(Narasi oleh Mustofa dan Zam Zamil Huda)

Narasi

Untuk mengetahui informasi mengenai tradisi upacara kematian ini saya mengunjungi Bapak Ahmadi yang merupakan imamudin atau kaum di Dusun Parakan. Bapak Ahmadi beralamatkan di dusun Parakan RT 004 RW 004 dan berusia 66 tahun.

Menurut Bapak Ahmadi, prosesi upacara kematian di Desa Giripurno pada umumnya menggunakan cara dengan syariat agama Islam. Upacara tersebut semestinya dipimpin oleh seorang imamudin atau kaum, meski pada waktu-waktu tertentu jika imamudin tidak dapat memimpin maka akan diserahkan kepada orang yang mampu. Prosesi perawatan atau upacara dalam kematian ini termasuk dalam fardlu kifayah, dimana jika tidak ada yang melaksanakan perawatan maka seluruh penduduk kampung akan mendapatkan dosa. Kewajiban warga masyarakat dengan dipimpin oleh imamudin adalah memandikan, mengkafani, mensholatkan, dan menguburkan.

Pada waktu mulai menggali kubur, ada prosesi yang dinamakan bedah bumi. Biasanya dilakukan oleh orang tertentu dengan membaca doa tertentu dan kemudian saat usai juga dilakukan prosesi penutupan juga dengan doa tertentu. Lantas jika pada saat menggali kubur tersebut menemukan tulang-tulang manusia, penggali kubur tidak diperbolehkan untuk mempermainkan tulang-tulang tersebut. Sebab, memainkan tulang orang yang telah meninggal sama saja dengan mempermainkan tulang manusia yang masih hidup.

Pada waktu pemberangkatan jenazah ke kuburan, keranda jenazah tersebut akan dikalungi bunga-bunga yang telah dirangkai. Bunga-bunga tersebut merupakan sebuah perlambang jika bau surga tersebut berbau harum. Perlambang bunga tersebut juga sama dengan bunga-bunga yang di tabur di pemakaman. Saat upacara pemberangkatan Janazah, keluarga orang yang telah meninggal akan nlusup berjalan di bawah keranda janazah sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagai pertanda penghormatan bagi orang yang telah meninggal. Selain itu juga sebagai pertanda perpisahan untuk selama-lamanya.

Setelah janazah selesai dikubur dan seluruh orang telah kembali ke rumah, maka diadakan wilujengan atau selamatan di rumah duka yang dikenal dengan istilah tumpeng pungkur. Pak Ahmadi menjelaskan jika tumpeng pungkur tersebut berisi doa selamat agar semua selamat baik yang dikubur, mengubur, maupun, semua orang yang membantu pekerjaan di sana. Tumpeng pungkur sendiri berupa selamatan seperti pada umumnya. Selain itu, wilujengan tersebut juga menjadi tulak balak sawan mayat.

Selepas upacara penguburan kemudian diadakan tahlilan atau doa bersama dalam jarak waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk mendoakan dan menambah amal orang yang telah meninggal. Tahlilan tersebut yakni nelung dino atau tiga hari, mitung dino atau tujuh hari, matang puluh atau empat puluh hari, nyatus atau seratus hari, mendak pisan atau satu tahun, mendak pindo atau dua tahun, meling atau nyewu atau seribu hari, dan khol atau setelah 3 tahun. Acara tahlilan tersebut berupa wilujengan atau selamatan dengan doa-doa untuk mendoakan orang yang telah meninggal.

 

Gambar

 

Narasumber

  • Bapak Ahmadi, 66 tahun, Dusun Parakan RT 02/RW 04, Desa Giripurno

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...