Tumpeng; “Tumuju Ati Kang Lempeng”

(Narasi oleh Beni Purwandaru dan Tatak Sariawan)

Narasi

Desa Candirejo Borobudur hingga saat ini masih kental dengan ritual doa atau selamatan di setiap event-event tertentu. Sebagai misal adalah saat warga mempunyai hajatan pernikahan, mendirikan rumah, atau ketika hari besar agama, dan masih banyak lagi lainnya. Dan tumpeng merupakan salah satu properti yang bisa dibilang wajib dalam setiap mengadakan acara tersebut. Mereka menyediakan tumpeng dan berbagai macam uba rampai yang kemudian dibacakan doa oleh sesepuh dusun dan disaksikan para warga, setelah itu mereka bersama-sama memakannya. Sungguh suatu suasana yang menyenangkan dimana rasa kebersamaan tercipta dengan adanya acara tersebut. Mereka juga tidak memandang perbedaan status sosial dalam hal ini. Aku sangat bersyukur dilahirkan sebagai orang Jawa, dimana kita sangat memegang teguh nilai-nilai kebersamaan.

Rasa syukur

Bentuk dari rasa terimakasih kita kepada Sang Khalik yang diwujudkan dengan ritual doa bersama dan dibarengi dengan menyediakan beberapa properti merupakan adat istiadat orang Jawa dari jaman dahulu hingga sekarang. Itu semua membuktikan bahwa nenek moyang kita sudah mempunyai kepercayaan adanya Sang Pencipta yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Mereka percaya bahwa alam seisinya ini, adalah hasil ciptaanNya.

Makna tumpeng

Waktu berkunjung ke kediaman mbah Martono, beliau juga bercerita banyak tentang tumpeng. Seperti judul di atas bahwa tumpeng dimaknai oleh mbah Martono adalah “tumuju marang ati kang lempeng” yaitu menuju kepada hati yang lurus. Maksudnya kita sebagai manusia dituntut untuk selalu berhati yang baik, benar dan lurus tidak bengkok. Dengan hati yang lurus kita akan mendapatkan kedamaian lahir dan batin, dan itu menjadi idaman setiap manusia tentunya.

Tumpeng ulu wetu

Kemudian tumpeng itu sendiri terbuat dari nasi yang dibentuk kerucut lancip ke atas yang bermakna filosofi bahwa manusia harus selalu ingat kepada yang di atas. Ada tumpeng yang terbuat dengan berbagai macam hasil pertanian seperti tomat, kacang Panjang, cabai, dan lain-lainnya dinamakan tumpeng “ulu wetu” ini diadakan dengan tujuan rasa syukur atas keberkahan dalam bercocok tanam. Acara seperti ini biasa dilakukan di tiap-tiap bulan Safar oleh masyarakat Candirejo, yang juga diadakan pula pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Tumpeng robyong

Tumpeng Robyong” adalah nasi tumpeng yang sekelilingnya dikasih beberapa macam sayuran matang yang dikemas ke dalam “takir” atau wadah kecil terbuat dari daun pisang. Dan di atas tumpeng ditancapi cabai merah. Tumpeng ini dibuat di setiap selamatan Perti Desa Candirejo, yang menggambarkan kerukunan warga Candirejo, tujuannya agar kerukunan antara pemimpin dan rakyatnya selalu terjaga, saling asih dan mengasihi.

Gunungan ulu wetu

“Gunungan Ulu Wetu” yang orang Candirejo sering menyebutnya tumpeng Ulu Wetu, biasa dibuat dalam rangka kirab di bulan Sapar dalam acara “Perti Desa” dan diadakan setahun sekali. Gunungan ini terbuat dari bermacam-macam hasil komoditi rakyat berbentuk kerucut dan dipikul warga Candirejo yang kemudian diperebutkan warga. Gunungan ini menyimbolkan kemakmuran warga Candirejo.

