(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)

Narasi

Makam merupakan tempat yang dianggap suci, angker, dan dikeramatkan, terlebih makam tokoh-tokoh penting. Bagi orang Jawa, keberadaan makam tentu tidak terlepas dari ritual ziarah kubur. Ritual ini merupakan tradisi masyarakat Jawa yang sudah turun temurun. Dalam tradisi ziarah kubur, tidak hanya tersirat sikap hormat orang Jawa kepada leluhurnya, namun juga terselip harapan-harapan agar memperoleh berkah dari leluhur sebagai bekal menjalani kehidupan. Banyak orang Jawa beranggapan, berziarah ke makam leluhur dapat menimbulkan pengaruh tertentu dan ketenangan. Dalam perkembangannya di Desa Ngargogondo, ziarah kubur memiliki makna yang sangat dalam dan menjadi salah satu kegiatan yang tak terpisahkan bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, ada ungkapan sebagai guyonan semata dikalangan sendiri untuk menyebut para peziarah sebagai ahli zaroh atau juga ibadah turki (turut kijing).

Menurut Pak Sujadi, Modin dusun Parakan (64), Makam Kunci adalah makam yang dianggap istimewa bagi warga Dusun Kuncen, Dusun Kujon, dan Dusun Parakan. Selain sebagai makam umum, di pemakaman tersebut terdapat Makam Kyai Kunci yang menjadi cikal bakal Dusun Kuncen, yaitu makam Pangeran Mijil yang dipercaya sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro ketika perang melawan Belanda. Ada juga makam Kyai Abdul Hamid, salah satu tokoh cikal bakal Desa Ngargogondo, Haji Ilham beserta istri sebagai sosok pendiri masjid pertama di Desa Ngargogondo, serta Ndoro Wagean yaitu orang kaya Ngargogondo di masa lalu.

Ziarah ke Makam Kunci bagi masyarakat Desa Ngargogondo, terutama warga Dusun Kuncen, Dusun Kujon, dan Dusun Parakan merupakan ritual yang sering dilaksanakan secara pekanan (setiap pekan), yaitu setiap hari Kamis sore sehabis ashar. Ada penjelasan menarik tentang kenapa lebih banyak warga berziarah pada Kamis sore atau malam Jumat. Seorang ibu peziarah dari Dusun Parakan, ketika ditanya, “Mbak, kok malam Jum’at le ziarah? (Mbak, kenapa malam Jum’at ziarahnya?)”, dengan sedikit bercanda Ibu tersebut menjawab, “Yo yen ra malem jum’at ra ana kancane, yo wedi (ya kalo nggak malam jum’at nggak ada temen, ya takut)”.  Ibu itu menambahkan, “Jare malem jum’at  ki para leluhur gek do bali, nakokke anak putu do genah ngaji pora, do genah ngirim wong tua, mbahne pora, ngono. (Katanya malam jumat itu para leluhur pada pulang, menanyakan anak cucu, pada ngaji tidak, pada ngerti kirim doa ke orang tua, simbahnya tidak, gitu)”. Ibu tersebut kemudian memperjelas maksud doa yang Ia utarakan sebelumnya, bahwa anak cucu sudah seharusnya “ndongakke ben do dingapura dosa-dosane (mendo’akan (leluhur) supaya diampuni dosa-dosanya)”.

Pada dasarnya, dalam Islam tidak ada hari khusus untuk melakukan ziarah kubur. Akan tetapi, ada alasan lain tentang pemilihan hari berziarah yang dikhususkan pada malam Jumat, sebagaimana disampaikan oleh Bapak Modin, “Nek wektune ki dina sak-sake, ning Kanjeng Nabi ki ngendika dina jum’at kuwi dina kang luwih mulya (Kalau waktunya itu bebas harinya, tapi Kanjeng Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wa salam bersabda bahwa hari Jum’at itu hari yang lebih mulia”.

Biasanya, para peziarah memulai kegiatan ziarah dengan membersihkan makam yang diziarahi, seperti dan mencabuti rerumputan di sekitar makam. Apabila makam sudah bersih, barulah mereka memanjatkan do’a dengan cara berjongkok, duduk diatas dingklik yang tersedia di makam, atau duduk dengan alas seadanya. Para peziarah lebih sering membaca Surat Yasin dan Tahlil. Namun, apabila tidak mampu membaca salah satu atau keduanya, “Ndonga cara Jawa yo rapopo (Berdo’a dengan bahasa Jawa juga tidak apa)”, kata pak Modin Sujadi menambahkan.

Ziarah kubur bagi warga Ngargogondo tidak terbatas hanya ziarah pekanan saja. Masyarakat juga melakukan tradisi ziarah di waktu-waktu lain, seperti ziarah tahunan misalnya ketika bulan Ruwah (Sya’ban) atau bertepatan dengan acara nyadran, menjelang puasa, menjelang Idul Fitri, dan menjelang acara haul atau mengirim do’a bagi leluhur. Bahkan, ketika menjelang Idul Fitri, ada tradisi khusus yang sering juga disebut nyekar. Nyekar adalah ritual ziarah kubur dengan membawa bunga telasih, dan terkadang ditambah dengan sepaket bunga yang disebut dengan kembang setaman. Kembang setaman adalah paket bunga berbungkus daun pisang berisikan bunga melati, mawar merah dan mawar putih, kanthil, dan kenanga. Bunga-bunga itu mereka dapatkan dengan mudah di pasar Borobudur ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tradisi nyekar dilaksanakan dua hari sebelum hari raya hingga hari pertama Idul Fitri.

Bagi warga Desa Ngargogondo, ritual ziarah kubur adalah bagian dari tradisi masyarakat dan bagian dari kearifan budaya lokal yang akan terus dilestarikan.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Mbah Sujadi, 64 tahun, sesepuh desa, Modin dusun Parakan Desa Ngargogondo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...