(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)
Narasi
Sungai Progo adalah sungai terbesar yang mengaliri Jawa Tengah dan DIY. Di daerah Borobudur khususnya, terdapat sungai progo yang alirannya meliuk-liuk menjadi batas alami antara Desa Borobudur dan Kota Mungkid. Dusun-dusun di Desa Borobudur yang dialiri sungai progo adalah Dusun Kenayan, Bogowanti Lor, Jayan, Kaliabon, dan Jligudan.
Sungai progo menjadi salah satu sumber kehidupan untuk sebagian warga yang daerahnya dialiri sungai tersebut. Mengapa bisa disebut demikian? Sebab air yang mengalir dan tak pernah habis itu dimanfaatkan oleh warga sekitar semaksimal mungkin. Contohnya sebagai pengairan untuk sawah-sawah, tempat mencari ikan, dapat diambil batunya untuk kepentingan pembangunan, tempat rekreasi, bahkan memandikan hewan ternak pun bisa dilakukan di sungai progo.
Bermacam ikan
Sebagai tempat pencari ikan misalnya, di sungai progo terdapat berbagai macam jenis ikan yang sudah disediakan oleh alam ini. Menurut Bapak Tarjo warga Dusun Jligudan yang masih aktif mencari ikan di sungai progo, disana terdapat berbagai macam ikan. Hampir semua jenis ikan air tawan ada di sungai progo. Ikan yang terdapat di sungai progo dapat dikelompokkan menjadi dua jenis berdasarkan sisiknya, yaitu ikan bersisik kasar dan halus. Ikan yang pernah didapat Bapak Tarjo antara lain adalah ikan wader, mujahir, sepat, malem, tawes, beong, uceng, nila, gabus, jeler, palung, pelus, kathing bahkan sampai ikan sapu-sapu ada di sungai progo dan Pak Tarjo pernah mendapatkannya. Tidak hanya Bapak Tarjo, di Dusun Kaliabon juga masih terdapat warga yang mencari ikan di sungai progo. Beliau adalah Bapak Walgiman dan Bapak Nurhadi.
Alat Tangkap Tradisional
Mereka mencari ikan masih menggunakan cara tradisional. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi tidak membuat mereka meninggalkan tradisi leluhurnya yaitu menangkap ikan di sungai menggunakan cara tradisional. Kendati sudah banyak peralatan modern mereka masih menggunakan alat tradisional karena dianggap lebih ramah lingkungan. Alat yang digunakan warga Jligudan dan Kaliabon untuk menangkap ikan secara tradisional tidak jauh berbeda. Alat-alat yang digunakan Bapak Tarjo antara lain dengan jala dan perangkap ikan. Perangkap ikan yang digunakan beliau masih peralatan zaman dulu (kuno). Peralatan yang mereka gunakan untuk mencari ikan sangatlah beragam. Diantaranya adalah jala, pancing, telik, kicir, posong dan wadong. Jala adalah jaring penangkap ikan yang terbuat dari senar yang dianyam. Alat untuk menganyam jala disebut ukon-ukon (jarum jala yang terbuat dari bambu). Supaya bisa tenggelam bagian bawah diberi rantai yang mengelilingi jala tersebut. Ukuran untuk jarak anyaman jala bervariasi ada jala berukuran kecil (otek), sedang (rampedan/cukupan), dan besar (gede). Jala-jala tersebut berbeda fungsi, jala otek berfungsi untuk menangkap ikan berukuran kecil (anak ikan sekitar satu sampai dua jari orang dewasa), jala rampedan digunakan untuk menangkap ikan yang berukuran sedang (3-4 jari orang dewasa), jala gede berfungsi untuk menangkap ikan yang ukurannya besar (bisa mencapai bobot 5 kg per ikan). Sedangkan pancing adalah mata kail yang terbuat dari besi wajan berwarna hitam sehingga kuat dan landep (tajam). “nek pancing saiki bedo ro zaman disik, wis ora seko wesi waja dadine do ketul, dinggo pisan pindo kudu ganti” Ujar Pak Tarjo yang artinya kalau pancing sekarang beda dengan pancing zaman dulu, tidak menggunakan besi wajan jadi tidak awet tajamnya. Pancing biasanya digunakan untuk menangkap belut dan ikan. Untuk menangkap belut pancing tidak memerlukan gagang (garan). Pancing hanya dikaitkan ke senar saja. Kemudian telik, telik adalah alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu muda yang dianyam dan berbentuk kerucut. Ukuran telik ada dua macam, besar dan kecil. Telik berukuran besar biasanya digunakan untuk menangkap ikan wader kecil (berukuran 1-2 jari orang dewasa) sedangkan yang kecil digunakan untuk menangkap udang dan uceng. Telik dipasang di aliran sungai yang arusnya cukup deras di pinggir sungai. Cara memasangnya adalah dimasukkan kedalam air dengan posisi horizontal dan sekeliling telik ditutup oleh kerikil atau rumput supaya ikan tidak mengetahui kalau itu jebakan untuknya. Di depan telik juga dibuatkan saluran air yang bertujuan untuk mengarahkan ikan masuk ke dalam telik.
