(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)

Narasi

Kesenian bernama Kobro Siswo Kuda Sendoko ini berasal dari Dusun Sendakan atau Sendaren 2, Desa Karangrejo. Kesenian ini didirikan pada tahun 1930. Mbah Lempah alias Pawirodiyono (91) bercerita panjang lebar terkait sejarah dan cerita di balik kesenian Kubro Siswo ini, yang tak jauh dari kisah Perang Gerilya Pangeran Diponegoro dan cikal bakal Dusun Senda’an/Sendakan.

Alkisah, pada zaman Perang Gerilya ratusan tahun lalu, Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke daerah Karang. Kemudian ia ingin bertemu dengan sekutu yaitu Kiai Sendoko  yang merupakan teman sebangsanya, untuk mengadakan pertemuan di Padepokan Bogelan. Namun, dalam perjalanannya ke Padepokan tersebut, mereka dihadang oleh Pasukan Belanda. Terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak.

Posisi Pasukan Pangeran Diponegoro dan Kiai Sendoko yang terdesak membuat darah Kiai Sendoko mendidih. Kiai Sendoko segera memacu kudanya ke tengah pertempuran dan menancapkan tombak pusakanya di tengah arena pertempuran.  Secara tiba-tiba, langit menjadi gelap dan tanah naik ke atas menjadi bukit disertai dengan tumbuhnya pepohonan yang lebat. Peristiwa tersebut membuat angkatan bersenjata Belanda sekaligus arwah Pangeran Diponegoro kembali muncul dan langsung menyerang membabi buta.

Pasukan Belanda sangat kesulitan menghadapi dan akhirnya berhasil dipukul mundur. Mereka kocar-kacir melarikan diri dan terserai-berai. Peperangan dimenangkan oleh Pasukan Pangeran Diponegoro dan Kiai Sendoko. Untuk menghargai jasa Kiai Sendoko, maka dusun tersebut dinamakan Sendakan, yang dipimpin langsung oleh Kiai Sendoko sendiri. Setelah melakukan penyelamatan atas kemenangan Pangeran Diponegoro dan pasukannya, Kiai Sendoko melanjutkan perjalanan ke Padepokan Bogelan.

Dalam kesenian Kudo Sendoko ini, para pemainnya terdiri atas sembilan penari Kuda Lumping, sembilan penari Jathilan, delapan penari Buto, serta tujuh Pengrawit atau penabuh gamelan. Durasi permainan berlangsung selama kurang lebih satu jam.

Saat pertama kali tampil, kesenian ini terkesan sangat sederhana. Mereka hanya memakai jarit yang dipinjam dari masyarakat, dan kaos kaki seadanya. Lambat laun, ketika Mbah Pawirodiyono menjadi ketua kesenian, beliau membeli surjan hijau untuk pelengkap, sedangkan atribut lainnya diperoleh dengan menyewa. Tidak ada makna tertentu berkaitan dengan atribut. Kostum yang dikenakan hanya mengikuti tradisi masyarakat yang ada. Adapun lagu yang sering dibawakan pada saat penampilan merupakan tembang Jawa seperti Dandanggula, Pocung, Sinom, dan Pangkur.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Mbah Lempah / Mbah Pawirodiyono, 91 tahun, sesepuh desa Karangrejo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...