(Narasi oleh Nurul Amin H. dan Wasis)

Narasi

Pancen adalah serangkaian makanan dan minuman yang disajikan secara khusus sebagai penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal. Istilah pancen seringkali dgunakan sebagai pengganti istilah sajen. Uborampe atau kelengkapan yang ada pada pancen disediakan (manceni) kepada siapapun yang akan memakanya. Dalam hal ini, pancen disajikan untuk para leluhur, dahyang, atau cikal bakal. Pancen tersebut tidak boleh di makan sebelum acara tersebut selesai. Setiap ada kegiatan yang memerlukan adanya pancen, biasanya ibu rumah tangga sudah tahu dan tanpa diminta akan menyediakanya di rumah.

 

Makanan yang ada di piring dinamakan sego among-among atau nasi brokohan.

 

Isi dari pancen tersebut di antaranya, yaitu satu gelas air bening, teh tubruk (paitan/tanpa gula), sego brokoh, nasi kepel, nasi uncet kecil lengkap dengan sayur dan lauk (mie goreng, lentho, krecek, peyek, tempe, daging ayam secuil, dan serundeng), semuanya di-brengkos (teknik melipat satu sisi) satu per satu menggunakan daun pisang, meskipun saat ini banyak orang yang menggunakan kertas minyak, 1 (satu) batang roko, dan uang. Alasan disertakannya uang dalam sajen/pancen tersebut, tidak lain “Jarene simbah nek kurang ben tuku dewe” yang artinya jika (pancennya) kurang bisa beli sendiri. Jenis-jenis isi pancen setiap rumah berbeda-beda, karena isi pancenan itu adalah apa yang di sukai oleh leluhur si pembuat pancen tersebut di masa hidupnya. Dengan kata lain mengikuti naluri atau pesan dari orang tua atau simbah (para sepuh yang sudah meninggal).

 

Salah satu warga Desa Kembanglimus yang masih biasa membuat pancen adalah Ibu Royati (43 tahun) yang yang ada di Dusun Gombong. Ibu Royati menjelaskan isian dari pancen yang dibuatnya setiap ada ritual-ritual tertentu, seperti saat mengirim doa kepada keluarga yang telah meninggal dunia saat 40 hari, 100 hari, Mendhak pisan, mendhak pindo, atau mendhak telu. Pancen akan disediakan oleh pemilik rumah dan diletakan di dalam kamar keluarga yang telah meninggal. Berdasarkan penuturan Ibu royati, pancen atau sajen yang telah disediakan oleh pemiliki rumah akan dimakan setelah acara ngaji atau membaca Al-Qur’an selesai. Menurutnya, makanan pada pancen atau sajen  yang telah disajikan akan berubah rasa. “Sari-sari makanan yang ada sudah diambil sehingga rasanya hampa.  Jika rasanya beda, berarti doanya sudah ditompo atau terima”, ucap Ibu Royati.  Isi dari pancenan tersebut adalah uncet (nasi tumpeng), golong (nasi kepal), jajanan pasar, sayur, buah-buahan, air putih, kopi pahit, dan teh pahit. Disediakan juga uang Rp 1.000-, serta satu batang rokok.

Sajen ini juga diletakan di beberapa tempat tertentu seperti di sumur, sungai, dan perempatan jalan. Tujuannya untuk ngopah-ngopahi (memberi) penunggu supaya tidak mengganggu. “Awak dewe kui urip berdampingan (Kita itu hidup berdampingan)”, tutur pak Mujiyono, suami dari Ibu Royati. Umumnya, masyarakat akan meletakan sajen bersama dengan bunga kembang boreh yang isinya terdiri atas bunga mawar, kenanga, kanthil, rajangan pandan wangi, dan ndlingo bengkle.

 

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Ibu Royati, 43 tahun, Dusun Gombong Desa Giripurno
  • Bapak Mujiyono, suami Ibu Royati, 45 tahun, Des Gur

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...