(Narasi oleh Mustofa dan Zam Zamil Huda)
Narasi
Soko Masjid Demak
Sunan Kalijaga atau Raden Sahid merupakan seorang tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang hidup pada abad ke-15. Dalam salah satu kisahnya, Sunan Kalijaga mendapat tugas untuk mencari dan menyediakan salah satu tiang atau soko Masjid Agung Demak. Kisah perjalanan Sunan Kalijogo tersebut melewati dan menyinggahi Desa Giripurno. Kisah tersebut hingga kini diceritakan secara turun-temurun dari mulut ke mulut. Tokoh-tokoh Desa yang bercerita mengenai kisah tersebut adalah diantaranya adalah Bapak Sudarto (69 tahun) dari Dusun Gayam, Desa Giripurno.
Sedengan
Perjalanan Sunan Kalijogo memasuki wilayah Desa Giripurno melalui arah timur laut, yakni Dusun Sedengen, Desa Ngadiharjo. Di salah satu tempat di dusun tersebut, Sunan Kalijogo menyempatkan diri untuk singgah, kemudian meminta untuk diambilkan kelapa muda. Setelah selesai menikmati air kelapa muda, beliau kemudian mengungkapkan jika rasanya “sedengan”. Kata sedengan tersebut kemudian menjadi nama dusun tersebut hingga sekarang. Selanjutnya Sunan Kalijogo menuju ke arah barat dengan membuka jalan dari hutan belantara. Tempat tersebut kemudian dinamakan Trukan yang berasal dari bahasa Arab “turuk” atau membuka.
Pinarak ‘Parakan’
Di tempat yang saat ini benama Dusun Parakan, Sunan Kalijaga kembali bersinggah di sebuah tempat. Kemudian beliau menyisir rambut dan memotong kumis. Di tempat itu konon benda-benda yang digunakan oleh Sunan Kalijogo ditinggalkan, namun saat ini benda-benda tersebut telah bersifat ghoib. Dalam bahasa jawa, singgah dibahasakan dengan istilah “pinarak”. Istilah tersebut kemudian digunakan untuk menamai wilayah tersebut dan saat ini menjadi Parakan. Tempat persinggahan Sunan Kalijogo kemudian dibuat cungkup dan lebih khusus tempat tersebut dinamakan Keramat. Hingga saat ini, setiap hari Rabu terakhir pada Bulan Sofar diadakan peringatan Rebo Wekasan oleh masyarakat Dusun Parakan.
Tuk Sebandot
Perjalanan Sunan Kalijogo berlanjut ke arah atas atau barat dan sampai di suatu tempat ketika menjelang sholat dhzuhur. Lalu beliau bermaksud mencari air untuk berwudhu namun tidak diketemukan. Lantas beliau bertayamum dan menancapkan tongkatnya di tanah kemudian melakukan sholat dhzuhur. Setelah selesai melaksanakan sholat dhzuhur, lantas beliau mencabut tongkat tersebut dari tanah dan keluar mata air yang airnya memancar seperti air kencing kambing bendot. Tempat tersebut kemudian dinamakan Sebandot hingga saat ini. Dan secara umum, wilayah tersebut dinamakan Dusun Pokoh, yang konon berasal dari kata kepokoh sebuah kata dari bahasa Jawa sisi utara yang artinya terpojok. Namun saat ini, tempat Sebandot berada di Dusun Gayam, sejak sekitar tahun 1970’an, Dusun Pokoh dimekarkan menjadi 3 dusun, yakni Pokoh, Jombor, dan Gayam. Di Tuk Sebandot, setiap 2 tahun sekali diadakan khoul pada hari Selasa Kliwon di Bulan Sofar yang dikenal dengan istilah Saparan Sebandot.
Menyipat tatal
Selepas dari Sebandot, Sunan Kalijogo kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat dan bertemu dengan seseorang yang sedang madung. Kemudian Sunan Kalijogo meminta tatal (serpihan kayu) bekas wadungan orang tersebut. Setelah diizinkan, beliau kemudian meminta orang tersebut untuk membantu menyipat tatal tersebut. Lantas kumpulan tatal tersebut menjadi balok kayu yang kini menjadi salah satu tiang Masjid Agung Demak. Tempat tersebut kemudian dinamakan Sipat dan saat ini menjadi dusun Karangsari, Desa Ngargoretno.