Dolanan Layangan Sendaren
(Narasi oleh Salma Salsabila R. dan M. Shodek)
Narasi
Hampir setiap sore anak-anak di Desa Majaksingi menerbangkan layangan di lapangan desa, kecuali saat cuaca hujan atau sedang tidak ada angin. Salah satunya anak yang biasa memainkan layangan yaitu Bagus (12 tahun) dan Fahri (5 tahun). “Kok ora lek diulukke, Gus?” (kok tidak diterbangkan Gus?) tanya saya kepada Bagus yang memegangi layangan dan gulungan tali. “Sik mas, angine rung gede” (Bentar mas, anginnya belum besar) jawab Bagus.
Layangan Sendaren
Seperti yang diketahui, permainan layang-layang masih banyak dijumpai di berbagai daerah, terutama daerah pedesaan. Salah satunya adalah yang ada di Desa Majaksingi. Sebenarnya, ada banyak jenis layangan yang bisa kita jumpai. Tapi khusus layangan yang biasa dimainkan oleh anak-anak di Desa Majaksingi adalah layangan sendaren, begitulah anak-anak menyebutnya.
Tua dan muda
Tidak berselang lama Fahri datang dengan membawa layangan juga. “Layangane apik e, sopo sik gawekke ri?” (layangangnya bagus, siapa yang membuatkan ri?) tanya saya ke Fahri yang berjalan ke arah Bagus. “Digawekke masku” (dibuatkan masku) sahut Fahri. Saya kemudian duduk sambil melihat mereka yang gagal menerbangkan layangan, hingga datanglah Mas Wantok atau biasa dipanggil Mas Ambon oleh anak-anak. Beliau adalah seorang petani yang meski umurnya yang sudah tidak lagi muda masih terlihat menikmati ngulukke (menerbangkan) layangan bersama anak-anak.
Minimal 2 orang
Proses ngulukke layangan sendiri dilakukan minimal dua orang, yang mana satu orang bertugas menarik layangan, dan satu orang bertugas methekke atau memegangi layangan sambil memberi aba-aba kalau sudah ada angin. Seperti halnya yang dilakukan oleh Mas Ambon sebagai penarik layangan dan Bagus sebagai yang methekke atau memegangi layangan. “Gus, kui jenenge layangan opo?” (Gus, itu namanya layangan apa?) tanya saya ke Bagus. “Layangan sendaren yo iki mas, gawe dewe aku!” (layangan sendaren ya ini mas) jawab Bagus. “Ah tenane nek koe gawe dewe? Ha njuk ngerti ra kok jenengi layangan sendaren le napa?” (ah yang benar kamu bikin sendiri? lah terus tau gak kenapa dinamai sendaren itu kenapa) lanjut tanya ke Bagus. “Tenan lah mas, ra ngerti nek kui” (beneran mas, kalau itu gak tau) Bagus menjawab sambil tersenyum.
Berbunyi
Bentuk dari layangan sendaren sekilas mirip pesawat terbang. Dimana ada sayap, kepala, dan ekor. Biasanya pada bagian ekor bisa dibuat bermacam-macam bentuk, tergantung pembuatnya. Seperti bentuk bulan (setengah lingkaran) maupun montholan (seperti kendi). Dinamakan layangan sendaren sendiri sebenarnya karena adanya bagian layangan yang bisa berbunyi. Bagian bentuk busur yang dipasangkan di kepala layangan ini yang disebut sendaren. Terdapat pita atau zaman dulu dari tali kandi. Pita atau tali kandi tersebut yang menghasilkan bunyi ngereng “ngeeeenggggg” begitulah bunyinya.
Bambu kering
“Layangan sik apik, sik koyo ngopo Mbon?” (layangan yang bagus itu seperti apa Mbon) tanya saya ke Mas Ambon. “Hayo layangan sik iso muluk” (ya layang yang bisa terbang) jawab Mas Ambon sambil tertawa bahagia. Sebenarnya jawaban dari Mas Ambon ada betulnya, layangan yang bagus adalah layangan yang bisa terbang. Percuma kalau tidak bisa terbang, toh fungsi layangan untuk diterbangkan. “Sik tenan wae Mbon” (yang bener aja Mbon) saya menegaskan pertanyaan. “Nek aku layangan sik apik kui mulukke sik rongeh, sendarene le muni ngereng. Gawene nggo pring sik garing, ojo teles. Raiso muluk mengko” (kalau aku layangan yang bagus itu kalau terbang lincah, sendarennya berbunyi, buatnya menggunakan bambung yang kering jangan basah nanti gak bisa terbang) jawab Mas Ambon sambil sesekali mengulur tali layangan.
Rongeh, Ngereh
Rongeh, menurut Mas Ambon adalah ketika layangan terbang tidak bisa anteng atau lincah. Sedangkan ngereng adalah adalah bunyi yang dihasilkan dari busur yang dipasang di kepala layangan. Semakin kencang angin dan semakin rongeh layangan, maka semakin keras pula bunyi ngereng tersebut. “Nek layangane ra diwei sendaren piye Mbon?” (Kalau layangannya tidak dikasih sendaren bagaimana Mbon?) lanjut saya bertanya. “Wah yo elek, sik marai gayeng ki sendarene kui eh. Rasane hambar nek layangan ora diwei sendaren” (wah ya jelek, yang bikin bagus itu sendaren, rasanya hambar kalau layangan tidak dikasih sendaren) jawab Mas Ambon.
Sudah sejak lama
Menurut Mas Ambon, sejak kapan mulai ada layangan di Desa Majaksingi tidak ada yang tahu. Setahu beliau, dahulu orang tuanya membuat dan menerbangkan layangan bersama. Dari situlah Mas Ambon mempraktekkan membuat layangan sendiri. Hingga sekarang banyak anak kecil selain Bagus yang bisa membuat layangan sendaren sendiri. Seperti dengan berbekal melihat orang dewasa membuat layangan, anak-anak kemudian melihat dan mempraktikan sendiri. “Seneng nek ndelok cah-cah cilek do iso gawe, iso dolanan layangan kongono kui. Ora mung dolanan hp terus!” (suka kalau melihat anak-anak kecil pada bisa bikin, bisa bermain layangan tidak hanya bermain HP saja) celetukan Mas Ambon sembari menggulung tali, menurunkan layangan karena waktu sudah beranjak petang.
Gambar
Narasumber
- Bagus, 15 tahun, Anak Desa Majaksingi
- Fahri, 5 tahun, Anak Desa Majaksingi
- Mas Ambon, Desa Majaksingi