(Narasi oleh Beni Purwandaru dan Tatak Sariawan)
Narasi
Narasumber kami kali ini tak lain dan tak bukan adalah Pak Singgih Mulyanto, kepala desa Candirejo yang saat ini berumur sekitar 40 an tahun, menurut beliau perti desa berasal dari kata merti yang artinya merawat atau melestarikan, dan desa artinya kampung atau dusun. Jadi perti desa sama artinya dengan merawat atau melestarikan desa, yang oleh masyarakat Candirejo sekitarnya sudah melakukan hal tersebut turun-temurun dari zaman dahulu hingga saat ini masih tetap melestarikannya.
Sedekah bumi
Ada sebagian orang menamakan “sedekah bumi”, karena isi dari ritual perti desa adalah memetri atau bersedekah untuk bumi yang mereka tinggali. Dan sedekah tersebut merupakan perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas bumi yang mereka tumpangi, bumi tempat mereka dilahirkan, dan syukur atas nikmat-nikmat yang Tuhan beri. Di Desa Candirejo perti desa dilaksanakan di setiap bulan Sapar pada setiap tahunnya, maka masyarakat sering menyebutnya dengan sebutan Saparan.
Cikal bakal dusun
Saparan merupakan simbol kearifan lokal yang patut kita lestarikan. Selain perwujudan rasa syukur, ritual ini bertujuan untuk selalu ingat pada jasa-jasa para orang terdahulu yang sudah merawat dan melestarikan desanya yang masih bisa mereka rasakan kenyamanannya hingga saat ini. Terlebih rasa terimakasih kepada pendiri atau cikal bakal dusun masing-masing. Sebagai misal dusun Brangkal yang mempunyai cikal bakal bernama Kyai Peksi dan Nyai Peksi, dan konon dinamakan Kyai Peksi yang artinya Kyai Burung karena beliau semasa hidupnya punya klangenan atau kesukaan memelihara burung perkutut. Kemudian cikal bakal dusun Sangen bernama Kyai Sangun dan Nyai Sangun, cikal bakal dusun Kedung Ombo bernama Kyai Kedung dan Nyai Kedung, dusun Kerekan cikal bakalnya adalah Kyai Krekantoko, dan lain-lain. Selain rasa terimakasih terhadap para cikal bakal dusun-dusun yang ada di desa Candirejo, juga berterima kasih atau memberikan penghormatan kepada “Danyang” atau sosok penjaga desa Candirejo yang sudah menjaga desa dari gangguan yang tidak terlihat.
Prosesi Saparan
Lalu bagaimana cara melakukan prosesi saparan tersebut? Seperti keterangan di atas, saparan merupakan ritual merawat serta melestarikan kampung tempat tinggal, yang mana merawat kampung identik dengan acara bersih-bersih. Ya memang betul begitu. Jadi isi dari upacara perti desa salah satunya memang bersih-bersih desa atau dusun masing-masing, mulai “njaban wangon sajeroning wangon” atau membersihkan sisi luar sekitar rumah, dalam rumah, hingga sampai pada tempat pemakaman warga juga bareng-bareng dibersihkan.
Saparan di desa Candirejo dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut, yaitu hari pertama kedua, dan ketiga. Acaranya meliputi;
- Bersih kampung di pagi hari, dan malamnya mengadakan selamatan dan do’a Bersama.
Dalam selamatan tersebut ada beberapa ubarampe yang diadakan antara lain; Sega gurih, golong berjumlah 12 untuk asung bekti pada makhluk sebangsa nyamuk semut atau apa wujudnya yang selama acara diadakan terbunuh, semisal nyamuk yang menggigit dan mati karena ditepuk dan sebagainya, kemudian ambeng untuk asung bekti dan untuk menjamak para leluhur yang sudah meninggal agar kita yang masih hidup bila ada keliru bisa diberikan maaf, lalu liwet waras agar hajat atau niat kita diberikan keselamatan kabagaswarasan, dan jajanan pasar yaitu jajanan yang dibeli dari pasar dan jumlah macamnya dihitung dari jumlah neptu hari pasaran saat acara diadakan, semisal acara tersebut jatuh pada Hari Minggu Pon yang nilainya Minggu adalah 5, dan Pon adalah 7 ketika dijumlahkan 7+5=12 artinya jumlah tersebut untuk menentukan jumlah macam jajanan pasar tersebut dan semua diberikan ke dalam nampan dari anyaman bambu yang orang desa menyebutnya “tedho”. Jajanan pasar ini dimaksud untuk memberikan rasa kasih sayangnya orang tua kepada anak-anak agar mereka juga ikut merasakan kebahagiaan dalam acara tersebut.
- Arak-arak tumpeng dan mengarak anak-anak sunat yang sejauh ini baru dua anak warga yang mau disunatkan dan dibiayai oleh desa dengan dinaikkan kuda, dan dilakukan pada siang hari keliling kampung dan berakhir di lapangan/halaman balai desa. Lalu pada malam harinya pengajian akbar di halaman balai desa.dalam mengarak tumpeng tersebut berupa “tumpeng ulu wetu”yaitu sebuah tumpeng atau gunungan terbuat dari ulu wetu atau hasil bumi yang ditanam oleh penduduk berupa palawija terdiri dari pala kependhem yaitu palawija yang berasal dari dalam tanah, kemudian pala kesimpar yaitu palawija yang buahnya ada di atas tanah seperti semangka, waluh, melon, mentimun dan lain-lain, dan pala gumantung yaitu hasil palawija yang buahnya menggantung seperti pepaya, kacang Panjang, rambutan, mangga dan lainnya. Tumpeng ulu wetu mempunyai maksud perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya selama ini yang telah diberikan hasil bumi yang bagus.
- Pada siang harinya adalah pentas kesenian tradisional dari tiap-tiap dusun hingga petang bertempat di panggung terbuka halaman parkir desa Candirejo. Dan pada malam harinya adalah puncak acara saparan yaitu pentas pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Dan dalam mengambil cerita wayang pun kita harus memilih cerita yang ada kaitannya dengan kemajuan desa kita. Sebagai misal cerita wayang tersebut berjudul “Semar Mbangun Kahayangan”ini mempunyai tujuan agar kita dalam membangun desa akan selalu diberikan kelancaran.
Biaya & persiapan
Lalu darimana biaya untuk mengadakan acara tersebut?
Selain dari pemerintah desa yang dibantu juga oleh koperasi desa wisata Candirejo selain itu juga berasal dari iuran warga pada masing-masing dusun. Jadi perti desa atau saparan ada dari warga dan kembali lagi ke warga. Meski demikian warga tidak merasa keberatan dengan adanya iuran tersebut. Karena warga menyadari bahwa saparan yang merupakan perwujudan rasa syukur tersebut memang benar-benar merupakan kebutuhan bagi mereka. Pernah ada kejadian dulu waktu kepala desa dipegang oleh Bapak Niti Prawiro yang mana dalam perti desa tidak mengadakan pagelaran wayang kulit, entah kebetulan atau tidak waktu itu terjadilah semacam wabah penyakit di Desa Candirejo, namun warga meyakini bahwa itu terjadi akibat tidak mengadakan pagelaran wayang kulit. Hingga akhirnya setelah kejadian tersebut di setiap mengadakan saparan wayang kulit menjadi setengah wajib untuk diadakan.
Gambar
Narasumber
- Bapak Singgih Mulyanto, 40 tahun, kepala desa Candirejo (2021)