnya Mbah Ledung, Mbah Nawang, Mbah Harjono, dan saat ini adalah Bapak Mulyoto yang juga merupakan Imamudin untuk Dusun Pokoh, Gayam dan Jombor. Untuk memperingati petilasan tersebut, setiap dua tahun sekali pada bulan Sofar diadakan khaul dan sedekahan yang saat ini dikenal dengan nama Saparan Bandot.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Bapak Sudarto, 68 tahun, Dusun Gayam RT 02/RW 01, Desa Giripurno
Relasi Budaya
- Kegiatan rutin bulan Jawa ; Saparan Sebandot