(Narasi oleh Nurul Amin H. dan Wasis)
Narasi
Pada suatu pagi menjelang siang, Kami berkesempatan menemui narasuber yang cukup legendaris lantaran kebiasaan Beliau yang sering menggunakan jarik di setiap kegiatan. Beliau adalah Mbah Tarminah yang berusia 76 tahun. Pada saat kami temui, Beliau sedang mengambil bambu kering yang terdapat di kebun di sebelah timur dusun yang akan Mbah Tarminah gunakan untuk merebus air minum.
Setelah Kami menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan, yaitu ingin mengetahui tentang jarik yang sering Beliau kenakan, Mbah Tarminah pun mempersilakan Kami untuk mampir ke rumah Beliau. Sesampainya di kediaman Mbah Tarminah, kami melihat gabah yang masih di dalam karung hasil dari sawah. Rumah yang ditempati oleh Mbah Tarminah sendiri masih khas rumah kampung Jawa tradisional dan terlihat sederhana dengan lantai yang belum dikeramik/tegel. Meski berlantaikan tanah, Mbah Tarminah tetap bersyukur dan merasa nyaman di rumah miliknya sendiri.
Kami pun diajak menuju ke ruang tamu. Di sana, kami dipersilakan duduk di lantai yang beralas tipis dan memulai membicarakan tentang jarik yang sering beliau gunakan. Mbah Tarminah adalah perempuan Jawa yang masih menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapannya sehari-hari. Salah satu sebabnya adalah karena keterbatasan Beliau dalam berbahasa Indonesia secara fasih. Oleh karena itu, perbincangan Kami dengan Mbah Tarminah dibantu oleh seorang rekan yang dapat menerjemahkan kalimat yang disampaikan oleh Mbah Tarminah karena sebagian dari Kami kurang bisa berbahasa Jawa.
“Ramen nek ngagem jarik”, ucap Mbah Tarminah di sela-sela percakapan. Artiny, Beliau sangat suka mengenakan jarik. Saking sukanya terhadap jarik, Beliau juga mengoleksi berbagi macam jarik yang berasal dari tahun 1970-an yang dulu dibeli dengan harga Rp30,- di Pasar Borobudur. Beliau juga menyampaikan bahwa dirinya juga memiliki beberapa koleksi jarik bermotif klasik dan sering dikenakan sehari-hari. Mbah Tarminah juga menyampaikan bahwa jarik yang dibelnya pada tahun itu masih Beliau simpan dan kenakan hingga saat ini. Baginya, mengenakan jarik merupakan sesuatu yang membanggakan, karena jarik menggambarkan jati dirinya. Sayang sekali saat itu Beliau hanya mengeluarkan satu jarik dengan motif kotak.
Setelah itu, Beliau juga mempraktikkan cara menggunakan jarik. Agar lengkap, Mbah Tarminah juga mengenakan baju kebaya di depan Kami. Sembari mempraktikkan cara memakai jarik dan kebaya, Mbah Tarminah bercerita bahwa dulu Beliau pernah menjual gula jawa seharga 500 Rupiah di Pasar Borobudur. Pengalaman sowan dan berbincang dengan Mbah Tarminah menambah wawasan kami tentang pakaian tradisional Jawa.
Pakaian tradisional masyarakat Jawa sendiri ada berbagai macam. Umumnya, masyarakat memakai baju surjan atau pun lurik dengan tambahan kain iket untuk menutupi kepala, terkadang mengenakan caping apabila hendak pergi ke sawah. Selain itu, ada pula baju hitam dengan celana hitam yang biasa dipakai oleh orang-orang yang memiliki kaluwihan (kelebihan) dalam hal bela diri dan kekuatan lainnya. Adapun kaum perempuan biasanya mengenakan kebaya dengan bawahan kain jarik batik. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan pakaian tradisional dalam keseharian saat ini sudah sangat berkurang. Pakaian tradisional Jawa saat ini lebih sering digunakan pada saat acara-acara tertentu saja, misalnya kirab budaya, upacara budaya, serta ngantenan (pernikahan).
Gambar
Narasumber
- Mbah Tarminah, 76 tahun, Sesepuh desa, Desa Kembanglimus