(Narasi oleh Andi Ahmad dan Zuhan Andri D. A.)
Narasi
Pak Hatmojo (53 tahun) adalah seorang seniman yang berasal dari Dusun Tuksongo (Seganan), RT 01 RW 06, Desa Tuksongo. Beliau menggeluti dunia seni rupa sejak tahun 1990-an. Hobi menggambar ini telah menjadi salah satu mata pencaharian hingga menjadi jalan hidup sebagai seorang pelukis setelah berhenti menjadi pedagang asongan di kawasan Candi Borobudur. Namun saat pandemi COVID-19, beliau mulai tergugah untuk meneruskan pekerjaan orang tuanya dulu sebagai perajin blangkon.
Dimulai awal tahun 2020, Pak Hatmojo belajar secara otodidak dan mendatangkan teman-teman senimannya untuk belajar membuat blangkon. Peralatan yang digunakan untuk membuat blangkon adalah jarum, gunting, mesin jahit, busa basah, dan ploncon (mal-malan blangkon). Bahan dasarnya sendiri adalah ikat kepala dan congkeng. Congkeng adalah bahan yang digunakan sebagai penguat ikat pada blangkon.
Pertama, Ikat kepala di-wiru sesuai dengan estetika. Kemudian, wiru tersebut diperkuat dan dijahit sebelum dimasukkan ke dalam ploncon. Setelah selesai, motif batik yang diinginkan disusun di ploncon tersebut. Memasuki tahap akhir, rangkaian blangkon itu di-thuthuk-thuthuk (dipukul-pukul) agar menjadi rapi dan halus, yang membutuhkan ketelitian dan kejelian. Tak jarang harus mengulangi lagi penyusunan di ploncon karena kurang rapi. Setelah tersusun dengan baik, blangkon kemudian dijahit secara keseluruhan. Saat belajar, dibutuhkan waktu berhari-hari untuk membuat satu blangkon. Namun ketika sudah ahli, rata-rata dibutuhkan waktu 3 jam untuk membuat 1 buah blangkon.
Pak Hatmojo membuka ruang kepada siapapun untuk belajar membuat blangkon. Beberapa warga masyarakat Desa Tuksongo bahkan luar Desa Tuksongo banyak yang ikut belajar membuat blangkon. Hal ini disadari sebagai bentuk kearifan masyarakat di Kawasan Borobudur bahwa blangkon merupakan identitas budaya yang mereka miliki.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Pak Hatmojo, 53 tahun, seniman, pengrajin Blangkon, Dusun Tuksongo (Seganan), Desa Tuksongo