(Narasi oleh Beni Purwandaru dan Tatak Sariawan)
Narasi
Menurut Bapak Teguh Joyo Prayitno, 80, yang beralamat di kedungombo, yang seorang mantan kepala desa Candirejo, dalam kehidupan orang Jawa ada beberapa simbol sebagai kesatria Jawa, yang mana jika sebagai pria Jawa belum memenuhi salah satu dari simbol-simbol tersebut maka belum dianggap ksatria Jawa. Simbol-simbol tersebut adalah; wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga.
- Wisma; artinya rumah atau tempat tinggal. Karena tanpa rumah orang hanya kabur kanginan tak punya tempat bertolak.
- Wanita; artinya perempuan atau istri, tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Bukan sekedar istri untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan.
- Turangga; artinya kuda atau jaman sekarang bisa diartikan kendaraan alat yang dapat membawanya kemana-mana. Orang bisa mempunyai ilmu pengetahuan, kemampuan, keterampilan, keahlian, yang akhirnya menjadikan kemajuannya. Jadi tanpa turangga takkan bisa jauh langkahnya, dan pastinya akan pendek penglihatannya.
- Kukila; artinya burung yang kalua jaman sekarang bisa diartikan sebagai musik atau gamelan, yaitu lambang keindahan, kelangenan, segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, kepuasan batin pribadi. Tanpa itu seseorang beranggapan hanya sebongkah batu tanpa semangat hidup.
- Curiga; artinya keris atau senjata, adalah lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelum nya di atas. Tanpa keris, maka yang lainnya akan bubar binasa bila mendapat gangguan dari luar.
Dan di sini kita akan membahas tentang Wisma atau rumah adat di desa Candirejo yang juga merupakan rumah adat di pulau Jawa pada umumnya. Yaitu rumah kampung, yakni rumah yang sering kita jumpai di perkampung, namun bukan berarti rumah yang ada di perkotaan dinamakan rumah kota. Rumah kampung adalah rumah “kawula alit” atau rumah yang dibuat oleh orang-orang kecil yaitu orang-orang yang bukan merupakan kaum kesatria.
Rumah pokok, pawon
Rumah kampung terdiri dari dua macam, yaitu rumah pokok, dan rumah pawon yang biasanya di bangun secara terpisah. Rumah pokok adalah rumah yang digunakan untuk tidur, dan juga sebagai tempat menerima tamu, serta sebagai mengadakan tempat pagelaran jika ada hajatan. Sedangkan rumah pawon atau dapur adalah rumah yang didirikan bersebelahan dengan rumah pokok berfungsi sebagai tempat memasak dan menyimpan bahan makanan pokok, seperti; padi, jagung, bumbu-bumbu dapur dan sebagainya.
Pantangan
Rumah kampung terdiri dari 24 tiang penyangga, yaitu 4 penyangga paling utama terletak ditenga-tengah yang dinamakan saka guru atau tiang pokok. Biasanya terbuat dari kayu Nangka atau kayu Jati. Diatasnya ada balok penyangga lagi dinamakan blandar pengeret yang dibentuk persegi dengan pengait purus yang sering dinamakan kolong kili yaitu saling berpautan. Kemudian di atas blandar pengeret ada ting penyangga lagi dinamakan andher, sebagai penyangga Blandar Molo yang fungsinnya sebagai landasan usuk dan rengnya. Kemudian disamping kiri dan kanan saka guru ada dua pasang tiang yang dinamakan saka kinthil yang berfungsi untuk membuat ruang kamar atau dalam bahasa Jawa disebut dengan nama Senthong. Di bagian depan ada 4 tiang lagi berfungsi sebagai penyangga balok blandar di teras. Dan 4 tiang tersebut dinamakan Saka Jogo Satru yang artinya jogo adalah penjaga, dan satru adalah musuh, atau tiang penjaga musuh dinamakan itu mungkin karena posisinya di depan pintu. Ada lagi 4 tiang di bagian tengah belakang saka guru dan depan saka guru dinamakan saka rowo. Berfungsi untuk pengait dari pagar gebyok yaitu pagar yang terbuat dari rangkaian papan kayu. Dalam hal ini biasanya jenis kayu yang digunakan sama dengan jenis kayu yang digunakan sebagai saka guru. Orang Jawa pada jaman dulu mempunyai pantangan apabila menggunakan rumah dengan bercampuran antara 4 macam jenis kayu, dan jika dilanggar dipercayai bahwa penghuninya akan tidak merasakan ketentraman dalam hidupnya. Dan 4 macam kayu yang pantang dijadikan satu tersebut adalah; kayu Jati, kayu Nangka, kayu Mindi, dan kayu Sanakeling. Jadi kalau misal dalam rumah ada kayu Nangka, maka ketiga jenis kayu lainnya tidak boleh disertakan dalam satu bangunan yang sama. Entah darimana asal kepercayaan tersebut bermula, namun sampai saat ini kepercayaan tersebut masih diikuti oleh sebagian besar masyarakat.
