(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)
Narasi
“Sadranan iku warise nenek moyang, sadranan yaiku njalukke ngapura sing wis ajal bebarengan utawa jamaah kirim arwah yen tradisine mbiyen”
(Sadranan itu warisan nenek moyang. Sadranan yaitu memintakan maaf para leluhur kepada Yang Maha Kuasa secara bersama-sama atau berjamaah kirim do’a ke arwah kalau menurut tradisi masa lalu).
Begitulah Bapak Zainudin menjelaskan apa makna dari Sadranan. Sadranan atau yang lebih sering warga menyebutnya dengan nyadran dilaksanakan setiap bulan Ruwah atau Sya’ban di setiap tahunnya. Ada juga yang mengartikan sadranan itu dengan sederhana. Namun, belum diketahui siapa yang mengawali kegiatan nyadran, apakah Kiai Sodrono ataukah yang lain.
Dakwah Islam di Jawa tidak terlepas dari peran besar Sunan Kalijaga. Beliau adalah salah satu Wali yang menjembatani proses akulturasi budaya Islam dan Jawa. Menurut Pak Nudin, Sunan Kalijaga dengan caranya yang sangat halus, tidak serta merta langsung melarang setiap tradisi. Yang mau jathilan dipersilakan, yang mau bakar kemenyan ya monggo tapi tetep pada disuruh sholat. Pak Nudin menambahkan bahwa wayang itu juga bagian dari cara dakwah Sunan Kalijaga. Alasan mengapa hanya ada satu dalang dalam pertunjukan wayang, adalah karena dayang merupakan simbol bahwa hanya ada satu Tuhan yang bisa menggerakkan makhluk apapun, siapapun, dan menjadi apapun.
Sadranan adalah kegiatan bersama warga, bahkan terkadang lebih meriah dari Hari Lebaran sekalipun. Sadranan di tiap-tiap dusun tidak hanya dikuti oleh warga setempat, tapi juga oleh warga jauh atau warga luar dusun yang masih mempunyai leluhur yang dimakamkan didusun/desa tersebut.
Pada masa lalu, ketika Pak Nudin masih muda, rangkaian kegiatan yang dilakukan dimulai dari satu hari sebelum nyadran dengan kerja bakti berseh atau bersih-bersih kuburan, yang dilanjutkan dengan bergotong-royong membuat pagar gedhek (terbuat dari anyaman bambu) yang digunakan sebagai pagar yang mengelilingi kuburan. Setelah itu, barulah pada pagi harinya acara nyadran/doa bersama dilakukan di mushola atau dimasjid.
Dahulu, nyadran dilaksanakan secara bersama-sama seluruh warga Desa Ngargogondo di rumah Kepala Desa, kemudian dilanjutkan per masing-masing dusun. Pak Nudin masih ingat saat masa mudanya, ketika sadranan masih dilakukan se-desa yang dilanjutkan per dusun, para warga bersama anggota keluarganya sendiri lalu berkumpul untuk kirim arwah (kirim doa) atau yang disebut juga dengan majemukan. Namun, pada masa pemerintahan Kepala Desa Bapak Imam Sarbini, dengan alasan terjadi pemborosan dana, nyadran se-desa akhirnya dipecah per dusun yang dilakukan bersama di musola atau masjid masing-masing.
Rangkaian acara pada hari pelaksanaan nyadran di masjid adalah pembukaan oleh pembawa acara, pembacaan ayat suci Al Qur’an, pembacaan Kalimah Thayibah/Tahlil, pembagian makanan, dan berkat lalu ditutup dengan Mauidhah Hasanah/tausiyah dan Do’a yang dipimpin oleh Ustadz/Kiai setempat.
Bingkisan makanan yang dibawa pulang atau yang lebih sering disebut dengan berkat yang dibagikan dalam nyadran, dahulu dalam bentuk sarang atau anyaman blarak (daun kelapa), kemudian diganti dengan keranjang mbako (keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya dipakai sebagai wadah tembakau). Kini, seiring perkembangan zaman, wadahnya berganti menjadi cething plastik (keranjang tempat nasi yang terbuat dari plastik). Hidangannya pun kini tidak hanya terdiri dari nasi, sayur, lauk, srundeng, lentho, pethek dan kerupuk, namun juga bahan-bahan makanan mentah dan jajanan makanan ringan.
Dulu, dalam setiap acara sadranan juga ada tradisi ter-teran yang berarti ngeterke atau mengantar makanan ke sanak saudara. Pak Nudin bercerita, ketika masa pemerintahan Kepala Desa Alm. Bp Sumorejo dari Malangan, pada suatu musim sadranan, Bp. Sumorejo mendapatkan nasi ter-teran sebanyak 24 paket. Beliau kemudian mengumpulkan semua perangkat dan warga dirumahnya tanpa ada maksud apapun kecuali disuruh makan bersama.
Saat ini, nyadran sekarang tidak hanya diisi dengan pengiriman doa untuk para leluhur, tetapi juga sekaligus pengumpulan infaq. Dana Infaq yang sering juga disebut wajib ini difungsikan untuk kas nyadran yang kemudian digunakan sebagai modal nyadran pada tahun berikutnya. Di Dusun Parakan sendiri, dahulu hasil dari dana infaq diwujudkan dalam bentuk hewan ternak kambing yang kemudian digadohke (sistem ternak bagi hasil) kepada warga yang berminat. Menjelang bulan sadranan, hewan itu dijual. Setelah dibagi hasil dengan peternak, dana hasil penjualan hewan ternak tersebut dikumpulkan lagi kepada panitia sadranan.
Gambar
Narasumber
- Bapak Zainudin, 64 tahun, Dusun Parakan Desa Ngargogondo.