(Narasi oleh Rangga Tsalisul A. dan Loh Sari Larasati)

Narasi

Perjalanan berawal dari ngobrol bersama Bu Titik, seorang karyawan yang memelihara dan menjaga museum. Dimulai dengan latar belakang almarhum Bapak Boedihardjo yang dikenal sebagai pemerhati budaya jawa terutama wayang. Kecintaanya yang begitu besar terhadap wayang tidak lepas dari masa kecil Bapak H. Boediardjo, beliau lahir dan besar dari keluarga dalang. Berkat ketekunan, kesetiaan, dan ketelatenan semasa hidupnya, beliau menunjukan bahwa seni pewayangan merupakan seni yang agung, indah dan kaya akan makna. Bukan impian, angan-angan dan dongeng turun-temurun yang dikenal orang selama ini. Sebagai upaya meneruskan cita-cita leluhurnya, keluarga besar H. Boedihardjo bermaksud mensosialkan dan mengabdikan warisan koleksi wayang dan buku untuk disimpan dalam Museum Wayang dan Perpustakaan H. Boediardjo di Sasana Guna Rasa.

Bpk. H. Boediardjo

Ide ini bermula dari hajatan kecil di tahun 1992. Saat Bapak H. Boediardjo memamerkan koleksi wayang, buku, transkrip naskah ringgit purwo, mikrofilm, kaset tape recroder, kaset video, foto-foto, souvenir. Warisan yang bernilai ini diperoleh dari pemberian beberapa kolega dan sesama pecinta wayang dari seluruh Nusantara maupun mancanegara seperti negara Cina, Jepang, Kamboja, dan Turki. Atas prakarsa Ibu Hj. Sri Redjeki Boediardjo dibangunlah museum yang memadai, sebagai cinta kasih beliau kepada almarhum.

“Peresmian Museum Wayang dan Perpustakaan H. Boediardjo di Sasana Guna Rasa dilakukan pada tanggal 10 November 2001”, tutur Ibu Titik dalam ceritanya yang sangat menarik.

Terlihat dari samping Bu Titik terdapat sebuah wayang yang sangat tinggi dan besar, berbentuk seperti cinta yang terbalik, tersandar dalam dinding dan tertancap kuat di belahan kayu berbentuk bulat.

“Itu Gunungan atau biasa di sebut Kayon Mas,” jawab Mbak Titik.

“Mbak Titik, gunungan itu fungsinya untuk apa ya?”, sahut saya menanyakan.

“Ya digunakan untuk wayangan, kalau yang lainnya nanti buka aja di wikipedia”, jawabnya sambil tertawa.

Dengan polosnya saya langsung membuka wikipedia. Namun sebelum sempat membuka google, tiba Mbak Titik langsung menyahut.

Kayon

“Jadi gini Mas Rangga, Kayon itu digunakan sebagai pembuka dan penutup suatu babak pertunjukan, tergambar dua hal pada dua sisi yang berbeda. Ada gambar pintu gerbang yang dijaga oleh dua raksasa yang memegang pedang dan perisai. Itu melambangkan pintu gerbang istana, kalau itu waktu dimainkan gunungannya dipergunakan sebagai istana,” Mbak Titik menjelaskan secara sederhana.

Pohon Kehidupan

“Di sebelah atas gunung terdapat pohon kehidupan yang dibelit oleh seekor ular naga. Beberapa gambar binatang hutan, seperti harimau, banteng, kera, dan burung itu menggambarkan keadaan di dalam hutan belantara sebagai lambang keadaan dunia beserta isinya. Pada sisi sebaliknya, gambar kobaran api menyala-nyala itu melambangkan kekacauan dan neraka. Sebelum wayang dimainkan, gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang belum dimulai, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Setelah dimainkan, Gunungan dicabut, dijajarkan di sebelah kanan,” Mbak Titik menjelaskan semakin dalam tentang Kayon atau Gunungan.

Hutan rimba

Penjelasan tidak berhenti begitu saja, namun masih berlanjut tentang gunungan yang juga dipergunakan untuk melambangkan hutan rimba, dan dimainkan pada waktu adegan rampogan, tentara yang siap siaga dengan bermacam senjata. Gunungan ini bisa berperan sebagai tanah, hutan rimba, jalanan dan sebagainya mengikuti dialog dari dalang. Setelah lakon selesai, gunungan ditancapkan lagi di tengah-tengah layar, melambangkan bahwa cerita sudah tamat.

Ajaran kebijaksanaan

“Kurang lebih begitu Mas. Jadi gunungan mengandung ajaran falsafah yang tinggi, yaitu ajaran mengenai kebijaksanaan. Semua itu mengandung makna bahwa lakon dalam wayang berisikan pelajaran yang tinggi nilainya, bukan cuma sebuah gambar yang seperti kita lihat.

Oiya, Sementara gitu dulu ya, saya ndak nggak kerja kerja nanti. Lain waktu disambung, tak ceritani lagi hehe,” ucap Bu Titik sambil tertawa kecil.

“Woo, ngapunten Mbak mengganggu waktunya. Oiya, di pondok ada pagelaran wayang mboten nggih?” tanya saya.

“Ada Mas, besok malam, kesini ya.”

Lakonnya apa, Mbak?”

“Datang aja kesini hehehe”, tutur mbk titik mengakhiri obrolan sore hari ini.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Titik Sri Kurnia, 52 tahun, Dusun Jonalan, desa Wanurejo,

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...