(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)
Narasi
Berawal dari Ibunya yang seorang ahli memijat, Bapak Saeroji kemudian terlecut semangatnya untuk memiliki kemampuan tertentu. Bapak Saeroji belajar tentang ilmu petung jawa sejak usia 20-an tahun sebelum beliau menikah. Sosok yang sudah berusia 71 tahun ini dahulu ngangsu kawruh (belajar) kepada Alm. Eyang Gati Prana, seorang sesepuh dan abdi dalem Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Keraton Yogyakarta. Untuk mempelajari ilmu petung, Pak Saeroji mengatakan tidak perlu resep khusus untuk belajar, “Sing penting nyanthel atine, lantip utekke (Yang penting membekas dihati dan cerdas otaknya)”.
Ilmu Petung Jawa adalah ilmu perhitungan tentang pasaran, hari, bulan dan lainnya. Perhitungan tersebut meliputi baik buruknya pasaran, hari, bulan, dan lain sebagainya. Ilmu ini sering digunakan orang Jawa untuk menentukan hari baik setiap ada hajat yang ingin dilakukan, seperti hendak mendirikan bangunan rumah, dapur, maupun acara pernikahan. Ilmu petung sangat erat sekali hubungannya dengan Pranata Mangsa dalam sistem penanggalan Jawa/Almanak. Pranata Mangsa sendiri adalah aturan musim yang biasa dijalankan oleh para petani di setiap daerah dalam kebudayaan Jawa.
Selama belajar tentang ilmu petung, agar bisa lekas mahir Pak Saeroji sering melakukan laku yang beliau sebut dengan Satus. Laku Satus adalah kependekan dari di-Sat (dikosongkan) dan di-Tus (dikeringkan) hati dan ususnya. Dalam laku ini beliau puasa patigeni 3 hari tidak makan dan tidak minum yang diselingi dengan puasa mutih (puasa yang hanya makan nasi putih dan air putih disetiap sahur dan berbuka).
Butuh tekad kuat, perjuangan disertai kesabaran dan biaya yang tidak sedikit supaya Pak Saeroji bisa dan ahli dalam ilmu petung jawa ini. Beliau rela menempuh jalan yang cukup jauh dan berliku dengan mengayuh sepeda ontelnya sampai Candi Borobudur kemudian naik bus sampai Muntilan dan berganti jurusan ke Jogja (Yogyakarta). Sesampainya di Jogja (dulu beliau biasa turun di sekitar Kuncen atau Bugisan), perjalanan dilanjutkan dengan becak/andong hingga ke kediaman Eyang Gati Prana. Beliau sowan (datang bertamu) ke Jogja setiap 35 hari, tidak jarang 2 minggu sekali. Setiap kali Eyang akan memberikan ilmu, Beliau akan koling (berasal dari call/calling yang artinya memanggil) Pak Saeroji terebih dahulu. Pernah suatu waktu Pak Saeroji lupa untuk sowan. Pak Saeroji kemudian ditelepon oleh Eyang ketika mulai terlelap saat sedang bersantai. Merasa mak gregah (kaget dan segera bergegas), hari berikutnya Beliau langsung sowan ke kediaman Eyang.
Dalam perjalanan laku hidup, sebagai orang yang cukup ahli dalam ilmu petung, Pak Saeroji sering dimintai pertolongan ketika orang mempunyai hajat. Namun sesuai wasiat dari Eyang Gati Prana, beliau dan para murid yang lain dilarang untuk menerima imbalan yang berbentuk uang. Meski demikian, menurut Beliau banyak juga teman-teman lain yang melanggar nasehat dari Eyang, meskipun sebelumnya Eyang juga berpesan bahwa beliau berlepas diri jika para muridnya melanggar nasihatnya.
Pesan lain dari Eyang Gati Prana adalah supaya jangan lupa akan ibadah dan memperbanyak berdzikir. Dalam menjalani kehidupan Pak Saeroji juga berpegang pada 3 kunci yaitu bait al makmur (mencari kemakmuran), bait al muharram (mencari ridha illahi) dan bait al muhaddats (menjauhi hawa nafsu). Ketiganya senantiasa Beliau pakai dan terapkan dalam kehidupan, agar tercapai ketentraman lahir dan batin.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Bapak Saerojo, 71 tahun, sesepuh desa, Dusun Malangan Desa Ngargogondo