Pusong dan Wadong
Posong dan wadong adalah alat pencari ikan yang terbuat dari bambu, yang membedakan kedua benda tersebut adalah ukurannya. Posong cenderung berukuran lebih kecil daripada wadong. Posong sering digunakan untuk menjebak ikan kecil berukuran 2-3 jari orang dewasa. Sedangkan wadong biasanya digunakan untuk menjebak ikan mijah (indukan ikan yang sedang bertelur). Alat yang terakhir adalah kicir. Kicir terbuat dari lidi aren yang ditata rapat. Kicir digunakan untuk menjebak segala jenis ikan. Ukuran kicir lumayan besar, jauh lebih besar jika dibanding dengan telik walau bentuknya hampir sama dengan telik. Untuk pemasangannya sendiri kicir cenderung dipasang agak ketengah sungai, berbeda dengan telik yang dipasang di bantaran sungai. Kicir ditenggelamkan dalam posisi horizontal dan di dalamnya ditaruh batu supaya kicir tetap tenggelam. Biasanya kicir dan telik dipasang ketika sore hari dan diambil keesokan paginya.
Pranata Mangsa
Waktu yang paling tepat untuk mencari ikan adalah saat pagi dini hari (jam 01.00 – 04.00) atau malam pukul 22.00. Alasannya pada saat jam-jam tersebut ikan sedang keluar sarangnya dan mudah untuk ditangkap. Apalagi ketika musim mijah (ikan berkembang biak, telur ikan sudah menetas dan ikan cenderung kumpul jadi satu sehingga mudah ditangkap). Musim mijah ini biasanya terjadi pada mongso kapat (musim penghujan yang masih terjadi hujan tapi hanya gerimis tidak lebat). Pada musim ini juga sering didapati ikan wader kepek (ikan wader yang calon menjadi ikan besar). Peralatan yang digunakan saat mencari ikan pijahan adalah jala dan wadong, dan waktu yang tepat menangkap ikan mijah adalah dini hari. Pada saat musim kemarau ikan yang banyak terdapat di sungai adalah wader, jadi untuk menangkapnya bisa menggunakan jala, posong dan telik. Pada saat musim penghujan (rendeng) yang biasanya terjadi banjir di sungai mereka para pencari ikan tidak kehabisan akal untuk menangkap ikan. Mereka menggunakan pancing untuk menangkap ikan. Ikan yang sering di dapat ketika menggunakan pancing dan musim penghujan adalah beong dan kathing. Pada saat musim penghujan dan sungai banjir memang sedikit ikan yang didapat sebab kondisi alam tidak memungkinkan karena arus sungai cenderus deras dan air sungai naik.
Tempat & Saat Menjala
Menjala ikan tidak sembarangan di tebar di sungai, akan lebih efektif ditebar di tempat-tempat yang diyakini banyak ikan berlalu lalang. Tempat yang biasanya terdapat banyak ikan adalah di atas bantaran sungai yang cenderung agak dalam dan air agak tenang (banyune sungapan). Untuk memasang jala bianya dipasang di palung. Air yang cenderung dalam dan terdapat pusaran air yang tidak terlalu cepat. Pemasangan jala juga dilakukan di sore hari kemudian keesokan paginya baru diambil. Memasang jala di sungai sering disebut peracik.