Saka guru
Bicara tentang kepercayaan masyarakat, sering kita jumpai pula dalam mendirikan rumah yang menggunakan beberapa properti untuk keselamatan saat membangun rumah seperti menaruh kain merah pada keempat saka guru dimaksudkan agar terhindar dari mara bahaya, atau sebagai tolak balak. Selain itu menaruh seutas padi yang digantungkan pada andher sebagai bentuk permohonan pada Yang Kuasa agar penghuni rumah selalu mendapatkan rezeki yang melimpah. Kemudian digantungkan juga pisang raja dan kelapa sebagai simbol agar selalu diberikan derajat dalam hidupnya.
Ruang tamu
Sebelum berganti dengan atap genteng rumah kampung pada jaman dulu beratapkan dari ijuk maupun ilalang, karena dirasa nyaman dan adem untuk singgah maupun untuk berteduh. Lalu ruangannya pun ada beberapa macam. Bagian paling depan adalah teras, biasanya digunakan untuk “inis” atau istirahat melepas lelah sepulang dari ladang, makanya di teras sering diberi “lincak” atau tempat duduk terbuat dari bambu yang dihadapkan menyamping ke kiri atau ke kanan, dengan maksud untuk menghindari pandangan mata dari warga yang melewati agar terlihat sopan. Jadi pada jaman dulu sampai sedetil itu untuk menaruh tempat duduk di teras depan pun diatur, coba kalau tempat duduk dihadapkan ke depan maka akan bisa kelihatan anggota tubuh yang semestinya tidak sopan jika terlihat orang yang kebetulan lewat depan rumah. Kemudian ruang tengah adalah ruang tamu, dan belakang ruang tamu adalah senthong berjumlah tiga, bagian paling ujung sebelah kanan adalah kamar kosong biasanya digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka dan tempat berdo’a, yang tengah adalah kamar suami istri, dan ujung kiri adalah kamar tempat penyimpanan harta benda. Masih ada dua senthong atau kamar yaitu samping kiri dan kanan ruang tamu atau ruang utama, yang kanan untuk anak laki-laki dan yang kiri untuk anak perempuan.
Pawon
Pawon atau dapur berada disamping kiri rumah utama. Berbentuk setangkep dengan 16 tiang penyangga. Dan seperti sudah diterangkan di atas berfungsi untuk tempat memasak, dan menyimpan bahan makanan pokok beserta bumbu-bumbu dapurnya. Termasuk tempat untuk menyimpan kayu bakar. Biasanya berpagarkan anyaman bambu yang diikat dengan tali yang terbuat dari ijuk.
Begitulah sekilas gambaran tentang rumah adat atau rumah kampung di desa Candirejo yang sekarang sudah mulai ada perubahan beralih ke rumah gedung berbahan dasar batu bata. Namun masih ada yang mempertahankannya sampai sekarang.
Gambar
Narasumber
- Pak Teguh Joyo Prayitno, 80 tahun, mantan kepala desa Candirejo