(oleh Mifti Anjani dan Erwanudin)

Narasi

Masyarakat Jawa pada umumnya, dan masyarakat Desa Kenalan pada khususnya masih mempercayai adanya perhitungan hari baik dan buruk, begitu pula Pak Tarno, beliau adalah salah satu ketua RT di Desa Kenalan, yang sekarang berusia sekitar 50 an tahun. Selama kurang lebih 8 bulan terakhir Pak Tarno sedang mengidap penyakit radang sendi yang lumayan berat. Syukurlah pada hari kami datang kerumahnya, beliau sudi menerima kedatangan kami dengan terbuka.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore, disuguhkannya kepada kami beberapa buah Gedang Gintung, yang Ia panen dari kebun rumahnya.

“piye, meh butuh opo karo wong seng koyo ngene iki” tanyanya kemudian menceritakan sedikit tentang kondisi kesehatannya yang saat ini semakin membaik.

“niki Pak Tarno, meh nyuwun ular-ular tantang kabudayaan wonten desa Kenalan” jawabku.

“walah njuk difoto barang kui?”

“lha nggeh, damel dokumentasi, mboten nopo-nopo to?”

“ah yo kono, neg le ngrekam ngko sek ajar sek yo!!hehehe” guraunya lebih lanjut.

Dan mulai lah Pak Tarno sedikit demi sedikit, sepenggal demi sepenggal bercerita kepadaku. Wes mesti nganggo bahasa Jawa lho, jangan ditanya beliau menggunakan bahasa apa.

“Nek kanggone wong kene iki sak ora-orane ne ono seng jenenge nas dino” Hari nas, hari yang dianggap keramat oleh masing-masing orang yang didasari karena pada hari tersebut, salah seorang dari keluarganya meninggal, bisa jadi ayah, ibu, kakek, nenek, atau sanak saudara. Pada hari nas ini, orang akan sangat berhati-hati, tidak akan menggunakan hari tersebut untuk memulai hal-hal baik. Bukan berarti pada hari tersebut akan terjadi malapetaka, tetapi lebih pada rasa menghormati, atau mengenang orang yang meninggal pada hari tersebut. Walaupun dalam beberapa kasus, misalnya digunakan untuk menanam jagung, eh jagung yang ditanam tidak membuahkan hasil.

“Seng keloro, dino sangaran tahun”. Hari sangaran tahun, merupakan hari dimana, pada kalender jawa atau Islam adalah hari pertama, misal pada tahun ini tanggal 1 muharam jatuh pada hari selasa pon. Nah maka selama setahun kedepan selasa pon akan dikenal sebagai hari sangaran tahun. Menurut pemaparan beliau, sebenarnya hari tersebut adalah hari yang mulia, hari yang istimewa. Akan tetapi karena saking istimewanya hari tersebut, orang-orang kecil seperti kita ini tidak akan mampu menghadapi keistimewaan hari sanggaran tahun “ibarate dewe kui mung uwong seng mbendino turu gasik, kok arep ngrasakke koyo seng dirasake wong turu nganti esok” dalam artian orang yang banyak prihatinya.

“sak lebare kui, ono neh seng jenenge dino gothong, dino seng itungane dino sak uwise ro dino sak durunge itungane podo” diho gothong menurut Pak Tarno bukan hari yang sakral seperti jenis-jenis sebelumnya. Gothong yang artinya kosong, berarti pada hari tersebut adalah hari yang tidak ada apa-apanya. Walaupun tidak ada kesakralan atau keburukan pada hari tersebut tidak memiliki kemanfaatan.

Terakhir pesan beliau adalah kurang lebih seperti ini “bejo-bejone wong kang lali, luweh bejo wong kang nduwe pengiling-iling lan waspodo” jadi apa-apa yang sudah dijelaskan beliau di depan bisa digunakan untuk dijadikan pengiling-iling bagi kami kaum muda agar dalam bertindak selalu ada pertimbangan, tidak hanya waton, pungkas beliau pada kesempatan sore itu.

Gambar

Narasumber

  • Pak, Tarno, salah satu Ketua RT di desa Kenalan

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...