(Narasi oleh Nurul Amin H. dan Wasis)
Narasi
Aboge
Dalam masyarakat Jawa, dikenal istilah Aboge. Aboge merupakan akronim dari Alip-Rabo-Wage yang merujuk pada perhitungan kalender Jawa. Dalam kehidupannya sehari-hari, masyarakat Jawa memiliki perhitungan tersendiri untuk berbagai kegiatan, baik terkait pertanian, pernikahan, khitanan, maupun sekadar bepergian. Saat menanam padi, misalnya, harus dihitung terlebih dahulu pasarannya hari apa, tanggal berapa, baru setelah itu akan diketahui waktu tanam, dengan harapan hasilnya akan memuaskan. Penghitungan pasarannya harus tepat karena berkaitan dengan keberhasilan panen. Apabila penghitungannya meleset, masyarakat terancam tidak panen. Pun, seandainya panen dapat dilakukan, hasilnya mengecewakan.
Hari nas
Bapak Mujiono adalah salah satu warga Desa Kembanglimus yang masih menerapkan perhitungan Jawa dalam kesehariannya, termasuk menghitung waktu yang tepat untuk bertanam. Dalam tradisi menanam padi, Bapak Mujiyono menjelaskan bahwa awal mula penghitungan nandur dimulai dengan menentukan tanggal dan hari pasarannya. Bapak Mujiyono dengan sabar menunjukkan almanak yang dimilikinya. Karena tidak mengetahui bagian-bagian detail dari almanak, beliau menunjukkan kepada kami catatan kecil yang berisi perhitungan nandur. Menurut perhitungan tersebut, proses tanamnya harus menghindari hari nas atau hari kematian keluarga terdekat. Apabila hari nas ini diterjang (tetap di laksakan), maka hasilnya akan gagal panen atau apes. Dalam perhitungan tersebut, terlihat waktu nandur woh-wohan (buah-buahan) harus jatuh di angka akhir 12, untuk nandur godong harus jatuh pada angka akhir 11, sedangkan tanaman yang dimanfaatkan untuk diambil kayu/batangnya harus jatuh di tanggal 10.
Bathara kala
Berdasarkan penjelasan bapak Mujiono, dalam perhitungan Jawa ada waktu-waktu tertentu yang menjadi pantangan, yaitu nogo dino (hari), nogo sasi (bulan), dan nogo tahun (tahun) atau nas taun. Nogo merupakan simbol dari bathara kala (kejelekan). Nogo dino adalah hari-hari yang tidak diperbolehkan melakukan perjalanan atau memulai atau melakukan sesuatu di bulan itu supaya tidak terjadi bilahi atau bencana, begitu pula dengan nogo sasi dan nogo tahun. Sebagai contoh, bulan Suro adalah tempatnya nogo tahun. Artinya, pada bulan ini tidak diperkenankan atau tidak dianjurkan membuat acara-acara yang sifatnya senang-senang, seperti resepsi pernikahan, resepsi khitanan, kawitan (memulai) membuat rumah atau bangunan lainya, bahkan bepergian di tanggal 1 suro tanpa ada tujuan yang jelas. Seandainya dilanggar atau diterjang, maka akan mendapat balak atau musibah. Alasan lainnya, tanggal 1 Suro adalah waktu untuk merenung; saat yang tepat untuk pasrah sumarah (berserah diri) dan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Gusti kang amakaryo jagat raya (Tuhan yang menciptakan jagat raya).
Ritual tanam
Selain menghitung waktu-waktu baik, masyarakat juga melakukan beberapa ritual, khususnya berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam. Misalnya, dilakukan ritual labuh pada saat akan mulai menggarap sawah. Ritual labuh dilakukan sebagai bentuk permohonan izin atau salam kepada penunggu sawah yang tanahnya akan digarap/dikerjakan. Selanjutnya, apabila sudah saatnya panen, atau pada acara wiwitan, diadakan selamatan dengan uborampe berupa klubanan yang diletakan di pojok sawah. Selain sebagai bentuk rasa syukur, para petani mengeluarkan shodaqohan atau sedekah Dewi Sri sebagai Dewi Pertanian supaya panen menjadi berlimpah.
Letak pancen
Adapun pancen yang dibawa ke sawah berisikan nasi uncet kecil, nasi kepel, kluban dengan sambel kambil, telur ayam jawa, krecek, lentho, petek, teri, sayur, dan lauk yang dibrengkos (dibungkus) kecil-kecil, serta  kembang setaman dan dupa/kemenyan yang dibakar di atasnya. Sebagai kelengkapan atau ganepe laku ritual, apabila menginginkan bulir padi berat dan banyak, penyerahan pancen harus menghadap ke Gunung Sumbing (barat laut), sehingga tidak membelakangi gunung-gunung yang ada di sekitar: Gunung Telomoyo dan Gunung Tidar di utara, Pegunungan Menorah (Menoreh) di selatan dan barat.
Gambar
Narasumber
- Bapak Mujiono, petani, pelaku budaya, Desa Kembangglius
Relasi Budaya
- Makna di balik Kesenian ; Gatholoco