Tokoh Cikal Bakal Bigaran; Eyang Suro Duto, Mbah Gombloh, dan Kyai Garan

(Narasi oleh Zulfikar Maulana dan Ahmad Saeful)

Narasi

Malam itu kurang lebih jam 20:00, kami datang ke rumah Pak Musyafak, seorang berusia 35 tahun dari Dusun Sumberjo, Alhamdulillah beliau berada di rumah sehingga kami bisa sowan dolan dan duduk bercengkrama

“Kulonuwun gus“ cara memanggil beliau secara umum yang dilakukan oleh anak muda sepantarannya ”sugeng ndalu kulo bade sowan kalian ajeng bade tangklet sejarah Dusun Sumberjo mriki angsal to??”

“Hanggih angsal mas monggo , nyante mawon to teko koyo biasane niko dolan ngobrol, nyante mawon to.” Saut Pak Safak sembari senyum mengiyakan maksud kedatangan kami.

Langsung saja kami bertanya siapa, mengapa, apa kehebatan salah satu cikal bakal Desa Bigaran yaitu Eyang Suro Duto. Beliau pun mulai bercerita

Eyang Suro Duto

Beliau adalah seorang Senopati Aloko ,keturunan dari Sri Sultan Hamengku Buwono II, utusan dari Kerajaan Kartosuro bersama dengan dua sahabatnya yakni Singo Dipo dan Mbah Gombloh untuk menyiasati Belanda dalam upaya mempertahankan Tanah Jawa dan untuk mengasuh Pangeran Diponegoro. Mereka bertiga mempunyai perbedaan karakateristik terkait ilmu, kekuatan dan tugas.

“Seko siji yo Gus le nyeritake seko mbah  Suro Duto sik.” Saut saya memotong beliau bercerita.

“O yooohh.” jawab Pak Safak

Nama asli beliau Suro Duto, Suro artinya wani (berani), Duto artinya utus (utusan) secara komplit berarti wani diutus .Namun saat kedatangan beliau, beliau menyamar menjadi pedagang manuk (burung) dan juga mengganti nama Suro Manuk, hal ini dilakukan dalam rangka siasat menyusun peperangan melawan Tentara Belanda. Karena nama beliau yang sudah di ketahui akhirnya beliau berganti nama Suro Manuk untuk menghilangkan jejak dari kejaran tentara Belanda.

Eyang Suro Duto yang memiliki keahlian mengajarkan ilmu agama bertugas mengajarkan ilmu tersebut kepada Pangeran Diponegoro serta masyarakat setempat. Juga jika akan terjadi peperangan Eyang Suro Duto melakukan amalan-amalan khusus seperti puasa dan doa tertentu kepada sang pencipta agar yang didapat lewat usaha terkabulkan, dan beliau juga melakukan ritual tergantung tujuan apa yang hendak diharapkan .

Bayat

Di komplek makam Eyang Suro Duto terdapat makam putra-putranya juga terdapat “bayat” atau teman prajurit yang ikut diistirahatkan disana. Saat Eyang Suro Duto datang ke Bigaran beliau sudah memiliki istri dan dikarunai tiga orang putra, yakni Suro Kromo, Suro Setiko dan Suro Sentono.

Mbah Suro Duto tidak meninggalkan benda pusaka sama sekali. Cuma terdapat tongkat (teken) yang dulunya dimiliki oleh salah seorang putranya yaitu Suro Dikromo yang masih ada. Benda tersebut jika pada malam tertentu selalu mengeluarkan bunyi-bunyi yang sangat mengganggu ketentraman seperti  bunyi glodag-glodag kayu yang bergoyang tidak aturan. Menurut Pak Musyafak mengapa benda pusaka tidak diwariskan karena memang kekuatan yang luar biasa belum tentu pewaris dapat merumatnya. Merumat yang artinya menjaga dan memelihara benda pusaka tersebut.

Tempat tinggal Eyang Suro Duto dulunya diperkirakan berada di tempat yang saat ini ditinggali oleh Pak Musafak, karena rumah tersebut merupakan pemberian turun temurun dari nenek moyang.

Karomah

Beliau juga menceritakan kisah atau karomah makam Eyang Suro Duto, namun tidak sembarangan orang biasa memahami karomah tersebut. Karomah tersebut adalah sebuah simbol. Simbol tersebut akan terlihat tergantung niat dan tujuan peziarah, yang dapat melihat simbol tersebut adalah pengantar dan peziarah. Jika pengantar dan peziarah sama-sama melihat simbul tersebut maka sudah jelas simbul tersebut adalah karomah. Contoh waktu itu ada peziarah, peziarah tersebut berkeluh kesah dan meminta diantarkan ke makam oleh Pak Musyafak dengan alasan ingin mencari atau memastikan keadaan saudaranya yang mengalami kecelakaan kapal tenggelam di laut Mandalika, berangkatlah berziarah, saat berziarah ikatan batin keduanya dapat melihat sebuah petunjuk atau simbol. Simbol tersebut bergambar simbol pusaran air besar yang berarti saudaranya memang sudah hilang tenggelam ditelan laut.

