(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)

Narasi

Menurut penuturan Bapak Sujadi dan Bapak Badar, perayaan tanggal 1 bulan Suro di Desa Ngargogondo dilakukan secara terpisah/sendiri-sendiri. Secara tradisi, tidak ada kegiatan bersama yang melibatkan warga masyarakat se-desa. Kegiatan yang diadakan bersama dilakukan pada tanggal 10 Suro, yaitu santunan yatim piatu di Balai Desa Ngargogondo. Pola ini juga berlaku pada tingkat pranata yang lebih kecil, yaitu dusun. Sebagaimana pada desa, perayaan Bulan Suro di tingkat dusun juga terdiri atas penggelaran doa bersama dan santunan terhadap anak yatim.

Secara tradisi, kegiatan untuk mengisi tanggal 1 Suro di masing-masing dusun di Desa Ngargogono adalah memanjatan doa bersama kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diawali dengan ziarah kubur secara pribadi masing-masing warga. Kemudian, pada  ba’da ashar dilaksanakan doa akhir tahun berjamaah di tempat-tempat ibadah seperti masjid dan mushola.  Setelah itu, kegiatan dilanjutkan ba’da Maghrib dengan berdoa awal tahun. Pemanjatan do’a dilaksanakan sehabis ashar dan setelah maghrib karena pergantian hari dalam kalender Jawa dimulai pada saat matahari terbenam.

Hal yang sama juga beraku di Dusun Parakan. Tidak ada kegiatan komunal pada malam 1 Suro. Apabila ada warga yang melakukan kegiatan, misalnya kegiatan tirakatan, ziarah ke makam leluhur, jamasan pusaka atau yang lainnya, dilakukan secara pribadi. Menurut 2 narasumber ini, kegiatan di dusun Parakan pada Bulan Suro biasanya diadakan pada malam tanggal 10 Suro yaitu:

Mujahadah

Berdoa bersama (Mujadahan), Sedekahan, dan kepungan (makan bersama)

Do’a bersama (Mujadahan) yang dilakukan pada malam 10 Suro terinspirasi dari cerita kenabian. Salah satunya adalah cerita dari peristiwa banjir besar pada zaman Nabi Nuh. Saat itu, yang tersisa di dunia setelah banjir surut hanya beberapa pasang makhluk, baik dari golongan manusia, binatang, dan lainnya. Pada saat itu, bertepatan dengan tanggal 10 Suro, mereka berkumpul membawa berbagai macam makanan kemudian mengadakan selamatan (Doa bersama).

Kegiatan Berdoa Bersama di Dusun Parakan dilaksanakan dengan kepungan sajian nasi kluban, yaitu nasi putih yang diletakkan dalam wadah panci atau tampah dengan taburan berbagai macam sayuran yang direbus terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan kukusan parutan kelapa muda yang telah dicampur dengan bumbu uleg cabe, bawang putih, gula jawa, daun jeruk beserta kencur yang dibuat sore hari menjelang acara. Selain kepungan nasi kuluban, disajikan pula jenang abang putih. Jenang putih terbuat dari olahan beras yang dicampur dengan santan kelapa tua serta dibumbui garam dan daun salam yang dimasak hingga menjadi bubur/jenang putih. Adapun jenang abang adalah jenang putih dengan tambahan gula jawa. Penyajian jenang abang putih seringnya diletakkan bertumpuk atau berdampingan dalam satu piring.

Secara simbolis, sajian nasi kluban adalah simbol dari keselamatan, kebersamaan, dan kesederhanaan. Adapun jenang abang putih bermakna sebagai tolak bala untuk menghindarkan manusia dari keburukan. Harapan dari sajian tersebut adalah agar di tahun yang baru diberikan keselamatan dan terhindar dari segala macam keburukan.

Acara do’a bersama dilaksanakan sehabis sholat Isya, dan masyarakat duduk berkeliling di serambi masjid. Kegiatan tersebut diawali dengan pembukaan dan sambutan dari Kepala Dusun, dilanjutkan dengan tahlilan dan pemanjatan do’a bersama yang dipimpin oleh Bapak Kaum/Modin (pemuka agama Islam), lalu diakhiri dengan kepungan atau makan bersama.

Santunan Yatim

Pada siang harinya, tepat pada tanggal 10 Suro diadakan kegiatan sosial, yaitu santunan  terhadap anak yatim, baik secara pribadi maupun secara komunal bersama dusun lainnya di Balai Desa Ngargogondo.

 

Gambar

Narasumber

  • Mbah Sujadi, 63 tahun, pelaku budaya, modin, Dusun Parakan Desa Ngargogondo
  • Mbah Badar, 71 tahun, pelaku budaya, Dusun Malangan Desa Ngargogondo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...