(Narasi oleh Rangga Tsalisul A. dan Loh Sari Larasati)
Narasi
Siang ini saya ditemani motor hitam dengan suara yang merdu bergerak menuju kediaman Bapak Sukiadi (52 tahun) di Dusun Tingal Kulon, salah satu sesepuh yang memahami sejarah Desa Wanurejo. Sampai dirumahnya saya diarahkan untuk memasuki ruang tengah yang indah dipandang berhias tanaman anggrek dan porang. Suara kemricik pancuran air kolam semakin sejuk menyambut kedatangan saya. Tak lama berselang, Pak Sukiadi membawa secangkir teh hangat untuk saya.
Berawal dari obrolan-obrolan ringan dan santai, kemudian mulai mengerucut dengan pertanyaan-pertanyaan saya mengenai bagaimana perjalanan bapak Sukadi mengetahui nama makam cikal bakal Desa Wanurejo. Beliau pun mulai bercerita tentang pengalaman spiritualnya tentang cikal bakal desa.
Ki Tejo Kusumo
“Sekitaran Tahun 1999, saya bersama Pak Win dan almarhum Pak Carik pernah mencoba sowan kepada para sesepuh desa. Akan tetapi kita mendapatkan kebuntuan. Namun ada seseorang yang mengatakan bahwa cikal bakal desa kita berasal dari bangsawan Yogyakarta. Ditahun itu, Pak Sutrisno sering meditasi atau ziarah yang kita kenal makam Mbah Wanu itu, tiba-tiba suatu saat mendapatkan bisikan ‘Leluhurmu Ki Tejo Kusumo jenenge’. Dari bisikan yang diterima Pak Sutrisno, kami meyakini bahwa makam ini bernama Ki Tejo Kusuma,” singkat cerita Bapak Sukiadi sambil berjalan membawa buku mengenai Sejarah Desa Wanurejo.
“Saat pergantian kepala desa kebetulan ada salah satu paranormal dari desa lain mendapat pesan memberikan pencerahan bahwa beliau seorang gini-gini-gini mohon disampaikan kepada anak cucu di sini. Sehingga Pak Triyanto sebagai kepala desa mengajak untuk bertemu paranormal tersebut. Saat bertanya kembali, paranormal berkata ‘saya sudah mengharapkan lama anak cucu mengenal saya’. Kemudian beliau (paranormal) menyanyikan Pupuh Gandhanggula. Saat itu saya tidak langsung percaya, tetapi beliau tahu ada Mbah Jugil, Mbah Sorok, jadi kami tertarik dan mulai percaya. Kami pun mulai meminta bantuan menelusuri perjalanan sejarah desa.
Surat Kekancingan
Akhirnya, pelan-pelan kami mengurus surat kekancingan pada tahun 2008 dan mendapat pengakuan tahun 2015. Dalam penelusuran tersebut beliau mendapat bisikan untuk menyampaikan bahwa lahirnya Ki Tejo Kusuma bersamaan dengan mendapatkan bumi perdikan di sini pada tanggal 17 Mei. Dan akhirnya setiap Tanggal 17 Mei kita sepakati sebagai lahirnya Desa Wanurejo dengan tajuk Gelar Budaya,” tutur Pak Sukiadi.
Pak Sukiadi sesaat berdiam. Saya melihatnya memejamkan mata dan menundukkan kepala. Saya tidak tahu apa yang terjadi, namun setelahnya beliau mengambil nafas panjang dan melanjutkan ceritanya.
“Saat ini makam sudah terawat dan sudah dibuat joglo yang dibangun pada tahun 2010 dengan model Yogyakarta. Dulu mitos yang beredar beliau tidak kersa dibuatkan cungkup. Nah, saat penelusuran saya dan Pak Yanto matur nek ra di cungkup udan lak bubar mawut-mawut, pas mau buat gubuk di luar makam saya dapat bisikan ‘Lha aku ki malah ngarep-ngarep tapi pinginku ki joglo’, mulai saat itulah kami pelan-pelan membangun mulai dari babad alas, potong kayu dan lain-lain hingga sekarang sudah menjadi bangunan yang megah,” beliau melanjutkan.
“Pak, kalau mau sowan ke makam apakah ada syarat tertentu?”, tanya saya.
Mata Air Gayam
“Sebenarnya Mas, waktu penelusuran kami juga mendapat bisikan ‘nek rene ki yo sing resik, nek ora aku yo ra metu’. Pada waktu itu akhirnya kami sowan ke rumah pak Sutris dan menyampaikan bisikan ini. Akhirnya kami mendapat arahan dari Pak Tris bahwa kalau mau berkunjung ke makam BPH Tejo Kusuma harus mandi atau bersih bersih terlebih dahulu di Mata Air Gayam. Setelah bersih-bersih baru diterima simbah kalau ziarah ke makam,” jawab Bapak Sukiadi dengan gamblang.
“Pak kalau masuk apakah ada pakaian atau tata cara tertentu?” saya kembali bertanya.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Sukiadi 52 tahun, Sesepuh desa, dusun Tingal Kulon desa Wanurejo,