Sembur-sembur adus, siram-siram bayem”

Sebuah tujuan yang terlaksana karena mendapat dukungan banyak orang

Pak Sjamsul sedang memainkan wayang bersama anak-anak Desa Candirejo 

Lantunan suara gamelan mulai terdengar dari pendopo Balkondes Candirejo (12/04), ketika langkah kaki saya semakin mendekat ke sumber suara, terlihat para pemuda sedang melakukan gladi bersih dan berkutat dengan beberapa perangkat gamelan. Ada yang menabuh kendang, ada yang sedang memainkan gamelan ricikan seperti saron dan demung, dan ada yang bertugas memainkan gamelan pencon yakni gong dan kethuk kempyang. Tak jauh dari para penggamel, ada kelir yang berdiri di sudut tengah pendopo. Wayang dengan berbagai karakter unik sudah berjejer rapi di depan kelir yang sudah berdiri. Karakter wayang yang sudah ditata rapi pada sore itu  merupakan karakter-karakter kontemporer yang belum pernah saya temui sebelumnya pada pertunjukan-pertunjukan wayang lainnya. Karakter-karakter tersebut ternyata merupakan penggambaran seorang guru, pelancong, Pak RT, Pak Babin dan masih banyak karakter lainnya. Gamelan yang digunakan hari itu memang tidak selengkap dan sebanyak pada pagelaran wayang biasanya, namun para pemuda Desa Candirejo tetap berhasil membuat harmoni yang epik dengan tabuhan-tabuhan mereka.

Di tengah-tengah persiapan pagelaran wayang malam hari nanti, saya berkesempatan berbincang dengan Mas Beni, salah satu pemuda Candirejo yang ikut mempersiapkan kegiatan hari itu. Menurut Mas Beni, tercetusnya adanya wayang kertas ini bermula dari kecintaan salah satu pelaku budaya yang bernama Pak Koco terhadap wayang. Seiring berjalannya waktu, Pak Koco dan para pemuda Desa Candirejo ingin mengekspresikan seni dan budaya dengan memanfaatkan barang-barang bekas seperti kertas karton. Hal ini tentunya menjadi sebuah inovasi baru dalam pengembangan aset budaya. Mengingat mahalnya bahan baku pembuatan wayang dari kulit, dengan penggunaan karton, masyarakat menekan biaya produksi wayang menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan. 

Selain itu, pembuatan wayang dari kertas karton ini juga dapat memunculkan ide-ide baru untuk pengembangan paket wisata yang ada di Desa Candirejo. Pengunjung tidak hanya akan menikmati pagelaran budaya yang ada, namun juga bisa ikut serta dalam proses pembuatannya. “Nanti bisa travel patternnya ikut membuat wayang kertas, mulai dari membentuk hingga mewarnai.” Jelas Mas Beni sore itu.  

Ruwat dan Memetri  

Setelah mengikuti gladi bersih oleh para pemuda Desa Candirejo, kegiatan inti hari itu pun dimulai. Satu persatu tamu undangan mulai memasuki pendopo Balkondes Candirejo. Kegiatan sore itu dihadiri oleh Pak Rowi selaku Ketua Paguyuban Wedang Rasa, Bapak Sjamsul Hadi, S.H, M.M selaku Direktur Ketuhanan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), Kepala Desa Candirejo yakni Bapak Sigit Mulyanto, Bapak Dedi Panggung Suprabowo selaku perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang dan Bapak Panji Kusumah selaku Pembina Eksotika Desa. Semua orang yang hadir sore itu berasal dari semua kalangan, tidak ada batasan umur maupun jenis kelamin. Semua bersama-sama lenggah sesarengan untuk mengawal salah satu pergerakan masyarakat Desa Candirejo di bidang seni dan budaya.

Kegiatan sore itu diawali dengan sarasehan mengenai Ruwat dan Memetri di Kalangan Masyarakat Borobudur. Dalam sesi ini, Pak Dedi Panggung Suprabowo memaparkan mengenai “Ruwat dan Memetri di Kalangan Masyarakat Borobudur.” Dalam pemaparannya, Pak Dedi menjelaskan bahwa ‘Ruwat’ adalah terlepas atau terbebas dari segala bentuk kecacatan, sedangkan aktivitas dari ruwat itu sendiri bisa dalam bentuk kenduri dan upacara adat yang lain. Ruwat sendiri memiliki tujuan untuk ngruwat atau menghilangkan sukerta atau sesuker (masalah) yang ada dalam lingkungan, maupun diri manusia. Selain itu ruwat juga bertujuan membangkitkan kembali semangat dan keberanian untuk melanjutkan hidup yang penuh harapan. 