Eyang Singo Dipo

Singo Dipo yang memiliki keahlian strategi perang dan ilmu kanuragan bertugas untuk melatih Pangeran Diponegoro beserta prajuritnya. Beliaulah yang berjasa dalam hal peperangan seperti memutuskan kapan harus menyerang kapan harus berlindung dalam peperangan.

Makam Singo Dipo juga terletak di komplek makam Eyang Suro Duto, terletak di paling ujung utara di antara makam putra-putra Eyang Suro Duto, menurut cerita makam beliau meminta harus berdampingan dengan Eyang Suro Duto karena beliau sangat mengabdi atau bangga dengan Eyang Suro Duto karena itulah beliau yang bukan saudara Eyang Suro Duto makam beliau tetap berada di komplek pendopo makam Eyang Suro Duto.

Singo Dipo memiliki keturunan di dusun tersebut yang sampai terkenal sebagai keluarga yang tegas terhadap peraturan .

Simbah Gombloh

Mbah Gombloh menurut cerita Pak Syafak beliau adalah seorang milyader. Nama Gombloh merupakan nama samaran, nama asli beliau tidak dapat dibeberkan sampai sekarang. Beliau yang merupakan seorang miliarder bertugas untuk membantu finansial atau kebutuhan saat berperang . Jadi semua kebutuhan Eyang Suro Duto, Singo Dipo dan bala tentara serta penduduk beliaulah yang membantu untuk bertahan hidup. Beliau tidak memiliki keturunan di daerah tersebut dikarenakan beliau tidak memiliki istri. Tempat di semayamkan beliau pun hanya ada tiga makam. Satu Gedong besar yang hanya ada makam Mbah Gombloh sendiri dan di kanan gedong jarak 10m ada cungkup kecil berisi dua makam yang belum saya ketahui. Area makan beliau terletak jauh dari makam Eyang Suro Duto namun masih di satu Dusun Sumberjo.

Khoul Simbah Suro Duto

Ada cerita menarik tentang makam Mbah Gombloh. Dahulu makam Mbah Gombloh tidaklah terawat. Terkubur pohon ilalang lebat, pohon bambu yang rungkut dan lain sebagainya hingga makam tidak terlihat atau terdeteksi bahwa di tempat tersebut ada makam beliau. Hingga pada tahun 2000an masyarakat mengadakan acara Khoul Simbah Suro Duto  dan mengundang tokoh agama yaitu Mbah Mat dari Ponpes Watucongol, Gunungpring, Muntilan. Jaman dahulu jalan untuk menuju Dusun Sumberjo hanyalah jalan setapak yang melewati lereng gunung,  Mbah Mat pun juga harus jalan kaki untuk sampai di tempat kegiatan, namun saat melewati suatu area yang rungkut tiba-tiba Mbah Mat mengucapkan “Nggeng kono kui resikono, rumaten,  kono kui ono makam e wali.”

“Oalah Gih Mbah, benjang kulo rumate”. Mbah Langgeng mengiyakan keinginan Mbah Mat. Mbah Langgeng adalah tokoh masyarakat Dusun Sumberjo yang menjabat sebagai Dukuh Pada Tahun 2000an dan juga ayah dari Pak Syafak tersebut.

Namun Mbah Langgeng hanya mengatakan tadi sampai beberapa tahun. Hingga saat sudah purna menjabat mbah Langgeng baru ingat wejangan dari Mbah Mat tadi, akhirnya Mbah Langgeng pun menyampaikan dan mengerahkan masyarakat untuk membersihkan area tersebut kemudian werlihatlah watu tengeran (tanda) yang dipercaya sebagai makam Mbah Gombloh.

Simbah Garan

Simbah Garan, beliau adalah cikal bakal atau penghuni asli tanah Dusun Bigaran, ada beberapa versi cerita mengenai beliau.

Jadi saat Eyang Suro Duto datang ke bumi Bigaran sudah ada Beliau (Mbah Garan) yang merupakan asli penghuni tanah tersebut. Beliau tidak memiliki keturunan dikarenakan tidak memiliki istri. Pada waktu jaman dulu saat Eyang Suro datang ke bumi Bigaran, Mbah Garan mempunyai pesan khusus kepada Eyang Suroduto. Kurang lebih isinya:

Tanah lan isine iki nggonen, nanging aku njaluk tanah iki openono” Yang artinya tanah dan isinya ini boleh di tempati, tapi beliau “ Mbah Garan” meminta tanah bumi tersebut untuk di pelihara.

Pesan ini diberikan kepada Eyang Suroduto dikarenakan simbah Garan sadar tidak mempunyai keturunan.

Area makam Kyai Garan terletak 300m di selatan makam Eyang Suro Duto di sisi tebing lain.

Gambar

Lokasi

Bigaran, Magelang, Central Java, 56451, Indonesia

Narasumber

  • Pak Musyafak, 35 tahun, pemerhati sejarah dan budaya, Desa Bigaran

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

 

{judul}

  1. Alhamdulillah Mas Syafaq, kulo sedherek saking Geger, Magelang. Trah Mbah Surosetiko.
    Sugêng sae,mugi sagêd kempal mênawi kulo wangsul Magelang.
    Al Fatihah damêl Mbah Suroduto, Mbah Singodipo, Mbah Gombloh,Mbah Langgeng..

    Matur suwun.

Ulasan...