(Narasi oleh: Andy Anssah dan Vinanda Febriani)

Narasi

Siang yang cukup terik membawa Kami ke sebuah kedai kopi yang letaknya tak jauh dari jalan raya, masuk Desa Karangrejo dari arah Situs Brongsongan. Rumah tradisional serba kayu jati ini dikelilingi oleh beraneka ragam tanaman seperti mawar, gelombang cinta, sirih, dan masih banyak lagi. Masuk ke area dalam, Kami disambut tanaman kembang Kamboja berwarna kuning yang melambai-lambai dihempas angin sepoi.

Wisata Edukasi

Di seberang tanaman kamboja, terdapat beberapa pohon beringin gagah yang cukup tinggi. Kami duduk di bangku dari kayu jati, tentu saja dengan ditemani secangkir kopi dan teh hangat. Kami bersama Agus Prayitno (35), warga Dusun Sikepan yang secara administrasi tercatat sebagai Dusun Sendaren 1. Ia adalah pemilik wisata edukasi gula jawa di Desa Karangrejo.

Pengrajin Gula Jawa

Agus, sapaan akrabnya, mulai merintis wisata edukasi gula jawa sejak lima tahun lalu, namun pelaksanaannya baru kisaran tiga tahun terakhir. Rata-rata masyarakat di sekitar rumah Agus merupakan pengrajin gula jawa, sehingga dirinya hanya menjalankan apa yang sudah ada di kampungnya. Bahan baku utama dari pembuatan gula jawa adalah badhek.

Turun-temurun

Karena support pohonnya di sini yang kita sadap itu dari pohon kelapa, maka yang kita ambil itu bahannya dari tetesan bunga pohon kelapa atau manggar, yang kita sebut nira, badhek, atau legen”, jelasnya. Sejarah proses pembuatan gula kelapa di Dusun Sendaren 1 sendiri telah diwariskan secara turun-temurun oleh pepunden dusun. Dalam proses pembuatan gula, tidak boleh sembarangan karena harus mengikuti alur yang telah digariskan sehingga gula yang dihasilkan berkualitas.

Mengumpulkan Badhek

Tak terlalu sulit bagi Agus mendapat bahan baku pembuatan gula jawa di dusunnya. Rata-rata masyarakat Dusun Sendaren 1 memiliki pohon kelapa, sehingga Ia mengumpulkan badhek dari para tetangga. Dengan kata lain, Badhek yang telah diambil dari pohon kelapa oleh masyarakat, dijual ke rumah Agus. Ia membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Hal tersebut menurut dia, menjadi salah satu cara untuk meningkatkan ekonomi warga, khususnya di tengah pandemi Covid-19. “Di sini cuma menjalankan saja. Jadi, produk dari masyarakat itu supaya tidak jual jauh-jauh ke pasar dan harga sedikit agak mahal, ya kita beli ke mereka”, tutur Agus.

Dijual ke Wisatawan

Laki-laki berperawakan tinggi dan kurus ini mengatakan, dirinya menjual gula jawa itu dengan menawarkannya kepada para wisatawan yang datang ke kedai edukasi miliknya. Ia memilih untuk tidak menjual gula jawa ke pasar lantaran dianggap terlalu murah. “Semisal dijual di pasar, untuk menaikan harga seribu (Rupiah) pun juga sulit. Tapi, dengan kita kenalkan kepada wisatawan, dengan adanya aktivitas edukasi atau pengenalan gula jawa, wisatawan lebih tertarik dan rata-rata bersedia untuk membeli produk itu karena merasa murah”, lanjutnya.

Ngajeni petani Badhek

Agus berencana untuk meningkatkan harga gula jawa di tempatnya, untuk ngajeni (menghargai) para petani badhek dan pengrajin gula jawa di dusun Sikepan atau Sendaren 1. “Kita berencana untuk meningkatkan harga jual gula, karena kita jual tidak per kilo, tetapi per gram. Pengambilannya sangat sulit, hujan (atau) panas harus tetap manjat. Jadi cara kami untuk ngajeni para petani gula yakita seperti itu, kita pemasarannya kepada para wisatawan yang datang ke tempat kami”, pungkas Agus.

