(Narasi oleh Mustofa dan Zam Zamil Huda)

Narasi

Bulan Sapar

Sebandot merupakan sebuah area lahan sekitar 1000 m2 yang terletak di dusun Gayam RT 002 RW 001, berjarak sekitar 300 meter ke arah Selatan dari Kantor Pemerintah Desa Giripurno. Di lokasi tersebut setiap 2 tahun sekali pada bulan Sapar (bulan jawa) diadakan acara yang dikenal dengan nama Saparan Sebandot. Untuk mengetahui hal tersebut saya mengunjungi kediaman Bapak Sudarto yang beralamatkan di dusun Gayam RT 003 RW 001. Beliau merupakan sesepuh desa yang berusia 68 tahun dan selalu terlibat aktif dalam perawatan dan kegiatan di Sebandot.

Mbah Kromoyudo

Menurut Pak Sudarto, acara Saparan yang ada hingga saat ini dimulai sejak dahulu kala. Kapan tepatnya beliau tidak mengetahuinya secara pasti. Akan tetapi, pada masa Kepala Desa Giripurno yang pertama, Simbah Kromoyudo, acara Saparan tersebut mulai ditata dengan baik. Sebelumnya konon diadakan setiap tahun, namun karena alasan tertentu, terutama ekonomi, pada masa Simbah Kromyudo tersebut acara Saparan Sebandot diatur dengan pelaksanaan dengan jangka waktu 2 tahun sekali. Pak Sudarto mengaku, beliau merupakan salah satu buyut dari Simbah Kromoyudo yang juga mendapatkan cerita tersebut secara turun temurun.

Garis Majapahit

Tatacara pelaksanaan Saparan sebelum era Simbah Kromoyudo tersebut tidak diketahui dengan pasti, karena Pak Sudarto belum pernah mendapatkan cerita tersebut. Akan tetapi, menurut Sudarto, Simbah Kromoyudo merupakan salah satu orang yang menyebarkan agama Islam pertama kali di Desa Giripurno. Simbah Kromoyudo merupakan orang keturunan yang berasal dari Cono, Ngargoretno. Konon, leluhurnya yang berada di Cono tersebut merupakan orang yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Sedangkan Ibu Simbah Kromoyudo merupakan orang yang mendapatkan garis keturunan dari Majapahit tersebut yang kemudian menikah dengan orang dari Sedengen, Ngadiharjo. Kemudian setelah terjadi pemekaran Desa Ngadiharjo menjadikan Giripurno memiliki pemerintahan sendiri dan Simbah Kromoyudo menjadi Kepala Desa yang pertama di desa Giripurno. Pak Sudarto memperkirakan kejadian tersebut berkisar antara tahun 1750 Masehi.

Khoul Sunan Kalijogo

Saparan pada waktu itu berupa Khoul Sunan Kalijogo seperti yang masih terjadi saat ini. Namun kemudian pada masa Simbah Kromoyudo tersebut ditambah dengan menyembelih Kambing Bendot. Namun penyembelihan kambing tersebut bukan merupakan pemujaan untuk mata air maupun karena kekeramatan tempat tersebut. Penyembelihan kambing tersebut sebagai sebuah sedekahan untuk masyarakat yang ada. Pak Sudarto mendapat kepastian mengenai niatan tersebut dari Mbah Ledung yang ceritanya selalu beliau ingat-ingat.

Kambing Bandot

Pada waktu itu jumlah kambing yang disembelih hanya satu ekor, karena kambing tersebut merupakan sedekahan yang dilakukan oleh masyarakat dusun. Sedangkan pada waktu itu, dusun Pokoh masih belum dimekarkan menjadi 3 dusun yaitu Pokoh, Gayam, dan Jombor. Saat ini setiap dusun pada acara Saparan Sebandot masing-masing mensedekahkan 1 ekor kambing. Jadi setiap berlangsungya acara minimal ada 3 ekor kambing. Kemudian dengan berjalannya waktu, ada banyak orang yang kemudian bernadzar atau memiliki unen untuk menyembelih kambing jika keinginannya terwujud pada acara Saparan Sebandot. Oleh karena itu, pada saat Saparan Sebandot jumlah kambing yang disembelih bisa lebih dari 3 ekor.

Nadzar, Ambeng

Nadzar masyarakat tidak hanya kambing, akan tetapi ada juga yang berupa ayam ingkung. Untuk melaksanakan nadzar tersebut, jika kambing maka orang yang bernadzar membawa kambing, tumpeng, ambeng, dan ayam ingkung. Namun jika bernadzar membawa ayam ingkung cukup ditambah dengan nasi ambeng. Nasi ambeng sendiri merupakan nasi tumpeng yang diletakkan diatas ancak lengkap dengan sayur dan lauknya.

Sedekahan

Dalam prosesi Saparan Sebandot, ada yang kemudian dinamakan sebagai ujung atau simbol dari sedekahan. Simbol tersebut berupa jajanan pasar dan hasil bumi yang diletakkan di dalam tenong. Selain itu ada juga simbol yang berupa kepala kambing dengan jumlah 3 kepala. Simbol tersebut setelah acara selesai akan dibagikan kepada jamaah karena menjadi simbol inti dari sedekahan yang dilakukan. Pada tahun 2021, ada tambahan simbol yang terdiri dari minuman dengan lima warna. Hal tersebut terjadi setelah ada salah satu warga yang konon ditemui penunggu Tuk Sebandot hingga 4-5 kali. Minuman pancen tersebut mulai diadakan pada waktu pembongkaran semen yang dulunya dibangun disekitar Tuk Sebandot.

 

Gambar

Lokasi

map

Narasumber

  • Sudarto, 68 tahun,, Dusun Gayam RT 02/RW 01, Desa Giripurno

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...