Kepyakan Paguyuban Wedang Rasa dengan Segala Harapannya

Setelah pemaparan mengenai ruwat dan memetri oleh Pak Dedi, acara dilanjutkan dengan Launching atau Kepyakan Paguyuban Wedang Rasa. Selamatan atas launchingnya paguyuban juga dirayakan oleh seluruh masyarakat yang hadir sore itu. beberapa Uba rampe juga dihadirkan dalam wilujengan kali ini. Tumpeng robyong sebagai bentuk harapan dan semangat untuk memulai sebuah karya yang baru, dan juga sebagai bentuk permintaan kepada Tuhan agar apa yang akan dilakukan senantiasa diberikan kelancaran. Di sebelahnya berdiri tumpeng jejeg sebagai makna dari njejegaken niat atau meluruskan niat dan tekad,  jenang abang sebagai pengingat bahwa kita berasal dari rahim ibu, jenang putih sebagai pengingat bahwa manusia juga keturuan dari bapaknya,  jenang sliringan semua yang berjalan bersama jangan saling mendahului dan jangan sikut-sikutan atau saling menjatuhkan.   jenang palang sebagai perlambang bahwa manusia harus malangi segala yang menjadi ancaman bagi niat baik manusia. Jenang tulak untuk menolak bala. 

Selain itu, ada uba rampe berupa tukon pasar yang menggambarkan niat dan tekad untuk menghadapi berbagai macam cobaan yang akan datang dalam setiap proses hidup manusia. Among-among sebagai harapan agar manusia dapat selalu hidup bersama-sama, tumpeng sega gurih dan ingkung sebagai pengingat bahwa manusia harus selalu mengingat dan meminta pertolongan kepada Tuhan. Uba rampe yang terakhir adalah pisang sanggan abon-abon sebagai perlambang harapan agar dalam mendirikan Paguyuban Wedang Rasa akan selalu ada rasa tanggung jawab, dan misi yang disandang bisa kasembadan.  

Pagelaran Wayang Kertas 

Acara hari itu ditutup dengan pagelaran wayang kertas yang telah dipersiapkan oleh Mas Cahyo dan kawan-kawan. Cerita yang dibawakan oleh Mas Cahyo selaku dalang pada pagelaran malam itu yakni merupakan cerita yang memiliki pesan bahwa manusia harus senantiasa merawat bumi. “Jadilah seperti bumi, walaupun diidak-idak, diidoni, dan dipukuli ia tidak akan membalas tetapi tetap memberi manfaat pada manusia.” Begitu sedikit pesan yang disampaikan oleh Dalang Cahyo. 

Pak Singgit selaku Kepala Desa Desa Candirejo mengatakan bahwa adanya wayang kertas ini bisa menjadi sarana ekspresi bagi semua orang. Kertas yang berwarna putih dapat digambari atau diberi corak apapun agar menjadi bermakna. “Siapapun bisa memegang wayang dan bisa berbicara di depan sebagai sarana untuk pewarisan budaya.” Sejalan dengan perkataan Pak Sigit, Pak Sjamsul Hadi juga mengatakan bahwa adanya wayang kertas ini bisa menjadi sarana ajar untuk generasi muda dalam mencintai wayang. “Wayang kertas ini merupakan inisasi sebagai pengenalan wayang kepada anak-anak untuk lebih mencintai wayang.” tegasnya.  Anak-anak yang hadir malam itu tampak bersemangat dan gembira dalam menggerakkan wayang kertas di depan kelir, bersama Pak Sjamsul Hadi mereka bersama-sama menjadi dalang dengan iringan suara gamelan yang merdu. Acara hari itu juga menjadi bukti masih banyaknya pemuda yang peduli akan warisan budaya yang dimiliki. Olah rasa, dan kepekaan dapat tersalurkan dalam sebuah pagelaran wayang, bahan baku wayang yang terbuat dari kertas bekas juga menjadi bentuk kepedulian terhadap bumi kita di masa mendatang. (shs)