(Narasi oleh Jiyomartono dan Nurudin)
Narasi
Kami beristirahat di galengan (pematang sawah) yang sangat enak untuk duduk santai dengan kaki menjuntai. Galengan berfungsi sebagai batas kepemilikan sawah juga sebagai jalan para petani. Sawah yang subur ini membuat galengan ditumbuhi rumput seperti karpet hijau. Dari kejauhan ada seorang kakek yang dengan sangat hati-hati berjalan di atas galengan yang sempit. Beliau berjalan dengan sangat yakin dan tidak takut terpeleset, terlihat sekali beliau bisa menjaga keseimbangan badannya walaupun tangan kanan digunakan untuk membawa sebilah sabit yang sangat tajam dan di tangan kirinya membawa 2 bilah kayu berupa potongan kayu kecil sepanjang 10 cm dan sepotong bambu yang pecah 50 cm.
Kami yang muda memberi salam lebih dulu kepada yang lebih tua dengan ucapan “Sugeng enjing“ (Selamat pagi). Simbah ini punya kebiasaan yang khas sebagai orang tua di desa, beliau memakai caping dari bambu yang sudah compang camping atau hampir rusak seperti tinggal sepertiga bagian serta sudah berubah warna jadi hitam terkena panas matahari dan air hujan. Meski demikian beliau masih sehat dan kuat walaupun beliau juga tetap merokok buatannya sendiri yang diracik langsung yang menghasilkan aroma asap rokok yang khas. Jadi ke mana pun simbah ini pergi di saku celana kombor hitamnya selalu ada plastik lungset yang berisi tembakau, kemenyan, klembak, cengkeh, dan korek.
Setelah menjawab salam kami, beliau jongkok untuk mengamati sawah miliknya dengan sepasang mata beliau yang masih awas dan jeli menatap di pojok sawah yang penuh dengan burung pipit sedang makan padi. Beliau langsung berdiri meletakkan sabitnya di tanah, lalu tangan kanannya memegang kayu kecil dan tangan kirinya memegang bambu yang pecah. Dengan kuatnya beliau menabuh bambu ini sehingga keluar suara “thek-thek” yang keras sampai kami kaget dan mengakibatkan semua burung pipit kabur berterbangan. Beliau menghela nafas lega dan meletakkan kayu dan bambu yang digunakan untuk mengusir burung pipit. Duduk dengan santainya, mengeluarkan sesuatu dari saku celana hitam yang sudah berubah warnanya, kami mengira akan diberi uang meski ternyata hanya diajak nglinting dengan tembakau hasil panennya sendiri di tahun lalu.
Setelah semuanya campuran tembakau diracik kemudian digulung dengan kedua telapak tangan yang terampil. Setelah itu ujung pinggiran kertas ditempelkan di lidah untuk membasahi dan berfungsi sebagai perekat seperti lem rokok sudah di mulut simbah. Namun rupanya beliau masih sibuk berdiri dan tangannya dimasukkan ke kantong celana, sibuk mencari sesuatu seperti ada yang tertinggal. Lama beliau mencari sesuatu di celananya namun barang yang dicari tidak ketemu. Kemudian beliau berjalan balik arah dengan pandangan menatap ke bawah, beberapa meter kemudian beliau menemukan benda yang dicari.
Kami lalu bertanya “Napa mbah?” (Kenapa mbah). Simbah menjawab “Iki loh senjatane ketemu” (Ini loh senjatanya ketemu). Kami bertanya kembali “Senjata napa mbah?” (Senjata apa mbah). Simbah kembali menjawab “Senjatane wong udud kuwi erek, elek-elek koyo ngene iki nek ora ketemu yo ora iso udud, pada wong urip nek ra nduwe senjata yo cotho” (Senjatanya orang merokok itu ya korek, jelek-jelek begini kaya begini kalau tidak ketemu ya gak bisa merokok, sama seperti orang hidup kalau tidak punya senjata ya kurang). Sebuah pengetahuan baru bagi kami yang memahami senjata semacam keris agak miring, ternyata belajar pusaka atau senjata itu bisa dari simbah.
Kemudian kami meminta izin untuk mewawancarai dan mendokumentasi, karena kalau kita mendokumentasi tapi kalo orang nya tidak berkenan kita akan malu dan sia-sia, ini yang terjadi pada penggalian data sebelumnya di acara jamasan satu sura, sudah susah payah wawancara, tetapi diminta untuk menghapus. Maka agar tidak terjadi kesalahan lagi kami memohon ijin dan syukurlah simbah ini bersedia. Kami bertanya tentang tanaman padinya simbah yang digarap sendiri walaupun punya anak dan cucu yang lebih kuat untuk bertani di sawah, namun beliau tetap bertani, mencangkul, merumput dan membawa hasil rumput yang beratnya lebih dari 30 kg. Beliau juga memelihara beberapa kambing sebagai tabungan yang sewaktu saat bisa dijual untuk keperluan keluarga seperti, kenduri, selamatan, memperbaiki rumah. Orang tua di desa seperti simbah ini tidak punya pensiun atau tabungan dan rekening bank, maka ada tradisi atau kepercayaan kalo anak-anaknya sudah berumah tangga orang tua akan memberikan pusaka rumahnya pada anak laki laki yang ragil (anak paling bungsu) dan orang tua tinggal bersamanya.
Kemudian kami memulai wawancara dengan bertanya kepada simbah yang rupanya bernama Simbah Warso (70 tahun), “Mbah gen jenengan parine dipanen kapan?” (Mbah padinya dipanen kapan?). Beliau menjawab dengan dahi berkerut seperti berpikir dan mulut komat-kamit mengucapkan kata-kata asing yang belum pernah kami dengar, jari-jari bergerak seperti anak kecil berhitung. Kemudian beliau menjawab “Rabo pon, mengko nek rebo pon kui parine bobot tur keket, nek panen kui ono itungane” (Rabu pon, nanti kalo hari itu padinya akan memiliki berat yang banyak, kalau panen itu ada hitungannya).
Gambar
Narasumber
- Simbah Warso, 70 tahun, Sesepuh desa, Petani, Desa Wringinputih