(Narasi oleh Romdhoni dan Andika Ulinnuha)
Narasi
Malam kamis pukul 5 sore, Pak Wongsodikromo selaku kyai dari Dusun Karang sedang berkunjung ke rumah pak lurah. Pada hari itu dikabarkan sedang terjadi ladon (banjir bandang) di sungai Sileng, salah satu sungai di Desa Tanjungsari. Mereka berniat mengecek kondisi banjir tersebut, namun dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan dikarenakan sedang hujan deras mereka memutuskan untuk kesana pada saat hujan reda.
Pukul 9 malam, keadaan pun sudah mulai dirasa aman kemudian mereka bergegas untuk mengecek kondisi banjir tadi. Kebetulan malam itu adalah malam Jum’at Kliwon. Sesampainya di samping sungai, pak lurah merasa terkejut karena melihat ada cahaya di tengah tengah aliran banjir tadi. Anehnya air banjir tadi seakan ditolak oleh cahaya tersebut. Dikarenakan tidak memungkinkan untuk mendekat, pak lurah dan pak kyai memutuskan untuk kembali pada keesokan harinya.
Pagi harinya mereka pun mendatangi Sungai Sileng kembali. Kondisi air sungai pun sudah lebih tenang dan bisa untuk dilewati. Kemudian mereka mengecek ke tempat di mana cahaya yang semalam berada. Ternyata terdapat tulang belulang manusia pada tempat munculnya cahaya tersebut. Pak kyai pun memutuskan untuk memasukkannya ke dalam peti dan berniat menguburkannya di dekat Sungai Sileng di dusun Karang.
Awalnya mereka tidak tahu identitas pemilik tulang belulang tersebut. Sampai pada suatu hari pak kyai menemukan cincin di samping tempat dikuburnya tulang tadi. Kemudian pak Kyai membawanya pulang dan diberikan kepada istrinya. Keesokan harinya cincin tersebut dipakai ke pasar, sesampainya di pasar ada seseorang pemuda yang melihat cincin itu dan penasaran. Cincin itu ditawar tinggi oleh pemuda itu, karena tidak tahu dan merasa tawaran itu cukup tinggi alhasil cincin itu dijual olehnya. Malam harinya istri pak kyai didatangi oleh seseorang dimimpinya dan mengaku bahwa dirinyalah yang memberikan cincin tersebut serta menjelaskan bahwa dia adalah Sepangi, pemilik tulang yang ditemukan dan dikuburkan di Dusun Karang. Sepangi adalah putra dari keluarga Keraton Yogyakarta yang dibunuh oleh tentara Belanda. Tempat terbunuhnya Sepangi itu adalah tempat ditemukannya tulang belulang tadi.
Cerita tersebut disampaikan Pak Samhari (73 tahun) selaku Juru Kunci Makam Sepangi. Banyak yang meyakini cerita tersebut sehingga Makam Sepangi kini disakralkan oleh masyarakat. Banyak yang datang dari desa maupun luar desa untuk ziarah ke Makam Sepangi untuk menyepi di makam yang berada di samping sungai Sileng tersebut.
Gambar
Lokasi
map
Narasumber
- Mbah Samhari, 73 tahun, Sesepuh desa, Dusun Karang Desa Tanjungsari