Ritual menangkap ikan
Untuk menangkap ikan di sungai tidak boleh sembarangan dilakukan, ada tata cara yang harus dilaksanakan. Apabila sembarangan nanti bisa tidak mendapat ikan atau orang tersebut bisa celaka. Selain menggunakan insting dan pengetahuan seperti yang sudah dijelaskan di atas, orang yang akan menangkap ikan sebaiknya meminta (berdoa) yang dikhususkan untuk yang diyakini menjadi penunggu sungai dan jalan yang akan dilalui. Doa yang wajib ditujukan ada 3, yaitu dikhususkan kepada Nabi Ilyasa yang diyakini masyarakat sebagai penjaga jalan, doa ini dibaca ketika mau berangkat mencari ikan. Kemudian setelah sampai sungai doa yang dibaca dan dikhususkan kepada Nabi Kidir yang diyakini sebagai penjaga perairan dan yang terakhir berdoa sambil menyentuh air sungai yang dikhususkan kepada Dewi Nawangwulan yang dipercaya sebagai ratu ikan. Doa-doa tersebut diibaratkan sebagai tanda meminta izin supaya dalam perjalanan mencari ikan tidak mendapat gangguan dari makhluk tak kasat mata dan ikan yang di dapat benar-benar ikan bukan ikan jelmaan makhluk halus. Doa-doa tersebut bukan bermaksud syirik atau musrik, hanya sebagai ungkapan permisi atau permohonan izin karena mengingat waktu pencarian ikan yang cenderung dilakukan pada tengah malam dan di tempat yang banyak dihuni makhluk tak kasat mata. Pada saat mencari ikan tidak boleh menggunakan sorot lampu karena apabila terkena cahaya maka ikan akan bersembunyi. Jadi para pencari ikan hanya mengandalkan sinar bulan ketika mereka sudah sampai di sungai. Para pencari ikan biasanya mencari ikan dengan telanjang (hanya menggunakan pakaian dalam) hal itu diyakini dapat mengusir mahkluk halus sehingga mereka terhindar dari gangguan makhluk halus. “Nek arep golek iwak pas tengah wengi loh yo, kui luwih apik wudoh. Pisan ben ora ribet wong arep nyemplung banyu sek kepindo ben demit kui wedi terus ora ganggu mergo dikiro wong ora waras” ujar Pak Tarjo. Arti dari pernyataan beliau adalah kalau mau mencari ikan di malam hari itu lebih baik tidak menggunakan busana, disamping tidak ribet karena harus masuk ke air yang kedua supaya makhluk halus takut karena dikira orang gila. Mengapa demikian? Menurut Pak Tarjo hal ini sudah diajarkan nenek moyang beliau dan diyakini bahwa ketika kita tidak berpakaian maka makhluk halus akan takut sebab dianggap orang gila.
Iwak Kali
Ikan sungai progo atau masyarakat lokal biasa menyebutnya iwak kali sangat banyak penggemarnya. Mulai dari anak-anak hingga orang tua menyukainya. Ikan progo diyakini lebih sehat dibanding ikan hasil budidaya karena makanan ikan progo lebih alami dan tanpa obat pengawet. Umpan yang dipakai pun juga diambil dari alam. Mereka biasanya menggunakan elur (cacing tanah), jangkrik dan ikan wader yang kecil (ukuran kurang dari 1 jari orang dewasa).
Gambar
Lokasi
Narasumber
- Bapak Tarjo, pelaku budaya, penangkap ikan tradisional desa Borobudur
- Bapak Walgiman, pelaku budaya, penangkap ikan tradisional desa Borobudur
- Bapak Nurhadi, pelaku budaya, penangkap ikan tradisional desa Borobudur
Relasi Budaya
- Alat penangkap ikan tradisional ;
- Potensi alam desa Borobudur; Pulo klatakan