Tumpeng oyoting jagad

Ada lagi tumpeng”Oyoting Jagat” yaitu tumpeng yang di sekelilingnya dikasih sayuran matang maupun lalapan yang ditata melingkar tanpa putus. Dan jenisnya dibuat ganjil tujuh atau sebelas macam, dengan maksud kalua tujuh yang dalam bahasa Jawa adalah “pitu” agar kita diberikan pitulungan atau pertolongan sama yang di atas, dan kalau sebelas macam mempunyai maksud agar kita mendapatkan “kawelasan”atau belas kasih dari Tuhan Yang Maha Esa. Tumpeng oyoting Jagat ini biasa diadakan ketika malam tujuh belasan untuk mendo’akan dan menghargai jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang saat berjuang merebut kemerdekaan Indonesia. Tumpeng menyimbolkan kehidupan manusia yang harus selalu ingat pada Yang Maha Esa, dan di sini disebut sebagai jagat, yaitu jagatnya manusia. Sedangkan uba rampai yang ditaburkan mengelilinginya adalah simbul “oyot” atau akarnya yang menggambarkan terciptanya kemakmuran bangsa berkat andilnya para pahlawan dalam merebut kemerdekaan Indonesia ini. Tanpa tertulis para pahlawan selalu berpesan kepada kita agar kita jangan sampai menyalah gunakan kepercayaan mereka agar selalu mengisi kemerdekaan ini dengan bijaksana.

“Tumpeng Oyoting Jagat” yaitu tumpeng yang di sekelilingnya dihiasi sayuran matang maupun lalapan yang ditata melingkar tanpa putus. Dan jenis sayurannya dibuat ganjil tujuh atau sebelas macam, dengan maksud tujuh yang dalam bahasa Jawa adalah “pitu” agar kita diberikan pitulungan atau pertolongan sama yang di atas, dan sebelas macam mempunyai maksud agar kita mendapatkan “kawelasan” atau belas kasih dari Tuhan Yang Maha Esa. Tumpeng oyoting Jagat ini biasa diadakan ketika malam tujuh belasan untuk mendo’akan dan menghargai jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang saat berjuang merebut kemerdekaan Indonesia. Tumpeng menyimbolkan kehidupan  manusia yang harus selalu ingat pada Yang Maha Esa, dan di sini disebut sebagai jagat, yaitu jagatnya manusia. Sedangkan uba rampai yang ditaburkan mengelilinginya adalah simbul “oyot” atau akarnya yang menggambarkan terciptanya kemakmuran bangsa berkat andilnya para pahlawan dalam merebut kemerdekaan Indonesia ini. Tanpa tertulis para pahlawan selalu berpesan kepada kita agar kita jangan sampai menyalah gunakan kepercayaan mereka agar selalu mengisi kemerdekaan ini dengan bijaksana.

Memetri

“Memetri Bapa Angkasa Ibu Pertiwi” menurut tutur mbah Martono adalah merupakan perwujudan penghormatan kepada Langit dan Bumi yang telah memberikan kenyamanan yang tidak terjadinya bencana. Karena alam seisinya merupakan makhluk Tuhan, termasuk kita manusia, yang juga mempunyai kehendak meski semua atas ijin Tuhan Yang Maha Esa. Maka mereka mempercayai bahwa terjadinya bencana adalah ikut andilnya alam atas ijinNya. Apapun itu yang pasti tujuan mereka baik yaitu perwujudan rasa syukur pada sang Khalik atas apa yang mereka rasakan.

Itulah sebagian dalam penggalian budaya kami di Desa Candirejo tentang tumpeng. Hari sudah sore ketika terdengar suara adzan Ashar kami pun bergegas pamitan pada Mbah Martono. Terimakasih!

 

Gambar

Narasumber

  • Mbah Martono, 75 tahun, sesepuh desa, tinggal di Dusun Brangkal, Desa Candirejo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...