(Narasi oleh Wahyu Nur Rahman dan Abdul Kholiq Kurniawan)

Narasi

Pada tanggal  23 Agustus 2021 di hari Senin sekitar pukul 14.30, saya bersama  mahasiswa KKN dari Universitas Negeri Yogyakarta Jurusan Pendidikan Daerah dan Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Melakukan kunjungan ke kediaman Bapak Taryo di RT 04 RW 02 Dusun Sigug. Beliau merupakan seorang pengendang dalam kesenian pitutur tersebut. Kami datang kerumah beliau untuk melakukan wawancara terkait kesenian pitutur. Sesampainya disana kami menanyakan tentang seluk beluk kesenian pitutur tersebut. Bapak Taryo memberikan sedikit penjelasan mengenai kesenian pitutur tersebut. Menurut beliau pitutur adalah sebuah tuntunan agama Islam yang menggunakan Bahasa Jawa. Kesenian tersebut membutuhkan sebuah iringan diantaranya berupa kendang, terbang, gong, kempul, kempling, kethuk, kentongan, kecrek, beri, saron, siter. Kemudian Bapak Taryo memberi tahu jika ada salah satu anggota pitutur yang memiliki catatan syair-syair pitutur tersebut yaitu Bapak H. Kasdi. Selanjutnya kami langsung menuju ke rumah Bapak H. Kasdi Namun ternyata karena kita belum membuat janji, beliau sedang tidak ada di rumah dan hanya bertemu dengan istrinya. Sambil menunggu Bapak H. Kasdi pulang kami melihat proses pembuatan tempe oleh istri Bapak H. Kasdi.

Dakwah Islam

Betapa beruntungnya kami, setelah selesai melihat proses pembuatan tempe Bapak H.Kasdi sudah pulang kerumah. Kemudian kami langsung bertanya-tanya terkait pitutur kepada Bapak H. Kasdi. Menurut beliau pitutur digunakan untuk memberikan sebuah tuntunan agama Islam. Jadi dapat dikatakan bahwa kesenian laras madya pitutur tersebut merupakan salah satu dakwah penyebaran agama Islam. Kesenian tersebut ada di Dusun Sigug sejak tahun kurang lebih 1970-an. Bapak H. Kasdi mengikuti kesenian pitutur Ketika beliau berusia 50-an. Beliau merupakan salah satu vokalis dari kesenian pitutur tersebut.

Kekerik bayi lahir

Kesenian pitutur tersebut memiliki anggota kurang lebih 25 orang, dan dulu saat masih belajar kesenian tersebut dilaksanakan setiap selapanan sekali pada malam Jumat Kliwon. Sedangkan tempat yang digunakan untuk melaksanakan kesenian tersebut adalah bergilir dari anggota pitutur tersebut. Selain bergiliran dari masing-masing anggota. Kesenian pitutur tersebut juga bisa diundang dalam acara-acara tertentu. Misalnya ketika bayi sedang melaksanakan kekerik kesenian tersebut digunakan untuk mengiringi ketika bayi sedang dikelilingkan dan dicukur rambutnya. Selain itu kesenian tersebut sudah pernah diundang ke berbagai desa, bahkan sampai ke luar desa.

Budaya Jawa dan Islam

Selain bertemu dengan Bapak H. Kasdi, kami juga melakukan wawancara dengan anggota kesenian pitutur dari Dusun Senden yaitu Bapak Yusman Sastra Pandaya. Menurut beliau pitutur tersebut ada sekitar tahun 1960-an. Kesenian tersebut dulunya belajar dari Kaliabon Borobudur. Menurut Bapak Yusman pitutur merupakan sebuah sebuah seni sholawatan pitutur, percampuran dari budaya Jawa dan agama Islam.  Pitutur tersebut istilah Jawa yang isinya berupa  yaitu sholawat.

Tembang Jawa dan Sholawat

Jadi kesenian pitutur tersebut merupakan sebuah kesenian tembang Jawa yang dipadukan dengan sholawat. Selain syair-syair sholawat  pitutur juga disusun dari sebuah tembang macapat diantaranya ada Sinom, Mijil, Kinanthi, Dhandhanggula, Gambuh, Pangkur, Megatruh, Pocung. Akan tetapi cakepan dari tembang-tembang macapat tersebut dibuat mengenai tentang ajaran-ajaran Islam. Dalam kesenian pitutur terdapat beberapa olah vokal diantaranya ada bawa, senggakan, alok, Bawa adalah sebuah awalan dalam nembang, ketika gamelan belum dibunyikan. Salah satu contoh bawa dalam kesenian pitutur ini adalah cakepan temabang pocung berikut ini:

Kang pinucung, batale sholat winuwus

sewelas perkara

siji panggawe mawarni

kaping pindho paguneman lelahanan

Kemudian ada senggakan, senggakan adalah sebuah vokal yang menyela dalam tembang atau dalam gerongan yang berbentuk rangkaian kata-kata yang memiliki makna tertentu. Contoh senggakan dalam kesenian pitutur seperti berikut ini:

 

Kang pinucung, batale sholat winuwus

sewelas perkara, siji panggawe mawarni

Glewar Glewer-

kaping pindho paguneman lelahanan

-aja mengeran loro-

kaping telu, sebab kadas kaping catur

nggepok najis basah, lima katon ngurat neki

glewar glewer-

Kaping nem e yen owah niiyate sholat

-aja mengeran loro-

 

Dari syair tersebut yang merupakan senggakan adalah kata glewar glewer dan kata aja mengeran loro. Kemudian untuk yang alok yaitu sebuah suara yang masuk dalam tembang yang dilakukan secara bersama-bersama contohnya: Haa eeee.

Dalam mengawali kesenian pitutur tersebut terdapat tembang yang isinya seperti ucapan selamat datang, tembang tersebut seperti berikut ini:

Ngaturaken sugeng rawuh

Para kakung miwah putri

Kang wonten lebeting wisma

Sadaya boten mastani

Ngaturi sekeca lenggah

Mirenga pitutur mami

Saderenge kula matur

Wonten ngarsa lenggah sami

Yen wonten lepat kawula

Nyuwun gunge pangaksami

Ngaturi sekeca lenggah

Mirenga pitutur kadis

E para sadherek kakung

Amiwah sadherek putri

Kang samya aniti priksa

Dhumateng pitutur mami

Lan sampun amriksa tembang

Sejatose emut-emut

Supaya padha mengerti

Maring kewajiban ira

Nglakoni sarengat Nabi

Anembah maring Pangeran

Andherek ing Kanjeng Gusti

Syariat Nabi

Bait pertama maknanya sebuah ucapan selamat datang untuk pria dan wanita yang berada di dalam rumah, yang semuanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Dipersilahkan duduk dengan enak sambal mendengarkan pitutur. Bait kedua berisi sebuah permintaan maaf kepada hadirin jika terdapat kesalahan. Bait ketiga artinya para saudara pria dan wanita yang sedang mendengarkan pitutur dan paham terhadap tembang tersebut. Bait keempat artinya sejatinya sebagai pengingat, agar tahu tentang kewajiban manusia yaitu menjalankan syariat Nabi. Menyembah terhadap Allah dan mengikuti ajaran Tuhan (Allah).

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Bapak Taryo, pelaku budaya, dusun Sigug desa Bumiharjo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...