Cerita Rumah Jawa

(Narasi oleh Jiyomartono dan Nurudin)

Narasi

Malam yang syahdu, pada purnama pertengahan bulan sura, terasa hari begitu gelap tidak seperti biasanya, menambah suasana mistis dibarengi semilir angin yang membawa wewangian bunga jeruk dan bunga kopi di depan rumah ditambah teguran teman untuk membawa masuk keris pusaka hasil pemberian dari keponakan yang habis menjamas beberapa hari lalu. Tiba-tiba rembulan keluar dari peraduannya seolah olah menyapa “sugeng ndalu sedulur“ (selamat malam saudara), saya tersenyum dari halaman rumah membalas salam dari rembulan, setelah itu rembulan pergi ditelan awan dan saya masuk ke rumah.

Teringat pada waktu kecil sebelum ada penerangan listrik, bulan purnama adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk bermain bersama dengan menyanyikan lagu “yo para konco dolanan neng njobo, padang bulan padange koyo rino, rembulane ne seng awe-awe, Ngelingake ojo turu sore” begitu bahagianya kita bermain di halaman rumah. Siang harinya kita bermain lompat tali, kelereng egrang, dan jilumpet. Itulah mengapa rumah-rumah di desa punya halaman yang luas, selain berfungsi jadi tempat bermain juga tempat untuk hajatan.

Orang tua duduk di kursi panjang ditemani tetangga lesehan di amben, bercerita tentang aktivitas yang telah dilakukan seharian, ada yang capek bersandar di soko guru  sehingga dipijat oleh temannya sesekali ada senda gurau yang melambangkan betapa bahagia dan rukunnya kehidupan di desa. Simbah kadang menyelipkan kata-kata bijak untuk menghadapi hidup ini karena simbah dipandang tetangga orang yang berilmu, kuat prihatin, dan tirakat sehingga bebejan atau keberuntungan menghampirinya dan dijadikan sesepuh desa. Terkadang simbah menerima rombongan tamu yang ingin sowan atau berkunjung untuk ngangsu kawruh atau menimba ilmu seperti di padepokan. Pada waktu tertentu simbah mengumpulkan semua keluarga baik yang jauh dan dekat untuk menjaga agar semuanya hidup rukun saling membantu. Di bawah amben (tempat duduk yang terbuat dari bambu) bergeletakan hasil bumi seperti kimpul, kelapa, ketela rambat, sementara itu di sudut ruang masih tergeletak hasil panen padi yang belum sempat disimpan di lumbung. Hal inilah alasan rumah Jawa baik joglo, limasan, dll pada bagian depan berfungsi sebagai pendopo yang begitu luas tanpa sekat bahkan tanpa dinding luar hanya ada tiang-tiang yang disebut soko.

Setelah lingsir wengi para tetangga pulang kerumah masing-masing, simbah masuk kedalam rumah, untuk mengambil teh hangat yang telah disiapkan simbah putri dari dapur di samping rumah. Simbah putri menutupkan teh dengan serunduk untuk menjaga teh agar tetap hangat yang di sampingnya ada dua roti bolu emprit satu berwarna merah dan satu lagi putih terbuat dari beras ketan dan gula oleh-oleh dari cucunya. Di ruang makan Simbah Putri dan Simbah Kakung masih bercengkrama sementara anak dan cucunya sudah tidur di kamar yang berbeda, jadi kamar simbah di tengah, diapit oleh anak yang ragil (anak terakhir) dan cucunya, sementara anak-anak yang lain tidur di kamar gandok.

Sebelum tidur Simbah Putri mengingatkan tentang lumbung dan kandang, sudah di kunci. Simbah Kakung menjawab “gak apa-apa mboten dikancing wong saya mau tirakat ditengah-tengah pendopo di antara 4 soko guru, tirakat lan prihatin biar anak cucu bejo, mulyo donya aherat” (gak apa-apa tidak dikancing karena saya mau tirakat di tengah-tengah pendapa di antara 4 soko guru, tirakat dan prihatin biar anak cucu beruntung). Simbah putri hanya mantuk-mantuk (menganggukan kepala) dan minta diantarkan ke sumur di belakang rumah untuk ambil air wudhu dan minta ijin menemani tirakat di kamar. Simbah Kakung menggandeng tangan Simbah Putri karena harus melewati longkang yang becek karena air  hujan dan setelah berwudhu Simbah Putri berhenti di longkang untuk berdoa langsung menghadap ke langit, beliau percaya disaat lingsir atau malam bahwa Tuhan tidak tidur, jadi beliau percaya doanya pasti didengar dan dikabulkan. Rumah Jawa memang mempunyai banyak fungsi dan mencerminkan kepribadian pemiliknya, simbah dan orang tua yang menempati masih menjaga tradisi tirakat dan prihatin, sehingga hormati dan disegani tetangga sekitarnya.

Kemudian ada cerita lain dari suatu rumah. Diceritakan oleh Bu Jauharoh (65 tahun) pada suatu malam jarum jam hampir menunjukan pukul 12, sepasang suami istri pemilik rumah joglo tua mendengar suara rintihan kuda. Keduanya terkejut dan keluar rumah untuk melihatnya. Namun, tidak ada binatang apapun di luar rumah. Keduanya kemudian kembali ke dalam rumah dan berjalan menuju dapur untuk mengambil teh panas.

Ketika sedang menikmati hangatnya teh di tengah hawa yang dingin, sepasang suami istri tersebut mencium aroma sate ayam dari kamar sebelah, diikuti suara penjual sate yang berbincang dengan pembelinya. Tetapi, ketika didatangi sumber suara tersebut keduanya tidak menemukan apa-apa. Hal semacam ini sering terjadi, sehingga keduanya mengundang seorang kyai. Setelah dilakukan pengecekan oleh kyai, semenjak ditinggal simbah, joglo tersebut mulai ditinggali banyak roh halus. Keberadaan roh halus ini bisa terjadi karena penghuni joglo tersebut tidak lagi melakukan tradisi tirakat yang biasa dilakukan oleh sesepuh atau orang tua jaman dulu.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Mbah Jauharoh, 65 tahun, Sesepuh desa, Desa Wringinputih

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...