Proses Pengolahan

Nderes

Saban pagi pukul 07:00 WIB, para petani Badhek melakukan aktifitas nderes, yakni memanjat pohon kelapa untuk menyadap bunga kelapa atau manggar menggunakan bumbung atau wadah penampungan nira yang terbuat dari bambu, kemudian diambil pada sore harinya sekitar pukul 16:00 WIB. Saat mengambil bumbung yang telah terisi pada sore hari, para petani itu membawa bumbung baru untuk dipasang kembali dan diambil besok paginya. “Jadi sehari dua kali, pagi dan sore untuk pengambilannya”, jelas Agus.

Memasak Badhek

Badhek itu kemudian dimasak menggunakan kayu bakar supaya tidak mengubah keaslian rasa dari badhek tersebut. “Rata-rata di sini masih tradisional untuk cara memasak badhek hingga menjadi gula jawa”, tambahnya. Biasanya, pengolahan dari 10 liter badhek untuk bisa menjadi gula jawa membutuhkan waktu kisaran 4 Jam.

Makna filosofis

Ada beberapa makna filosofis dalam proses pembuatan gula jawa, yaitu:

  1. Memanjat pohon kelapa. Munggah atau memanjat merupakan gambaran pemuda yang membawa bumbung yang terbuat dari bambu. Sedang ngunggah-unggahi diibaratkan sebagai sebuah proses kerja keras melamar seorang gadis.
  2. Manggar (bunga kelapa). Setelah memanjat pohon kelapa, seseorang akan menemukan manggar, kemudian diiris bagian pucuknya, lalu dimasukkan ke dalam bumbung bambu. Manggar yang telah diiris akan mengeluarkan cairan yang bernama nira (badhek). Hal tersebut diibaratkan sebagai penggalian air kehidupan. Manggar dianalogikan sebagai simbol maskulinitas laki-laki yang menghasilkan cairan nira sebagai simbol air sumber kehidupan, kemudian bumbung dianalogikan sebagai simbol femininitas perempuan. Oleh karena itulah, pengambilan badhek dilakukan oleh laki-laki.
  3. Proses selanjutnya adalah membawa bumbung berisi badhek pulang, yang disebut nitis. Nitis  dianalogikan sebagai proses pembuatan anak. Badhek di dalam bumbung lalu dimasukkan ke dalam wajan (tempat untuk menggodok nira) dan dimasak menggunakan luweng di bagian belakang selama 4 jam supaya berubah menjadi warna coklat, setelah itu gula kembali dimasak supaya tidak terjadi pengentalan sebelum dicetak. Supaya tidak mengubah kemurnian badhek, masyarakat Dusun Sendaren 1 memasak gula jawa masih menggunakan Luweng. “Lu” artinya telu atau tiga, “Weng” artinya kosong atau berlubang, sehingga luweng artinya tiga bolongan yang kosong. Dalam sebuah proses perjalanan hidup terdapat dua tahapan, yakni kosong dan berisi. Ddi atas luweng belakang diletakkan wajan berisi nira mentah dari bumbung, kemudian yang tengah dibiarkan kosong dan ditutup dengan kendil, sendangkan pada luweng bagian depan diisi dengan wajan berisi olahan nira yang sudah berwarna coklat. Secara filosofis, wajan diibaratkan sebagai sebuah proses di rahim Ibu, yakni terjadinya penitisan atau proses penciptaan sebagaimana proses penciptaan bayi dalam rahim ibu selama 9 bulan.
  4. Poses pencetakan gula. Setelah matang, proses selanjutnya yaitu mencetak dengan menggunakan bathok kelapa dan tidak menggunakan alat cetak modern. Gula yang sudah berada di cetakan kemudian didiamkan supaya dingin. Setelah dingin, gula dilepaskan dari bathok kelapa dan siap disajikan. Bathok merupakan perwujudan doa orang tua supaya anak memiliki sifat yang tidak jauh dari orang tua.

Dari uraian di atas, tampak bahwa pembuatan gula jawa memiliki makna lebih dari sekadar membuat makanan. Proses pembuatan gula diibaratkan sebagai sebuah proses kehidupan manusia. Setiap tahap pembuatannya, mulai dari nderes hingga mencetak, memiliki makna dan doa sebagaimana proses penciptaan manusia mulai dari pembuahan hingga mencetak generasi baru.

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Agus Prayitno, 35 tahun, Pemerhati budaya, dusun Sikepan desa Karangrejo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...